Mengeja Cinta di Candi Sewu

candi sewu


Syahdan, kisah istemewa dari masa lalu, Candi Sewu, sudah mendedahkan episode asmara yang begitu melankolis bagi manusia. Getar-getar kehebatannya masih terasa sampai saat ini. Ada airmata di sana. Ada luka disana. Ada pilu di sana. Ada cinta di dalamnya. Bergejolak, menukilkan haru di dada.
Saya termasuk salah satu barisan orang-orang yang terkagum-kagum dengan kisahnya. Maka dalam hingar-bingar kekinian inilah, saya menyempatkan diri untuk mengunjunginya. Mencoba menafsir makna hidup dengan mengeja jalan cinta Roro Jonggrang yang begitu ranum. Duh,, tiba-tiba saya menemukan buliran bening bertebaran di sepanjang jalan setapak candi prambanan menuju candi sewu. Memungutnya satu-satu. Menyimpannya sebagai butiran rindu.
Sesampai di depan candi, saya berhenti sejenak. Duduk diantara jalan setapak itu...

Merenung, bagi saya, merupakan salah satu jalan menuju titik pencerahan. Saat nalar tak lagi mampu menjawab tanya. Saat hati tak bisa lagi menahan rasa. Saat cinta tibatiba menjamah jiwa. Sungguh bukan sebuah pilihan yang salah bagi saya, menundukkan wajah serta hati untuk lebih lebur dalam diri.
Perlahan, seolah ada yang meremang dalam kelopak mata saya. Semakin jelas. Semakin benderang. Mewujud sesosok anggun dengan pakaian yang bersulam benang perak. Di beberapa bagian, berbaris rapi tatanan manik-manik emas. Membentuk ukiran bunga kenanga. Di atas rambutnya yang hitam. Terselip mahkota dengan aneka permata yang memancarkan kemilau cahaya.
Sesaat saya terperangah. Seperti mimpi. Aroma dupa dan air bunga mawar perlahan menyeruak dalam indra penciuman. Sementara sesayup telinga mendengar. Alunan gending Asmaradhana menjadi pelengkap suasana sore menjelang senja kali ini.
 “Selamat sore ksatria, benarkah engkau datang kesini dengan bekal cinta? saya terkejut. Suara itu, duh,,, desir-desir halus mulai mempermainkan degup jantung. Sejenak saya menoleh. Barangkali sapaan itu bukan untuk saya. Tetapi, saya tak menemukan siapapun di sini. Sedangkan Tarib, Ilyas dan Zaini (tiga teman penjemput senja), tampaknya sedang asyik melihat-lihat candi Sewu di seberang jalan.
Aku menyapamu ksatria,,,
Em.. maaf,,, sayakah yang panjenengan maksud?
Apa ada ksatria lain disini?”                               
Barangkali ada. Tapi saya tidak tahu.
Hanya ada satu ksatria pecinta senja yang datang dari tanah garam hari ini. dan itu adalah kamu. Saya tersenyum mendengarnya. Lebih tepatnya sedikit tersipu karena malu.
Kau belum menjawab pertanyaanku ksatria
Pertanyaan yang mana?
Apakah benar engkau datang dengan bekal cinta.
Bahkan saya tak paham cinta, em,,,
Putri. Panggil saya putri” potongnya.
Iya tuan putri. Saya kurang paham dengan pertanyaan tadi.
Baiklah ksatria. Lupakan pertanyaan itu, aku ganti dengan pertanyaan yang lain” hening sejenak. “Untuk apa jauh-jauh, kau datang kesini Ksatria?” tanyanya sambil tersenyum.
Saya ingin menikmati senja Tuan Putri. Karena saya begitu menyukai ronanya yang indah.
Seperti itulah cinta, Ksatria... Terkadang kau merasa bingung untuk menjelaskannya. Padahal engkau benar-benar nyata merasakannya.
Iya Tuan Putri. Saya memang harus belajar lebih banyak lagi untuk memahami cinta.
Ada seseorang yang bisa mengajarimu ksatria
Benarkah Tuan Putri? Siapa?” tiba-tiba hatiku bergetar. (engkaukah itu duhai,,,?)
Dia begitu dekat denganmu, meski kau memang tak pernah menikmati senja bersamanya. Dia memiliki cinta yang lain. Cinta yang lebih indah dari rona senja. Lebih bening dari embun subuh. Lebih wangi dari bunga melati. Tapi, dia juga begitu pandai menyembunyikan perasaannya padamu selama ini.
Siapakah dia tuan Putri? Rasa penasaran semakin mendera dalam hati.
“Namanya adalah,,,”
“Hei...!! kok melamun?!” Tiba-tiba suara Tarib membuyarkan semuanya. Saya terkejut. Sosok Tuan Putri yang sejak tadi berdiri di hadapan saya juga raib begitu saja.
Lho,,, ada apa? seperti kehilangan sesuatu? Zain, yang memang sudah sampai di samping saya juga menambah kebingungan ini. Satu persatu  saya tatap wajah “para penjemput senja” itu. Moh. Tarib, Zaini, Ilyas. Semua menunjukkan keheranan yang sama. Saya juga heran dengan semua ini.
“Kemana Tuan Putri itu?” Tanya saya pada mereka.
“Tuan Putri yang mana?
Putri yang memakai baju manik-manik itu?” sejenak mereka saling bertatapan bingung. Kemudian perlahan ada seulas senyum yang mengihias bibir mereka. Entahlah,,, barangkali mereka tersenyum melihat tingkah aneh saya. Tapi sungguh, saya tidak sedang main-main dengan kenyataan ini. jangan-jangan,,, duh,,, kecamuk pertanyaan beruntun menerpa kapala saya. Kebingungan demi kebingungan juga mendera satu-satu.
Ah,,, sudahlah,,, lupakan hal-hal yang menyangkut tuan putri atau siapapun itu. Sebaiknya, sekarang  kita berkeliling dulu. Mumpung senja belum datang.” Ucap Ilyas. Lalu mereka beranjak. Mau tidak mau, Saya juga beranjak. Melangkah dengan kebingungan. Sosok itu... duh,,, siapakah nama yang akan disebutkan olehnya? Perlahan, muncul seraut wajah lain dalam bayang-bayang mata saya. Bukan Tuan Putri yang tadi. Melainkan seraut wajah teduh dari Perempuan berhati wangi.

 Lalu saya memilih diam dan tertunduk dalam hening ini. menyunggi ribuan tanya dalam perjalanan pulang ini.
*****
Jogjakarta, 22032012

Aku mencintaimu,,, Senja...


Seolah memasuki lembaran mimpi, saat motor yang kukendarai meninggalkan alun-alun kota Jogjakarta. Berbagai macam kendaraan yang bersalipan seolah menjadi ritme mistis yang melatari perjalanan menuju laut selatan. Deretan pohon-pohon yang teduh, hamparan sawah-sawah yang mulai menghijau, beberapa papan reklame yang berdiri tegak di sepanjang jalan, menjadi pelengkap perjalanan menjemput senja kali ini. sungguh, ini perjalanan yang indah...

Semakin berkesan saja, saat perjalanan sampai di perempatan selatan kota Jogja. Dua orang penari topeng melenggak lenggok dengan gerakan yang indah. Topeng yang dikenakan di wajahnya seakan menarikku dalam dunia pewayangan. Arjuna dan Srikandi. Dua tokoh pewayangan itu seolah hadir diantara deretan panjang kendaraan yang berhenti di depanku. Menyuguhkan liukan masa lalu yang mempesona. Seorang penabuh “kenong” yang mengiringi tarian “Arjuna dan Srikandi” duduk persis di bawah tiang traffic light samping kiri jalan. Gerakan tangan kanan dan kirinya begitu lincah memukul kenong secara bergantian. Menciptakan alunan musik tradisional yang sederhana. Tapi tetap enak di dengar.

Sayang, lampu hijau dari traffic light keburu merenggut momen yang indah ini. Puluhan kendaraan yang semula diam, serentak menderu, melaju meninggalkan para penari itu. Kami kembali berpacu dalam perjalanan masing-masing. Meniti waktu yang terus berlalu.

Belum sampai tiga puluh menit perjalanan, tiba-tiba mendung tebal meluruhkan gerimis satu-satu. Rintiknya begitu bening dan memukau. Aku bersorak kecil dalam hati. Gerimis ini, dingin ini, suasana ini,,, (ah,,, tiba-tiba aku ingin main hujan bersama Nayla,,, karena aku tahu, ia sangat suka berbasah dalam hujan). tapi kemudian aku tersadar, bahwa ini Jogja. Bukan di kotanya, atau di kotaku. Jadi aku harus memeram lagi keinginan ini, entah sampai kapan.

aku pilih berteduh dari guyuran hujan. bukan karena tidak suka hujan. tapi karena harus menjaga kondisi tubuh agar tetap prima—setelah beberapa hari sempat kurang sehat. aku memang belum setangguh adikku, Mulasih, yang berani berkata /biarlah aku digempur guntur/ dalam basah hujan yang tak perawan// (sajak “Luka”). Paling tidak, kali ini, biarlah aku pilih berdamai saja dengan kondisi tubuh. tidak mengambil resiko terlalu besar dalam perjalanan pertamaku menjemput senja ke Parangtritis. Sekali lagi bukan karena tak suka hujan. sebab hujan juga bagian dari nafasku.

Beberapa saat lamanya aku terpasung dalam kegelisahan yang nyata. Berbagai kecemasan menderu dalam dada. Bagaimana kalau hujan tak reda? Bagaimana kalau senja tertutup mendung? Bagaimana kalau aku terlambat datang ke Parangtritis lantaran hujan yang tak kunjung menghilang? Apakah ini akan menjadi perjalanan yang sia-sia? Ah,,, semoga tidak. Semoga tidak. Perlahan aku menutup mata. Berdoa dengan segala ketulusan yang tersisa, agar hujan segera reda. Agar aku bisa menjemput senja.

Engkau Maha Medengar ya Allah,,,

Sungguh, seperti sebuah keajaiban. Perlahan guyuran hujan mulai mereda, menipis, lalu hilang tertiup angin. Tinggal jalanan yang basah oleh genangan air. Tak apa. Ini adalah anugerah. Maka, kembali aku membaur dengan para pengendara lain yang lebih dulu beranjak ke jalanan. Senyum simpul mengalirkan keceriaan dalam hati.

Tunggu aku senja,,,

Memasuki pintu gerbang Parangtritis, detak jantungku mulai berpacu lebih cepat. Duh,, aku sudah tidak sabar untuk menikmati senja di laut selatan ini (laut yang di dalamnya—konon—berdiri megah istana Ratu Pantai Selatan) Sekilas, matahari memang sudah mulai congdong ke arah barat. Sementara Jam di tangan kananku menunjukkan pukul 17.03 WIB.

Setelah melewati gundukan pasir hitam. Hamparan laut selatan membentang di depan mataku. Subhanallah,,, luar biasa. Laut selatan yang selama ini hanya bisa aku kenal lewat cerita dan tayangan televisi. Kini benar-benar nyata di depanku. Laut yang membentang, gulungan ombak yang tinggi, hempasan buih yang memutih di pantai, bentangan pasir yang memanjang ke arah barat, jejeran batu karang yang menjulang di sisi timur, sungguh, merupakan sulaman keindahan alam yang begitu mempesona. Apalagi semburat jingga yang membias dari ufuk barat semakin menambah indah suasana. Aku benar-benar takjub melihatnya.

Selamat sore senja,,, apa kabarmu? Aku datang dari tanah garam untuk menjemputmu. Bolehkan aku petik ronamu untuk perempuanku; perempuan berhati bening yang mulai jatuh cinta juga pada bias jinggamu.

Tak sanggup menunggu terlalu lama,,, secepatnya kupacu motor menuruni gundukan pasir hitam. Lebih mendekat ke pantai, memarkirnya, lalu berlari sambil menghirup udara laut yang selalu mengundang rindu. Jika saja aku menemukan kosa kata baru yang sanggup menggambarkan kebahagiaan ini, maka aku pasti menggunakannya sekarang. Pertemuanku dengan senja. Menjadi pijaran senyum dan airmata haru. Deburan ombak, rona merah saga, gulungan awan, pasir pantai yang lembut, amboii,,, tak akan bisa kulukiskan dengan kata. Tak akan mampu kugambarkan dengan kalimat biasa.

Aku mencintaimu senja,,, seperti aku mencintai gerimis di hatiku.
sesaat menatap senja,,,, sebelum berlari menjemputnya...


avan dan senja,,, dua kutub cinta yang bersua di laut selatan...

Zhain, Avan, Ilyas... Para penjemput senja... (hehe...)

Tarib, Ilyas, Avan... latian mejeng sebelum senja... ^_^


**Thanks to: Mohammad Tarib, Ach. Zaini, dan Moh. Ilyas—Tiga mahasiswa UIN SUKA yang luar biasa. (Karena kalianlah, aku bisa menjemput senja ke Parangtritis. Kalian juga sudah mewarnai Maret yang cantik ini dengan pelangi ketulusan. Aku belajar banyak dari kalian tentang ukhuwah, keikhlasan dan senyum keceriaan) 
eh,,, ada catatan khusus untuk kalian lho... ^_^

Sakit ini,,,

Manusia memang hanya bisa berencana,,, tapi Allah jua yang menentukan segalanya.
 Kalimat bijak itu kembali mendengung-dengung dalam hati saya. Menjadi penguat, saat cemas dan sedih mendera. Tentu tidak berlebihan jika sekarang, sayapun tersaruk dalam kesedihan. Karena kenyataan yang tidak pernah saya inginkan sebelumnya, ternyata saya alami juga di sini. Di kota para penulis; Jogjakarta.
Kali ini tentu bukanlah masalah hati yang tersakiti. Bukan juga tentang pengkhianatan dari seseorang. Tapi lebih mirip dengan keadaan tidak mengenakkan. Saya bilang tidak mengenakkan karena badan saya tidak senormal biasanya. Ada masalah dengan badan saya. Beberapa bagian diantaranya mengalami gangguan. Entah, apakah bersumber dari sel darah, saraf atau yang lainnya. Saya terlanjur tidak tahu dengan semua itu. Yang saya tahu adalah. Saya sakit sekarang. Itu saja.
Dengan kondisi seperti ini, tentu, beberapa rencana yang sudah tersusun rapi sebelumnya, mengalami kendala. Meski saya tetap berharap, tidak semuanya akan gagal total. Bayangkan, bagaimana saya tidak sedih, lantaran sakit, maka jadwal menikmati senja juga tidak (belum) terlaksana. Mestinya, hari pertama saya menjemput senja di parangtritis. Hari kedua menikmatinya di Prambanan. Hari ketiga di keraton Jogja. Hari keempat di pelataran Borobudur. Hari kelima (karena ini direncanakan hari terakhir) saya akan berkeliling mengitari Jogjakarta sambil menikmati senja dan sepoi angin.
Tapi demikianlah,,, sebagai manusia yang dho’if, saya hanya bisa merencanakan. Penentu segalanya tetaplah Allah Subhanahu Wata’ala. Tentu Allah punya rencana yang lebih indah, kenapa sampai di Jogja saya “harus” menikmati sakit dulu sebelum menikmati senja.
Dugaan saya:
1.     Untuk melatih kesabaran.
2.    Menyuburkan rasa syukur dalam hati terhadap nikmat iman dan sehat yang selama ini telah dianugerahkanNYA.
3.    Lebih banyak lagi memberikan perhatian terhadap tubuh. Mengurangi aktifitas yang kurang penting, kemudian diganti dengan aktifitas merawat dan menjaga kesehatan sebelum sakit.
4.    Agar menambah porsi olahraga. (saya sadar, bahwa hal yang satu itu sudah mulai berkurang intensitasnya. Futsal tidak rutin lagi. Lari pagi juga kadang-kadang. Apalagi olahraga berat seperti tinju dan angkat besi. Saya tidak pernah ^_^).
5.    Lebih memperbanyak ibadah dari pada jalan-jalan.

Tapi sebebnarnya, selalu ada keindahan—menurut saya—yang diberikan Allah sebagai bentuk kasih sayangNYA terhadap orang-orang yang sakit (tidak terkecuali saya). Yaitu kesempatan untuk bersabar dan menghapus noda kesalahan. Saya teringat salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
Suatu ketika Abdullah bin Mas’ud r.a. menghampiri Rasulullah yang tengah sakit. Saat itu ia meraba tangan rasul sambil berkata, “Ya Rasulullah, penyakit Anda sangat berat.” Rasulullah memberikan jawaban, “Benar, penyakit saya ini sama dengan penyakit dua orang di antara kamu.” Abdullah menjawab lagi, “Itulah sebabnya Anda mendapat pahala dua kali lipat.” Segera Rasul membalas, “Benar!” Dan dilanjutkan dengan sabdanya lagi, “Setiap orang Islam yang mendapat bencana penyakit dan lain-lain, maka Tuhan menggugurkan (mengampuni) kesalahan-kesalahannya, sebagaimana pohon kayu menggugurkan daunnya.
Subhanallah,,, pelan-pelan saya melirik kembali ke dalam hati. Mencoba menakar seberapa jauh kesabaran yang saya miliki sekarang. Astaghfirullahal‘adzim... ternyata sangat tidak seberapa. Saya masih lebih banyak berkeluh kesah dari pada bersyukur. Lebih banyak meratapi kesedihan dari pada bergembira dengan anugerahNYA. Lebih banyak Alpa dari pada selalu berdzikir sepanjang waktu terhadapNYA.
Alhamdulillah ya Allah,,, Engkau memberikan rasa sakit yang “tidak seberapa” ini sebagai “tiket” untuk memperoleh nikmatMu yang lebih indah. Engkau Maha Pengatur segalanya. Amin...

Wallahu a’lamu bish-shawab.
 *****

Dalam demam, Jogjakarta, 18 Maret 2012

Bawakan rona senja yang cantik,,,


Aku pamit padamu,,,
sebentaaar saja.

Aku ingin mengambil bias jingga di parangtritis. Memetik kerlip bintang di alun-alun kota Jogja. Menafsir makna hidup di Malioboro. Mendekap bening embun di dekat Prambanan—diantara daun-daun itu. Nanti,,, aku akan membungkusnya untukmu, dengan beberapa debur ombak yang semoga sempat aku kantongi.

Aku akan selalu ingat pesanmu, “bawakan rona senja yang cantik untukku ya,,,”. Tapi tahukah, bahwa kau selalu lebih cantik dari rona senja. Selalu lebih indah dari kerlip gemintang. Selalu lebih bening dari embun subuh.

Aku pamit padamu,,,
sebentaaar saja.

Aku ingin menghitung berapa jarak rinduku padamu. Menimbang-nimbang seberapa beratnya rasa sayang ini padamu. Tapi aku selalu haqqul yakin, bahwa seluruh rasa yang bertahta dalam hati ini tak akan pernah mampu kuukur dengan satuan pengukur apapun. Kecuali dengan hatimu.

Saat aku melangkah,,, tahukah engkau, kemana tujuanku yang sebenarnya?
Jika belum, lihatlah lembaran kecil di hatimu. Aku sudah meletakkannya di situ, saat kau lelap beberapa malam yang lalu. Aku yakin masih ada. Sebab, aku letakkan persis di samping kanan bunga mawar yang tumbuh di hatimu. Di lembar kecil itu, aku sudah menuliskan tujuan hidupku. Aku juga sudah melukiskan impianku. (semoga kau tak terlambat membacanya)

Aku pamit padamu,,,
sebentaaar saja.

Aku ingin menjemput keinginan terbesarku saat ini; menikmati senja di beranda hatimu.
 *****
google

Surakarta, 17 Maret 2012.

Sedikit rasa lelah,, ya Allah,,,

Matahari sedang terik-teriknya, saat kami menuju RSUD dr. Moh Anwar Sumenep. Tapi, itu tidak akan bisa menghalangi langkah tegap kami; empat aktifis kemanusiaan yang datang dengan cinta. Hehe… (gak nyambung banget)

Ok. Saya perkenalkan dulu. Yang berjalan paling depan adalah Mas Hadariyadi, ketua umum Lembaga Kesehatan Nahdhatul Ulama (LKNU) Kabupaten Sumenep. Di belakangnya adalah Avan (hehe… ini saya lho,,, narsis yah?), pengurus bidang jaringan informasi dan media. Kemudian Mas Taufik, bidang litbang. Yang terakhir adalah Dani, bidang litbang juga.

Lanjut yah,,,?

Kedatangan kami ke RSUD Sumenep adalah, untuk koordinasi lanjutan rencana Operasi Bibir Sumbing yang akan dilaksanakan pada tanggal 30-31 Maret 2012. Sesampai di RSUD, kami langsung diterima oleh dr. Susiyanto (direktur RSUD Sumenep), dr. Fitril, dan dr. Beni. Beberapa saat lamanya, kami terlibat pembicaraan santai. Dari sekedar tanya kabar masing-masing, cerita tentang program dan perkembangan lembaga masing-masing, sampai mengenang beberapa kagiatan bersama yang pernah kami lakukan. (sweet memoryslah,,, haha..) Kemudian, obrolan kami mengarah pada tujuan utama. Yaitu kerjasama untuk kegiatan sosial berupa Operasi Bibir Sumbing.

Alhamdulillah, koordinasi berjalan sesuai dengan rencana.

Sebelum ke RSUD Sumenep, beberapa hari sebelumnya, kami (pengurus LKNU) sudah bersepakat dengan RSI Al-Irsyad Surabaya untuk menjalin beberapa kerjasama. Salah satu item kerjasama itu adalah mengadakan kegiatan bakti sosial berupa Operasi Bibir Sumbing secara gratis di Sumenep. Sedangkan semua fasilitas akan didatangkan langsung dari RSI Al-Irsyad (dokter bedah, perawat, peralatan medis, obat-obatan, dll).

Adapun tugas kami adalah, melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah, dinas kesehatan, RSUD, serta mendata pasien Bibir Sumbing yang hendak mengikuti operasi. Maka, kami langsung bergerak cepat melakukan koordinasi terhadap pihak-pihak terkait. Gayung pun bersambut. Pihak RSUD Sumenep, wellcome. Pemda sudah ACC. Pengurus Cabang NU Sumenep juga sudah merestui.

Tinggal apalagi?
Persiapan dong,,,

tentu masih banyak hal yang harus kami siapkan. Mulai dari merumuskan keperluan pra kegiatan, penyebaran informasi di beberapa media cetak (barangkali masih ada penderita bibir sumbing yang belum mendengar kabar, dan bermaksud mengikuti program ini), talk show di beberapa stasiun radio, koordinasi dengan teman-teman pengurus LKNU, menyiapkan keperluan pasien (foto diri, copy KTP, KK, dll). Tapi insya allah,,, semua akan berjalan sesuai dengan rencana. Amin…

capek?
Pasti.

Tapi sebandingkah rasa capek ini dengan kebahagiaan mereka—para penderita itu—setelah berhasil melakukan Operasi Bibir sumbing nanti? Saya yakin tidak. Kebahagiaan mereka jauh lebih indah dibandingkan dengan rasa lelah kami. Rasa lelah yang sedikit ini juga tidak akan ada artinya dibandingkan dengan kebahagiaan kami karena sudah bisa membantu orang-orang yang membutuhkan.

ÙˆَØ£َØ­ْسِÙ† ÙƒَÙ…َا Ø£َØ­ْسَÙ†َ اللَّÙ‡ُ Ø¥ِÙ„َÙŠْÙƒَ
Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik padamu (Al-Quran, surat Al-Qashas ayat 77)

Kami memang tidak punya kemampuan untuk membiayai operasi mereka dengan harta kami, karena kami bukan hartawan. Kami memang tidak bisa mengoperasi mereka, karena kami bukan dokter. Kami memang tidak bisa merawat mereka, karena kami bukan perawat. Kami memang tidak bisa meracikkan obat bagi mereka, karena kami bukan apoteker. Kami hanya bisa membantu mengupayakan agar Operasi Bibir Sumbing ini terlaksana secara gratis bagi mereka. Karena kami tahu, bahwa rata-rata mereka hidup dibawah garis kemiskinan.

Ampuni kami ya Allah,,, karena hanya mampu menyumbangkan sedikit rasa lelah pada mereka. Tetapi sungguh,,, kami benar-benar merindukan senyum yang utuh dari mereka.
Mudahkanlah ya Rob,,, mudahkanlah,,,

Wallahu a’lamu bish-shawab.

Cinta yang indah,,,


Ada banyak hal yang ingin kukisahkan padamu, duhai,,,
Tapi nanti, saat kita bersua, entah pada lembar keberapa dari awal perkenalan kita.

Salah satunya adalah tentang kisah cinta.
Tapi kau jangan marah dulu ya duhai,,, karena aku ingin bertutur tentang kisah cinta yang berbeda dari kisah cinta biasanya. Kisah cinta ini, tidak sembarangan orang bisa melakoninya. Kukatakan demikian karena cinta dalam kisah ini bukanlah cinta biasa yang kebanyakan orang pahami. Apalagi cinta yang berbalut nafsu. Jauh… sangat jauh dari semua itu.

Kisah cinta yang ingin kusampaikan ini adalah kisah cinta seseorang pada Rasulullah.
Tentu kita sudah sama-sama tahu tentang baginda junjungan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Insan paling paripurna yang senantiasa menggetarkan sejarah peradaban. Manusia paling mulia dari milyaran manusia lain yang pernah mengecap hidup di dunia.

Kisah indah ini aku dapat kemarin, duhai,,, Saat menghadiri pertemuan Alumni Pondok Pesantren Raudhatut Thalibin. Seperti biasa, kegiatan kemarin juga diawali dengan pembacaan surah yasin bersama, dilanjutkan dengan tahlil. Kemudian pembacaan sholawat Nabi. Dan sebagai acara inti adalah penyejuk hati. Kebetulan, yang mengisi adalah KH. Achmad Halimy, S.E, M.Pd.I, ketua Yayasan yang sekaligus adalah cucu pendiri Pondok pesantren Raudhatut Thalibin, KH. R. Abd. Mukmin Chanafi.

Ada kisah menarik yang dituturkan Gus Lim, kemarin. Beliau berkisah tentang salah satu murid dari Imam Junaid Al-Baghdadi, yaitu Abu Bakar Dalf bin Jahdar as-Syibli.

Dalam kitab Syarh Ratib al-Haddad, diceritakan bahwa as-Syibli pernah mendatangi majlis Abu Bakar bin Mujahid. Melihat Syibli datang, Abu Bakar bangun dari duduknya. Menyambutnya, memeluknya, dan mencium keningnya. Setelah kejadian itu, Abu Bakar ditanya oleh salah satu muridnya, “Duhai Guruku, kenapa engkau melakukan hal yang demikian kepada Syibli?”

Abu Bakar bin Mujahid menjawab, “Apa yang aku lakukan kepadanya adalah karena mencontoh yang dilakukan Rasulullah kepadanya. Aku pernah bermimpi melihat Syibli datang kepada Rasulullah. Lalu Rasulullah bangun dari duduknya dan mencium kening Syibli. Lalu dengan heran aku bertanya kepada Rasulullah, “Duhai Rasulullah, kenapa engkau berbuat demikian kepada Syibli?” Rasululullah menjawab, “Ya begitulah. Karena orang ini (Syibli) sehabis shalat senantiasa membaca ayat, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin” (at-Taubah: 128), lalu ia melanjutkannya dengan membaca shalawat kepadaku sebanyak 3 kali.”

Bukti cinta yang indah dari seorang ummat terhadap kanjeng Rosul.

Sungguh, aku merinding mendengar kisah itu, duhai… merinding bukan karena takut. Tapi karena menyadari bahwa rasa cinta yang kumiliki terhadap baginda rasul masihlah compang camping. Aku belumlah mampu menunjukkan rasa cinta yang semestinya seperti kisah as-Syibli. Padahal, aku senantiasa berharap mendapat syafaat dari kanjeng Rasul. Siapalagi penolongku nanti di yaumil hisab kalau bukan kanjeng Rosulullah?

Duh,, tidak terasa, hatiku tiba-tiba gerimis saat itu, duhai… sungguh, jika mengingat-ingat perjalanan hidup ini, rasanya tidak ada sebiji zarrahpun kebaikan yang patut dibanggakan. Yang ada malah torehan dosa yang selalu berkarat dalam diri. Sekali lagi,,, jika bukan kanjeng Rosulullah yang bersedia turun tangan menolongku kelak, aku tak akan bisa berbuat apa-apa.

Aku ingin jujur kepadamu duhai,,, bahwa selama ini aku hanya bisa mengaku sebagai ummat rasulullah,,, tapi tak pernah menunjukkan rasa cinta seindah as-Syibli. Shalawat yang kudengungkan hanyalah ala kadarnya yang tidak akan mampu menyerupai cinta rasulullah pada kita, ummatnya ini.

Tapi, duhai,,, selayaknya, kita memang mesti belajar menapaktilasi cinta as-Syibli. Mengurai cinta yang indah pada kanjeng Rosul dengan sederet lakuan yang indah pula. Aku ingin mengajakmu senantiasa membaca at-Taubah, ayat ke-128 ditambah shalawat tiga kali pada kanjeng junjungan di setiap selesai sholat. Insya allah, kita akan termasuk golongan orang-orang yang memperoleh syafaat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Inilah kisah cinta yang menurutku begitu indah, duhai… semoga juga menurutmu.

Wallahu a’lamu bih-shawab…
*****
Sumenep, 12 Maret 2012

Sesuatu banget yah…


Mimpipun tidak, bahwa beberapa bulan yang lalu, saya akan menjadi salah satu Tim surveyor Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Jawa Timur… kesempatan itu datang begitu saja. seperti maghnet yang tiba-tiba menempel. Kalo kata syahrini sih,,, sesuatu banget yah… hehe.. (ini kata saya juga lho,,,)

Tidak setiap orang punya kesempatan seperti itu. Meskipun untuk menjadi relawan surveyor PMKS, memang bukan masalah yang mudah. Jiwa raga harus dipersiapkan dengan matang. Tapi jangan sampe gosong (hehe,,,). Harus siap dengan segala resiko. Dicemooh, diancam, dikata-katain orang, dicibir, dihina dan,,, apalagi yah,,,? Pokoknya yang kagak enak dah,,,

Tapi,, tunggu dulu Avan,,, tunggu dulu,,,
jangan hanya dilihat dari tidak enaknya saja dong… lihat juga sisi positifnya. Banyak juga keuntungan yang bakalan diperoleh (ini penyemangat) ^_^

Dengan menjadi tim surveyor PMKS, manfaat yang bisa diperoleh adalah:
1.      Bertambahnya ilmu baru; terutama yang berkaitan dengan psikologi social. Menejemen loby, dan teknik PDKT. Haha… yang terakhir kayak main-main ya... Padahal serius lho...
2.      Menambah teman; ini jelas, karena akan bergabung dengan tim se Jawa Timur… bayangkan men,, se Provinsi… dan jika sudah bergabung dengan mereka-mereka, maka manfaatnya adalah, bisa saling tukar pengalaman, tukar no. HP, sekaligus tukar foto juga. Haha... (ini berlaku untuk yang sesama bujang dan jomblo) Sapa tahu dapat jodoh.. ^_^
3.      Banyak relasi. Ya,,, relasi memang sangat penting dalam kehidupan ini. Karena terkadang, peluang-peluang bisnis datang dari relasi kita. Gak mungkin kan, nawarin kerjasama bisnis dengan orang yang kagak kenal sebelumnya?. Yups! Bener!
4.      Menambah pengalaman. Ini juga pasti. Sebab, sebelumnya saya tidak pernah melakoni jadi surveyor PMKS. Jadi,, saat terjun ke lapangan (eh,, kok terjun sih bahasanya?) emm,,, apa ya yang bagus,,, gini aja,, saat saya mulai survey ke lapangan… hehe,,, itu juga berarti mulai menambah pengalaman baru.
5.      Bisa lebih banyak mengenal karakter orang lain. Nah,, yang ini nih,,, penting. Bahkan sangat penting. Dalam psikologi social,, (hadeeh,,, mulai sok deh) hehe,,, gak jadi pake teori ah,,, malu.. gini aja,, sebagai makhluk social, tentu saya tidak akan hidup sendiri. Saya juga bakalan berinteraksi dengan masyarakat majemuk yang mempunyai karakter berbeda-beda. Dengan lebih banyak mengenal karakter orang lain, maka saya bisa lebih siap hidup di tengah-tengah masyarakat nanti. (soalnya selama ini hanya mengenal lingkungan kost dan pondok pesantren) ^_^.
6.      Belajar metode survey dari para professor dan guru besar yang jadi instruktur pelatihan. Ini juga penting,,, siapa tahu kelak saya bisa jadi pfofesor juga,,,? Jadi sudah tahu gimana gaya-gaya profesor saat berhadapan dengan orang banyak. (kabulkanlah cita-cita hamba untuk jadi profesor ya Allah) Amin… (berdoa dengan khusuk.)
7.      Memberikan manfaat bagi orang lain. Ini juga bagian yang penting. Survey PMKS itu adalah aktifitas kemanusiaan. Tim surveyor bertugas mendata keberadaan para PMKS yang meliputi, gelandangan, anak jalanan, pengemis, gelandangan psikotik dan Pekerja Seks Komersial (PSK). Dari data awal, maka akan ditindaklanjuti dengan penyuluhan dan santunan. Selain itu, ada pelatihan teknis untuk keterampilan. Sehingga, diharapkan, setelah itu mereka punya usaha sendiri yang pada akhirnya bisa merubah statusnya. Jadi, bermanfaat bagi orang lain kan? (Ah, serius amat,,,)
8.      Pahala. Nah,, ini yang paling penting,,, (innamal a'malu binniat). niat awalnya haruslah niat ibadah. Jalurnya adalah jalan kemanusiaan. Maka insya allah,,, bakal termasuk golongan orang-orang yang beruntung di hadapan Allah SWT. Amin,,,

Wokey,,, Setelah tahu (kira-kira) pahit manisnya jadi surveyor PMKS, maka,,, dalam hitungan ketiga, saya akan mengambil keputusan. Satu,,, dua,,, tigaa,,,

YA… saya terima nikahnya (Ups!) salah,, hehe,,, (dasar obsesi jadi manten) haha..

Ya.. saya terima tawaran jadi Tim Surveyor PMKS Jawa Timur dengan senyum semanis madu. (Ciiieee.…) semoga mampu menjalankan amanah, dan bisa bermanfaat bagi orang lain.. 
Avaan,,, eh,, Amiiin…. ^_^

Batu,,, I’m coming….

ciieeee,,,, Avan + Kak Mahrus chek sound eeiiyy,,,


Suatu saat nanti,,, barangkali,,,



Kelak,,,
Akan tiba saatnya bagiku untuk menyadari banyak hal. Rasa yang tak biasa, debar yang mendera, galau yang menyapa, gelisah yang tak bertepi; jika tak ada kabar tentangnya.

Pendar jingga di pelupuk mata. Lembut angin mengecup kening. Gulungan awan menyambut senja. Akan menjadi episode yang paling kusenangi saat mengingatnya. Seseorang yang datang saat matahari belum sepenuhnya pergi. Ia hadir dalam sebuah nama. Berucap salam lewat pesan.

Lalu,,,
aku mulai suka menikmati semilir angin yang membelai lembut helai-helai rambut. Meninggalkan sejuk di kening, pipi, punggung tangan, dan jemari kaki. Mencipta seulas senyum di sepasang bibirku, hingga untuk kesekian kalinya aku harus mengakui bahwa ada yang aneh jika sehari tanpa kabar darinya. Seseorang yang semula entah siapa,,,

lalu,,,
aku mulai suka,,,
dengan suaranya yang manja, dengan tawanya yang renyah, dengan gaya bicaranya yang ceplas ceplos, dengan sifatnya yang pelupa, dengan sikapnya yang kadang bandel. dengan semangatnya yang tak pernah pudar, dengan cerita-ceritanya yang selalu membuatku tersenyum, atau bahkan tertawa-tawa penuh keriangan. dengan mimpi-mimpinya untuk membangun sebuah rumah mungil di lereng gunung, dengan tangisnya yang kadang-kadang tumpah begitu saja, dengan senandungnya saat bahagia. dan sebagainya,,, dan sebagainya….

Lalu,,,
Aku semakin suka,,,
menikmati percakapan demi percakapan di telepon. Menikmati senja dari pematang sawah. Menikmati gerimis di musim penghujan. Menikmati pelangi sehabis hujan sore hari. Menikmati gemintang yang berkedip. Menikmati subuh yang selalu cantik. Menikmati embun yang senantiasa bening. Menikmati angin pagi yang berkabar tentangnya.

Lalu,,,
Aku mulai bingung bagaimana caranya;
Memaknai perasaan yang berdebar. Menuliskan sajak tentang hati. Memulai percakapan yang selalu kikuk. Meredakan gugup dalam dada. Mengucap salam saat menerima teleponnya. Mengatur nafas saat mulai tak tenang. Melanjutkan cerita yang tiba-tiba lupa. Mengatakan kejujuran tentang isi hati.

Lalu,,,
Aku mulai mengerti,,,
Bahwa aku sudah sangat dekat, meski tak pernah sekalipun menikmati senja bersamanya.

Suatu saat nanti,,, barangkali,,,
Akan tiba saatnya bagiku untuk menyadari satu hal. Ada rindu seharum madu…