saat kembali ke Facebook,,,






Jelang menikmati senja yang mulai cantik, selepas siaran sore, entah dari mana datangnya, tiba-tiba ada kerinduan yang menghangat di dada untuk membuka Facebook. Saya juga heran. Padahal sudah berbulan-bulan akun FB saya nonaktifkan. Tapi karena banyak teman-teman yang juga meminta saya aktif kembali di FB. Ya sudah,,, Setidaknya, agar tetap bisa menjaga ukhuwah dengan teman-teman meski di dunia maya.

Akhirnya, sore tadi saya mengaktifkan kembali akun FB. Melihat-lihat isi FB, saya seolah kembali lebur dalam kenangan-kenangn yang terselip di berandanya. Ada senyum. Ada perih. Ada tawa. Ada airmata juga. Lalu perlahan saya menulis catatan untuk FB, Selepas buka puasa.

Selamat malam Facebook,,,
apa kabarmu,,,?


Lama tak bertemu engkau,,, lama tak bercerita denganmu membuat rinduku tiba-tiba menghangat. Entah rindu semacam apa ini. mungkin semacam keinginan untuk mencurahkan berbagai hal yang seringkali terbersit di hati. Atau keinginan untuk mempererat ukhuwah yang nyaris hilang dalam beberapa bulan terakhir ini. Atau keinginan untuk bertukar kisah denganmu atas banyak hal yang sama-sama kita lalui selama ini.


Kau tahu facebook,,,? Aku seringkali ditertawakan oleh sahabat-sahabatku lantaran tak punya akun di beranda hatimu. Aku hanya tersenyum menanggapinya. Katanya aku kuno, katrok, gak gaul, gak update, gak modern, dan sebutan “manis” lainnya. Itu kata beberapa temanku. Tapi tentu saja aku hanya tersenyum sembari mengiyakan. Mau gimana lagi?


Aku yakin hanya kamu yang tahu tentang alasanku.
Maafkan aku ya,, kalau selama ini aku menghilang dari berandamu. Aku lagi belajar tentang banyak hal. Belajar menulis, belajar merintis usaha dengan teman-teman, belajar jadi penyiar yang baik. Dan lain-lainnya. ^_^


Oh iya Facebook, sekarang rambutku mulai gondrong lho,,, malah ada yang manggil Mas gondrong di radio. Pernah aku ditanya kenapa rambutku dibiarkan panjang? Aku hanya tersenyum dan menjawab “pengin aja,,,” Lalu kubilang nunggu lebaran untuk memotongnya. Banyak protes sebenarnya dengan kegondrongan rambutku, termasuk Ibu. Katanya aku tambah jelek. Tidak rapi, dll. aku nyengir mendengarnya. Bukankah aku memang slengean? Tapi kalau ke kantor aku pakai songkok. Jadi gak ketara gondrongnya. Cocok sekali kan dengan bulan Ramadhan. Jadi kesannya lebih islami. *_*


Aku kembali ke berandamu bukan semata karena keinginanku. Tapi karena engkau juga. selain itu beberapa teman dekat memang memintanya. teman-teman penyiar di luar kota, teman-teman Pergunu, teman-teman Operator NUPTK, teman-teman kelas menulis, juga teman-teman komunitas yang lain. Akhirnya aku berpikir, tidak ada salahnya sesekali aku berdiam di berandamu. Meski mungkin aku harus pergi lagi, entah kapan.


“Facebook, ambil hikmahnya saja” kata salah seorang temanku. Benar. Aku memang harus belajar banyak darimu Facebook. Terutama tentang kesabaran. Aku tahu, banyak hal yang terjadi padamu. Dari yang manis sampai pahit. Dari yang baik sampai yang kurang baik. Dari ucapan-ucapan yang mendidik sampai caci maki. Tapi kau tetap berlapang dada memuatnya. Menerimanya dengan penuh kesabaran.


Jadi aku memang harus belajar sabar sepertimu.
Ajari yah,,,?


I love you, Mom...




ini hari pertama saya buka puasa dengan teman-teman penyiar di radio. Tentu saja saya lakukan ini karena sudah mendapatkan ijin dari Ibu. Jika tidak, saya tetap akan pulang untuk buka puasa di rumah. Bukan karena saya anak mama, mami, atau anak apalah namanya yang rada-rada manja dan dikekang. Bukan. Tapi karena kondisi ibu yang masih belum sepenuhnya pulih, yang membuat saya harus bolak-balik kerja dan pulang ke rumah.

Sebelum berangkat tadi pagi, saya juga sudah minta adik untuk menjaga ibu sekaligus menyediakan buka puasanya. Meski belum pulih, ibu tetap memaksakan diri untuk puasa. Saat saya tanya dengan nada sedikit keberatan, ibu malah tersenyum sambil bilang “apa kamu tahu bahwa kita akan bertemu kembali dengan ramadhan yang akan datang? Apa ada orang yang bisa menggantikan pahala puasa yang ibu tinggalkan jika sebenarnya ibu masih bisa untuk puasa?” saya terdiam. Tak punya jawaban apa-apa. Lalu saya teringat penjelasan Kyai sewaktu ikut pengajian di pondok dulu.

Menurut beliau, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam salah satu Hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim Rahimahullah. “Semua amal perbuatan bani Adam adalah kepunyaan bani Adam sendiri, kecuali puasa. Puasa itu kepunyaanKu, dan Aku yang akan memberikan balasan. Maka, demi Dzat yang nyawa Muhammad ada di tanganNya, sungguh di sisi Allah, aroma mulut orang yang sedang berpuasa itu lebih harum dari pada minyak kasturi”.

Kemudian Imam Mazari rahimahullah dalam kitab al-mu’lim bifawa-idi mengatakan, “Dalam Hadits Qudsi ini, Allah Azza wa Jalla secara khusus menyebut puasa sebagai “MilikKU”, padahal semua perbuatan baik yang dilakukan secara ikhlas juga milikNya; karena dalam puasa, kecil kemungkinan ada riya’, sebagaimana pada perbuatan-perbuatan selainnya. Karena puasa itu perbuatan menahan diri dan menahan lapar. Sementara orang yang menahan diri—baik karena sudah kenyang ataupun karena miskin—Dhahirnya sama saja dengan orang yang menahan diri dalam rangka beribadah kepada Allah Azza wa Jalla. Niat serta motivasi yang tersimpan dalam hatilah yang memiliki peranan penting dalam masalah ini. Sedangkan shalat, haji, dan zakat merupakan perbuatan-perbuatan lahiriyah yang berpotensi menimbulkan riya’ dan sumah. Oleh karena itu, puasa dikhususkan sebagai milik Allah sementara yang lainnya tidak”.

“Bagaimana Nak,,,?” suara ibu menyadarkan lamunan saya. “Ibu benar,,, Cepat sembuh ya Bu,,, Semoga Allah menerima amal ibadah kita.” Lalu saya tersenyum pada Ibu, dentuman rasa haru membuncah di dada. “I Love You, Mom...” batin saya. tak kuasa terucap. Kemudian saya pamit pada ibu sambil mencium tangannya.

Ujian saat puasa,,,



Ini hari ketiga saya menjalani ibadah puasa dengan aktifitas yang tetap padat. Lembur Updating data PTK, siaran di radio setiap pagi dan sore, mengisi kelas menulis di pondok, bernegosiasi dengan pemilik tanah (soalnya lagi ngebet pengin beli tanah untuk Rumah Rindu. Hehe,,,). Distribusi brosur Lomba pildacil dan Nasyid ke beberapa Lembaga dan MWCNU, rapat koordinasi dengan Mas Hajar dan beberapa teman lainnya untuk managemen Usaha Bersama (semoga usaha kami lancar), dan lain sebagainya. Saya juga harus bolak-balik pulang ke rumah selepas siaran sore. Selain untuk buka puasa, saya harus merawat Ibu yang kebetulan tengah sakit (Semoga cepat sembuh ya Bu,,,).

Alhamdulillah saya masih bisa sholat tarawih berjamaah. Tadarus juga masih tetap jalan, meski tidak seperti dulu. Target 3 Juz dalam sehari semalam belum bisa saya penuhi. Tapi saya tetap tidak patah semangat untuk mengejar target. Semoga saya tidak kalah dengan kesibukan.

Ujian datang sejak hari pertama ramadhan. Sebenarnya tidak begitu berat, tapi berhubung sambil puasa, jadi rasanya beda aja. Bukan aktifitas yang padat tadi yang membuat saya merasa sedikit berat melewatinya, tapi karena saya harus menyiapkan buka puasa dan makan sahur sendiri yang membuat saya merasa sedikit terbebani.

Dulu saya memang terbiasa melakukannya sendiri sewaktu di pondok. Tapi saat ini, dengan aktifitas yang banyak, otomatis tenaga dan waktu saya tidak cukup untuk melakukannya sendiri. Saya butuh orang lain yang bisa meringankan tugas-tugas ini. setidaknya, untuk menyiapkan buka puasa dan makan sahur. Itu saja. Tapi siapa?

Ah,,, sayang kau tak disini duhai,,, Padahal dulu kau berjanji akan memasak untukku…

Jika saja Ibu dalam kondisi sehat, sudah pasti beliau yang menyiapkan. Jika saja adek tidak hidup mandiri dengan suaminya, pasti dia yang menyiapkan. Lalu saat perempuan-perempuan itu sudah tidak memungkinkan untuk menyiapkan, mau tidak mau saya memang harus menyiapkan sendiri. Meski sekedar makan nasi dengan mie. Bukan karena saya tidak tahu masak dengan menu yang macam-macam, tapi karena saya memang tidak punya waktu yang banyak untuk memasak. Jadilah makan dengan praktis. Atau beli untuk buka puasa.

Semalam misalnya, disela-sela Updating Data PTK, saya harus membawa Ibu periksa ke dokter karena demamnya masih tinggi. Setelahnya saya harus melanjutkan pekerjaan sampai menjelang pukul 01.00 Dini hari. Badan sudah capek. Mata sudah ngantuk. Tidak mungkin untuk masak. Jadi saya langsung istirahat. Alarm di HP berdering pukul 02.45. saya bangun untuk makan sahur. Untung persediaan nasi masih ada. Tinggal merebus mie saja. selesai. (saya tahu, ini bukan menu makan yang sehat. tapi mau gimana lagi?)

Selesai sahur, saya segera ambil wudhu. rasa dingin dari air wudhu terasa seperti es. akhir-akhir ini cuaca memang sangat dingin jika malam hari. kemudian, dalam qiyamul lail saya mengadu padaNYA. Kondisi seperti ini tidak mungkin saya jalani terus menerus. Tapi saya juga tidak tahu harus bagaimana. Saya hanya percaya bahwa Allah punya rencana yang indah untuk setiap hambanya.

Sambil menunggu adzan shubuh, saya larut dalam tafakkur. Berbagai peristiwa berlesatan dalam benak saya. Lalu terngiang nasehat Kyai di pondok beberapa hari yang lalu, agar saya segera melangkah pada kehidupan baru. Tidak baik menunda-nunda. Saya sempat mengutarakan kesulitan saya untuk berdamai dengan hati. Saya sampaikan pada kyai bahwa saya mungkin masih sedikit trauma. Atau bahkan memang trauma. Rasa sakit yang berkali-kali saya alami tidak bisa saya pungkiri telah menjadi penyebab ketakutan itu. Semua orang yang dekat seolah hanya akan meninggalkan gores luka di hati saya. Lalu dengan tersenyum lembut kyai bercerita banyak hal. Termasuk perjalanan hidup beliau. Saya mendengarkan dengan penuh takdzim.

Diakhir pembicaraan, Kyai menawarkan saya untuk ta’aruf. Saya terkejut mendengarnya. Apakah harus seperti ini jalan hidup saya? Apakah harus dengan orang yang tidak pernah saya kenal sebelumnya saya akan melewati kehidupan baru? Wallahu a’lam. Saya pasrah pada Allah. meski sejujurnya hati saya sangat cemas.

Dalam hati kecil saya memang memberontak. Rasa sayang terhadap seseorang memang masih lebat di hati saya. Tapi saya takut justru menjadi luka untuknya. Sampai kapan ia akan benar-benar datang untuk saya? Tentu saya tidak menemukan jawaban apapun. Maka saya bersujud kepadaNYA. Mencurahkan setiap apa yang terbersit dalam hati.

Usai berdoa dalam sujud, terdengar bunyi sholawat dari pengeras suara di masjid. Sebentar lagi adzan. Sebelum berangkat, saya ke kamar terlebih dahulu. Mengambil HP sekalian mengecek agenda nanti di kalender. Ada 7 pesan masuk. Saya buka satu-persatu. Isinya sama. Ucapan selamat sahur. Tapi yang terakhir rasanya sedikit berbeda. 

Met sahur ya,,, Met puasa juga…
Semoga amal ibadah kita diterima oleh Allah SWT. Amin…
Jangan lupa sebut namaku dalam doamu..
(ternyata masih ada orang yang berharap doa dari saya, meski jelas-jelas saya bukan seorang ustadz. Alhamdulillah,,, sesama muslim memang saling mendoakan)

Ya rob… mampukan hamba melewati setiap ujian ini...

Aku takut untuk menjadi rindu,,,


(bagian 3 dari catatan rakernas)

Tidak setiap pertemuan menyisakan kenangan. Tidak setiap kenangan menyisakan senyuman. Tidak setiap senyuman menyisakan rindu. Tapi rindu selalu berhasil melahirkan senyum. Maka, jadilah rindu.”
Saya baca kembali pesan singkat itu sembari sedikit menjauh dari teman-teman rakernas yang sedang ngobrol di tengah kamar asrama. Saya berbaring di kasur kecil berwarna hitam. Berharap rasa pening di kepala semakin menghilang. Sekalian saya membalas pesan pendek itu.

    Terimakasih. Kalimatnya indah. Penuh makna.
      Aku belajar darimu.
    Ha ha ha…
      Kok ketawa?
    Aku tak pernah mengajari apapun padamu.
      Kau memang tak pernah menggurui Mas,, tapi justru itu yang mengajari banyak hal.
    Terimakasih dech… ^_^
      Senyumnya manis
    Jiiaaahh,,,, itu senyumnya HP
      Aku yakin orangnya juga tersenyum,,,
    Tahu dari mana,,,?
      Dari hati,,,
    Wuiih,, dalem banget,,,
      Namanya juga hati,,, tak akan kita temui ukuran apapun yang mampu mengukurnya.
    Karena hati memang tak perlu diukur,,, cukup dirasakan saja.
      Seperti rindu?
    May be,,, sebab segala sesuatu yang bersumber dari hati tak akan mampu ditakar dengan apapun.
      Sama sepertimu.
    Sepertiku?
      Iya.
    Kenapa denganku?
      Kau dan rindu seperti dua sisi mata uang. Menyatu tapi sulit ditafsir.
    Tapi aku bukanlah rindu.
      Jika begitu, jadilah rindu.
    Aku tak mau menjadi rindu,,,
      Kenapa?
    Karena rindu seringkali menyisakan luka.
      Justru luka yang akan membuat rindu semakin indah. Semakin berarti. Semakin mendewasakan.
    Tapi tidak setiap orang menyadarinya.
      Butuh waktu untuk menyadari keindahan rindu. Bahkan terkadang butuh sakit terlebih dahulu untuk mengetahui betapa sangat berartinya rindu itu.
    Kau benar. Tapi untuk apa menjadi rindu jika tak ada yang menginginkan?
      Jika ternyata ada?
    Aku tetap tak ingin menjadi rindu.
      Kenapa?
    karena aku takut malah menjadi luka untuk orang itu.
      Kau tidak akan menjadi luka baginya hanya karena menjadi rindu
    Tidak ada jaminan bahwa aku tidak akan menjadi luka untuknya.
      Jika dia tetap ikhlas meski terluka?
    Aku yang tidak ikhlas untuk melukainya
      Jika begitu jangan lukai dia
    Aku tak pernah punya niatan untuk melukai siapapun, hanya saja, aku belum tahu bagaimana caranya membahagiakan orang lain.
      Mau aku kasitahu caranya?
    Boleh,,,
      Aku telepon ya,,,?
    Boleh… tapi jangan sekarang ya,,,? Aku sudah mau ke tempat acara. Udah tahu kan?
      Bikin geregetan..
    Ha ha ha… sorry
      Iya dech,, gak apa-apa.. yang penting ilmunya dibagi ya,,,?
    Insya Allah…

Saya bergegas bangun. Sementara teman-teman yang lain juga sudah pada bersiap untuk menghadiri pengajian umum dan silaturrahim peserta rakernas dengan beberapa Kyai sepuh. Setelah semua siap. Kami bersama-sama menuju halaman samping Masjid Amanatul Ummah. Ratusan hadirin sudah duduk di kursi yang telah disediakan. Saya memperkirakan tidak kurang dari 700 orang yang sudah hadir di tempat itu. Sedangkan yang lain juga mulai berdatangan satu-persatu.
Sebelum acara resmi dimulai, kami disuguhi penampilan qosidah dari santri Amanatul Ummah. Menurut informasi dari MC, group qosidah itu sudah pernah menjadi juara Nasional. Terus terang saya kagum dibuatnya. Suaranya merdu. Ada tiga penyanyi perempuan dan satu penyanyi cowok. Semuanya belia. Masih duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah atau setingkat SMP.
Selesai beberapa penampilan, kemudian acara resmi dibuka dengan pembacaan ayat suci Al-quran. Pembacaan sholawat nabi. Lalu sambutan dari pengasuh Pon.pes Amanatul Ummah sekaligus ketua Pimpinan Pusat Persatuan Guru Nahdlatul Ulama; DR. KH. Asep Saifuddin Chalim, M.A. Dalam sambutannya, beliau banyak memberikan informasi sekaligus motifasi yang mampu menumbuhkan semangat bagi para peserta rakernas (terutama saya). Menurut Romo Kyai Asep, pergunu menyediakan 1.000 beasiswa S-1 dan 200 beasiswa S-2 bagi para angotanya. Juga jurnal PROGRESS untuk wadah menulis. Lalu diam-diam saya berharap, tahun berikutnya akan ada beasiswa S-3 untuk anggota pergunu agar saya juga bisa melanjutkan studi lagi. ^_^
DR. KH. Asep Saifuddin Chalim, M.A (ketum pergunu)
Selain informasi dan ilmu pengetahuan baru dari KH. Asep, saya juga terkesan dengan penampilan ustadzah cilik Ponpes Amanatul Ummah. Namanya Vika. Saya lupa nama lengkapnya. Saat tampil, Vika yang pernah menjadi juara pemilihan da’i cilik tingkat nasional itu membahas tentang 3 keistimewaan angka 17. Yaitu 17 rakaat dalam sholat. Tanggal 17 di bulan Ramadhan. Dan tanggal 17 di bulan Agustus. Bukan karena keistimewaan angka-angka itu yang membuat saya terkagum-kagum. Tapi gaya penuturan Vika yang membuat saya terkesima. Bahasanya sederhana. Santun. Mengalir tanpa halangan.
Vika,,, (Mirip Ayatul Husna di KCB,,,) hehe,,
(saya bersyukur karena 3 hari kemudian bisa ngobrol dengan Vika dalam perjalanan pulang dari rakernas. Saat itu kebetulan satu mobil dengannya. Tapi tidak berdua, saudara-saudara... ada Mas Lukman juga. Pak Munawar Cilacap, Mas Aris Magetan. Tiga orang penyanyi nasyid dan dua orang ustadz Amanatul Ummah. Tentang perjalanan pulang itu, jika sempat saya akan tuliskan di sini nanti.^_^ )
Prof. DR. KH. Ali Aziz, MA.
 Puncak acara silaturrahim malam itu adalah Pengajian Umum. Kebetulan yang didaulat mengisi adalah Prof. DR. KH. Ali Aziz, MA. Seorang Guru Besar di IAIN Sunan Ampel. Kyai Ali membahas tentang bahasa seorang pendidik. Menurut beliau, seorang pendidik haruslah benar-benar mengerti tentang komunikasi. Pendidik memegang peranan penting untuk kemajuan anak didiknya. Seorang guru tidak saja hanya dituntut untuk bisa mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi lebih jauh diharapkan menjadi tonggak awal semangat dan kemajuan anak didiknya. Untuk itulah, seorang guru harus benar-benar memilih kata dan kalimat yang akan diucapkan pada muridnya.
Sungguh sangat krusial peranan seorang guru. Jika gagal, bukan saja merugikan satu orang, tetapi semua anak didiknya akan terancam gagal. Betapa banyak mahasiswa yang sedang merampungkan skripsinya mendadak semangatnya ambruk saat tulisannya “dicaci” oleh dosen pembimbingnya. Betapa banyak siswa yang kehilangan semangat belajarnya gara-gara dibilang “goblok” oleh gurunya hanya karena tidak bisa menjawab satu soal dengan benar.
Duh,,, akan jadi apa dunia pendidikan kita jika masih banyak guru yang memposisikan muridnya seperti “keledai”? para Guru, semestinya berbicara dengan perkataan yang menumbuhkan semangat. Pilihan kata yang digunakan juga haruslah yang qoulan maisyuroh. Perkataan yang terbaik untuk membangkitkan motivasi bagi siswa. Bukankah seluruh Makhluk di alam semesta berdoa untuk orang yang mengajarkan ilmu pada orang lain? Itulah seorang guru. Sebuah profesi yang sangat mulia.
Maka, jadilah guru yang baik, atau tidak sama sekali. Saya bergetar mendengar tausyiyah yang disampaikan oleh Kyai Ali. Saya terdiam. Berdoa dalam hati. Ya Allah,,, semoga bisa menjadi seorang pendidik yang baik ya rob…

lalu besoknya saya resmi jadi peserta rakernas pergunu 2012. 
lengkap dengan kalungnya. hehe...
H. Munawar (cilacap), Avan, Lukman (Sumenep)



Jadilah Rindu,,,


(bagian 2)
Siang itu, matahari bersinar dengan terik di terminal Bus "Bungur Asih". Panasnya menyambar wajah serta kulit saya saat turun dari Bus Patas Sumenep-Surabaya. Sakit di kepala kembali mendera. Perjalanan ini terasa semakin berat dengan kondisi tubuh yang kurang vit. Apalagi hampir 5 jam tubuh saya terguncang-guncang di dalam Bus. Jadi lengkap sudah ketidakenakan ini.
Sekilas saya melirik jam di lengan. Sudah hampir pukul 14.00 WIB. Selain pusing, rasanya perut sudah mulai keroncongan. Keringat dingin juga perlahan mulai merembes dari pori-pori kulit. Sementara saya juga belum sholat Dhuhur. Jadi, harus segera ke Masjid. Lalu makan siang. Kebetulan tak jauh dari terminal Bungur Asih terdapat masjid. Juga deretan warung yang menjual aneka makanan.
“Mas, saya langsung melanjutkan perjalanan ya,,” Fiya menyadarkan lamunan.
“Kamu ndak sholat dhuhur dulu,,,?”
“Kebetulan lagi dapat dispen Mas” jawabnya dengan senyum.
“Em,,, ya sudah, kalo gitu gak apa-apa,,, sekali lagi terimakasih atas kebaikanmu.”
“Sama-sama Mas,, saya juga berterimakasih untuk banyak hal.”
“Hal apa,,,?” Tanya saya bingung.
“Untuk sharingnya. Terus terang saya merasa nyaman ngobrol dengan Mas Avan.”
“Hehe,,, bisa aja kau Fiya.”
“Saya serius Mas.. ya udah, saya pamit dulu,, jangan lupa kirim kabar. Saya harap, ukhuwah ini tetap terjalin. Assalamu’alaikum…”
“Insya Allah,,, wa’alaikumsalam… hati-hati di jalan ya,,,” Fiya mengangguk sambil tersenyum. Saya melepas kepergian Fiya dengan doa dalam hati. Semoga Allah memberikan kemudahan atas segala urusannya. Amin…
“Jadi hadir ke rakernas atau mau ke Malang,,,?” saya terkejut mendengar suara Mas Lukman. Sekilas saya menoleh. Ternyata Mas Lukman sudah berdiri di samping pintu Bus belakang. Pantas saja saya tunggu di pintu depan gak nongol-nongol? Saya bergegas menghampirinya.
“Tujuan kita kan ke rakernas Mas,,, masak mau merubah haluan? Ya nggaklah,,, ke Masjid dulu yuk,,,?” saya terus berjalan ke Masjid. Sementara Mas Lukman mengikuti dengan senyum-senyum. Mau tidak mau, saya juga tersenyum dibuatnya.
Saya merasa lebih segar saat air wudhu membasahi wajah. Pening di kepala juga sedikit berkurang. Saya sholat dhuhur berjamaah dengan Mas Lukman dan beberapa orang lainnya. Meski tidak saling mengenal, tapi kami sudah disatukan dalam ikatan akidah. Seluruh umat muslim bersaudara. Itulah pegangan terindah buat kami. Apalagi bisa melaksanakan sholat berjamaah. Subhanallah,,, rasanya semakin erat ukhuwah ini.
Selepas sholat Dhuhur, Mas Lukman menghubungi panitia rakernas. Dalam undangan memang tercantum, bahwa peserta rakernas yang akan hadir, akan di jemput di empat titik. Bandara Juanda, Stasiun Gubeng, Terminal Bus Bungur Asih, dan Stasiun Wonokromo. Jadi nanti, kami tidak perlu kebingungan mencari tempat rakernas. Setelah bicara agak lama, Mas Lukman kemudian memberitahukan bahwa jemputan insya allah akan datang 1 jam lagi. Menurut informasi, ada beberapa orang peserta rakernas yang juga menunggu jemputan di masjid ini. saya tidak bisa memastikan siapa saja orang-orang itu. Begitu banyak orang yang sholat dan istirahat di masjid ini.
Waktu 1 jam kami manfaatkan untuk makan siang dulu. Saya dan Mas Lukman memilih warung yang dekat dengan masjid. Memesan nasi campur dua porsi, serta dua gelas teh hangat. Bedanya, kalau saya cukup dengan telur dadar sama peyek udang, (maklum, masih alergi sama daging ayam) sedangkan Mas Lukman pesannya ikan ayam. Sambil menunggu pesanan datang, kami ngobrol sambil bertukar pengalaman. Saya mendapat banyak ilmu dari Mas Lukman. Meski satu organisasi, kami masih belum kenal jauh. Maklumlah, di Sumenep, pergunu baru saja dibentuk. Sedangkan pengurusnya banyak yang belum saling kenal, termasuk saya dengan Mas Lukman.
Tapi organisasi sudah membuat kami saling belajar satu sama lainnya. Saya yang selama ini lebih banyak beraktifitas di dunia broadcasting dan kantor, kembali tergugah untuk lebih memfokuskan diri pada dunia pendidikan. Semoga Allah mengabulkan. Amin…
Setelah makan siang, kami kembali ke masjid. Adzan ashar berkumandang bersamaan dengan sampainya kami di masjid. Alhamdulillah,,, Sholat ashar kami laksanakan berjamaah. Dalam sujud terakhir, saya memohon pada Allah, agar dimudahkan segala urusan. Dikabulkan segala hajat yang baik. Dilimpahi rejeki yang barokah serta dianugerahi istri yang sholehah.
Selepas salam. Dalam tafakkur yang sedikit panjang. Dua mata saya tiba-tiba menghangat. Saya tak mampu meminta lebih banyak lagi dengan kata-kata. Saya yakin, Allah Maha Tahu segala yang terbersit dalam hati. Bahkan jikapun saya hanya mampu bicara lewat airmata. Allah pasti mengetahuinya.
Seringkali saya merasa sangat tidak layak meminta, termasuk saat ini. Tetapi saya juga tahu bahwa Allah sangat senang terhadap hamba-hambaNYA yang datang dengan bersungguh-sungguh untuk meminta. Sebab jika bukan padaNYA, lalu pada siapa lagi saya akan meminta? Allah Maha pemberi. Maha Pemurah. Maha Rahman. Maha Rahim.
*****
Sesuai dengan yang sudah dijanjikan, setelah kurang lebih 1 jam kami menunggu. Jemputan akhirnya datang juga. saya dan Mas Lukman bergegas ke mobil. Lalu tanpa saya sadari ada sekitar belasan orang yang juga menghampiri mobil jemputan. Lalu kami saling berucap salam. Saling sapa. Saling mengenalkan diri.
Ada dua mobil yang menjemput kami di terminal Bungur Asih. Lalu kami dibawa ke kantor PWNU Jawa Timur terlebih dahulu. Di sana sudah banyak peserta rakernas yang berkumpul. Lalu, perjalanan kembali dilanjutkan. Dari sana, kami diantar dengan Bus mini ke ponpes Amanatul Ummah Pacet-Mojokerto.
Perjalanan ke tempat rakernas memakan waktu hampir 2 jam. Melewati jalanan menanjak yang berkelok-kelok dan tebing yang cukup curam. Hawa sejuk alam pegunungan langsung menyapa kami. Hijau sawah dengan padi-padi yang belum tua menambah indahnya suasana. Aliran air yang cukup deras diantara saluran irigasi menandakan bahwa daerah tersebut sangatlah subur. Pepohonan juga sangat rindang. Saya terpesona dengan panorama alam seperti ini. Apalagi, senja mulai terlihat dengan sangat manja. Rona merahnya menorehkan debar di hati. Saya larut dalam imajinasi.
(adakah engkau juga tengah menikmati senja,,, duhai,,,?)
Alunan sholawat dari pengeras suara di masjid Amanatul ummah menyambut kedatangan kami. Beberapa orang panitia muncul dengan senyum hangat penuh persaudaraan. Memberikan sedikit keterangan lalu mengantarkan kami menuju tempat registrasi. Saya melangkah dengan rasa pening di kepala. Bagaimanapun juga saya sudah sampai. Jadi saya harus kuat.

Setelah selesai registrasi, kami sama-sama mendapatkan Tas hitam yang berisi Jurnal PROGRES edisi pertama. Buku ASWAJA tulisan DR. KH Asep Saifuddin Chalim (Ketua umum pergunu). Bolpoint, block note dan ID card. Lalu kami dipersilahkan menuju tempat penginapan (Asrama pondok). Satu kamar berisi 15 orang. Untunglah, masing-masing peserta disediakan kasur kecil untuk tempat tidur. Jadi, meski hawa di tempat itu sangat dingin, setidaknya saat tidur tidak akan terlalu kedinginan karena beralaskan kasur.
Setelah mandi, kami bergegas ke masjid untuk sholat maghrib berjamaah. Dilanjutkan makan malam ke tempat prasmanan yang kebetulan berada di depan kantor MA akselerasi Amanatul Ummah. Diam-diam hati saya merasa kagum dengan penataan gedung dan kemegahan bangunan yang ada di tempat itu. Sebuah Pondok Pesantren yang masih terbilang baru, tetapi sudah mempunyai santri lebih dari 3 ribu orang. Konon, ponpes Amanatul Ummah di pacet ini berdiri tahun 2006. Dalam waktu enam tahun, sudah menjadi salah satu lembaga pendidikan paling diminati oleh banyak kalangan. Subhanallah…
Selesai makan malam, kembali kami sholat isya’ berjamaah di masjid. Dalam perkiraan saya, tak kurang dari seribu jamaah yang terkumpul disitu (semoga tidak salah kira). Saya dan Mas Lukman tentu menjadi bagian dari mereka.
Sekembalinya ke kamar, kami mulai saling tegur sapa. Saling memperkenalkan diri juga. saya kebetulan sekamar dengan delegasi dari Cilacap, Garut, Jambi, Bengkulu, Lamongan, Magetan, Trenggalek. Kalau saya dan Mas Lukman jelas dari Sumenep. ^_^
Ditengah kami asyik ngobrol, tiba-tiba HP saya berbunyi. Beberapa pesan masuk dengan bersamaan. Ternyata di sini jaringan sangat sulit. Signal ngilang-ngilang. Saya buka satu-satu pesan masuk itu. Beberapa diantaranya dari kawan-kawan di Sumenep. Ada dua nomor baru. Saya buka salah satunya.
“Tidak setiap pertemuan menyisakan kenangan. Tidak setiap kenangan menyisakan senyuman. Tidak setiap senyuman menyisakan rindu. Tapi rindu selalu berhasil melahirkan senyum. Maka,,, jadilah Rindu.”
Saya terkejut membaca pesan singkat ini. mencoba mengira-ngira dari siapakah gerangan? Beberapa saat lamanya saya mencari, tapi tak sedikitpun saya dapat gambaran. Duh,,, pening mulai mengganggu konsentrasi saya. Jangan-jangan,,,? Ah,,, secepatnya saya memeriksa Log HP. Lalu saya tersenyum dibuatnya.
*****
*bersambung… ^_^

Cinta tak pernah salah,,,



Bagaimana mungkin bersama, 
jika hanya aku yang punya cinta,,,
Bagaimana mungkin aku bicara cinta, 
jika kau tak memiliki rindu untukku,,,
Bagaimana mungkin kau dapat mengerti aku, 
jika namakupun tak pernah ada di hatimu,,,

Maaf telah membuatmu resah,
Maaf telah membuatmu susah,
Maaf telah membuatmu gelisah,
Maaf telah membuatmu gundah,

Tapi kuyakin, cinta ini pun tak akan pernah salah.
Bahkan, kalaupun harus kau bagi cinta ini untuknya…

Repro: film “Cinta tak Pernah Salah”

Kesempatan itu,,,



(Bagian 1)
Beberapa hari yang lalu, saat memutuskan untuk hadir pada rapat kerja nasional Pergunu di Ponpes Amanatul Ummah, Pacet-Mojokerto, sebenarnya saya masih dalam kondisi yang belum prima. Kalau dalam bahasa umumnya, ya sakit. Badan meriang, tenggorokan panas, kepala seperti dihantam ratusan palu berkali-kali. Sangat-sangat-sangat sakit. Bahkan setiap kali berjalan, hampir seluruh urat-urat dalam tubuh serasa dilolosi. Lemes banget rasanya.
Saya memang tidak sempat menghitung, sudah hari keberapa kondisi seperti ini saya alami. Yang jelas, sudah lebih dari seminggu rasa sakit ini bercokol dalam tubuh. Apa daya, saya tetaplah manusia lemah yang kadang harus membiarkan rasa sakit bermain-main dalam tubuh. Mencoba menikmatinya sebagai bagian dari keindahan hidup. Maka hanya senyumlah yang menjadi satu-satunya cara bagi saya uintuk “melupakan” rasa sakit itu. Meski kadang tidak selamanya berhasil.
Alhamdulillah,,,
Setidaknya saya masih bisa tersenyum dalam sakit.
Saat menerima undangan untuk hadir pada rakernas pergunu, saya sempat bolak-balik dari kebimbangan yang satu pada kebimbangan yang lain. Antara hadir dan tidak. Antara melepaskan diri dari sakit atau malah lesap di dalamnya. Saya mulai memikirkannya dengan lebih serius. Akhirnya saya memutuskan untuk hadir. Saya menganggap ini sebagai salah satu jalan untuk memberontak dari rasa sakit.
Hal lain yang menjadi alasan bagi saya untuk hadir adalah, karena panggilan jiwa. Rakernas kali ini akan dihadiri perwakilan para Guru atau pendidik se Indonesia yang tergabung dalam Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu). Ini kesempatan bagi saya untuk belajar lebih banyak lagi agar jadi seorang pendidik yang sebenarnya. Saatnya menimba pengalaman dan ilmu dari mereka yang sudah lebih banyak mengenyam asam garamnya dunia pendidikan.
Jadi,,, saya tidak boleh menyerah pada rasa sakit ini (seperti yang seseorang inginkan).Saya memang harus berangkat untuk menghadiri rakernas. Terlalu eman rasanya menyia-nyiakan momen yang sangat istimewa ini. Terlebih, jika membaca manual acaranya, akan hadiri oleh beberapa Kyai besar dan tokoh-tokoh penting di Republik ini.
Saya menyatakan kesiapan untuk berangkat, dua hari menjelang pelaksanaan rakernas. Kebetulan tiap-tiap Pimpinan Cabang diundang dua orang. Jadi, saya punya teman dalam perjalanan. Setelah telepon beberapa teman pengurus, maka Mas Lukman Hidayat yang siap untuk berangkat. Kebetulan, Mas Lukman adalah wakil sekretris PC.Pergunu Kabupaten Sumenep. Dia juga seorang guru di Desa Tambak Sari Kecamatan Rubaru. Pernah juga bertugas di pulau terpencil selama 10 tahun. Jadi, perjalanan menuju rakernas akan ada banyak ilmu yang bisa saya serap darinya. Insya Allah…
Hari itu,,,
Saya menunggu Mas Lukman di NUSA FM. Sengaja saya menunggunya di sana karena kebetulan studio NUSA berada di samping jalan Provinsi. Tempat Bus AKDP biasa lewat. Hampir satu jam saya menunggu Mas Lukman, sementara sakit di kepala mulai terasa lagi. Saya sempat dihinggapi rasa cemas. Jangan-jangan saya tidak sanggup melakukan perjalanan ini? Jangan-jangan saya malah akan semakin sakit saat sampai di tempat rakernas mengingat kondisi tubuh memang belum sehat?
Allah ya karim,,, saya memasrahkan semuanya hanya pada Allah…
Jam di lengan menunjukkan pukul 09.35 saat saya dan Mas Lukman naik Bus Patas jurusan Surabaya. Hanya beberapa penumpang yang berada di dalamnya. Saya memilih tempat duduk nomor tiga dari depan deret kiri. Sedangkan Mas Lukman memilih deret kanan, baris ke 5 dari depan. Kami berpisah tempat duduk karena Bus masih belum penuh, jadi biar sedikit lebih leluasa kata Mas Lukman. Saya hanya mengangguk sambil tersenyum, sementara sakit di kepala semakin menjadi-jadi. Padahal suhu dalam Bus terasa sejuk karena memang menggunakan Air Conditioner.
Sampai di terminal Pamekasan saya semakin kesakitan. Rasanya, saya benar-benar tidak kuat. Tetapi sebisa mungkin saya mencoba bertahan. Memijit-mijit sendiri beberapa bagian di kepala saya yang sangat sakit. Tiba-tiba Mas Lukman berada disamping saya. Menanyakan kondisi saya yang mungkin terlihat pucat dan kesakitan. Saya berusaha untuk tetap tersenyum agar dia tidak cemas. Saya katakan bahwa mungkin karena sedikit masuk angin yang membuat saya sedikit pusing. Akhirnya Bus kembali berjalan. Menyalip beberapa kendaraan yang berada di depan. Sampai di suatu tempat, Bus berhenti. Saya membuka mata sebentar, melihat kesamping. Ternyata sudah di Camplong. Lalu kembali saya memejamkan mata menahan sakit.
“Permisi Mas,,, masih kosong?” saya membuka mata, seorang perempuan berjilbab abu-abu berdiri sambil tersenyum menunggu jawaban. Subhanallah,,, mirip sekali dengan seseorang...
“Kosong Mbak,,, silahkan” jawab saya sambil meringis menahan sakit. Saya pindah ke tempat duduk sebelah kiri yang dekat dengan kaca. Sementara, perempuan itu duduk di samping kanan saya. Kembali saya memejamkan mata. Menghirup nafas dalam-dalam. Mencoba meredakan rasa sakit yang masih menusuk-nusuk kepala. Sementara Bus kembali berjalan. Bergerak menuju Surabaya.
“Sepertinya Mas kesakitan,,,? Dari tadi saya lihat Mas meringis terus” Suara di samping saya kembali terdengar. Mau tidak mau saya kembali membuka mata. Meski kepala saya memang sakit, tapi tidak etis rasanya jika harus diam saat ada orang lain menyapa.
“Iya Mbak,,, saya pusing.”
“Mas Mabok ya,,?”
“Saya ndak tahu Mbak,,,”
“Sepertinya Mas memang mabok,,,”
“Saya hanya pusing dikit kok Mbak,,,”
“Saya punya jamu sachet masuk angin Mas,,, sebentar ya,,,” perempuan di samping saya itu kemudian membuka Tasnya. Mencari-cari sesuatu di dalamnya. Saya tertegun dibuatnya. Perempuan ini belum saya kenal, tapi seperti sudah menjadi teman yang sangat akrab sekali. Pelan-pelan saya merasa kagum dengan persaudaraan yang dia tunjukkan. Menolong orang yang sedang dalam kesusahan sungguh merupakan perbuatan yang sangat mulia. Dan perempuan itu mulai menunjukkan sifat-sifat seperti itu. Subhanallah,,, Jika tak salah menduga, sepertinya dia seorang mahasiswi, atau setidaknya seseorang yang memang mempunyai pengetahuan lebih.
“Ini Mas,,, minumlah,,,” katanya sambil menyodorkan jamu sachet dengan bungkus warna kuning.
“Tapi Mbak,,,?”
“Kenapa,,,? Nggak pahit kok Mas,,, rasanya sedikit manis dan pedas. Biasanya setelah diminum, badan akan terasa menghangat. Lalu pelan-pelan, insya allah, kondisi tubuh akan membaik.”
“Ini kan persediaannya Mbak,,,?”
“Tenang Mas,,, saya masih ada kok,,, saya memang terbiasa membawa obat-obatan jika dalam perjalanan,,,” katanya sambil menunjukkan beberapa sachet persediaannya.
“Terimakasih Mbak,,,”
“Sama-sama Mas,,, ayo diminum dulu” ucapnya sambil tersenyum. Lalu saya meminumnya. Rasanya sedikit pedas memang. Ada rasa hangat yang perlahan melewati tenggorokan dan dada. Saya kembali memejamkan mata sambil meringis menahan sakit.
“Mas sendirian,,,?
“Sama teman, Mbak,,,”
"Ada di mana temannya,,,? kok tidak ngumpul?"
"Di belakang Mbak,,, "
“Jangan panggil Mbaklah Mas,,, sepertinya saya lebih muda dari Mas,,,?” saya menoleh kearahnya. Tersenyum melihat senyumnya.
“Lalu saya harus panggil apa,,,?” tanya saya tetap sedikit meringis.
“Teman-teman memanggil saya, Fiya,,, jadi Mas boleh panggil dengan nama itu…” lalu percakapan kami mengalir begitu saja. Kami menjadi lebih akrab. Banyak hal yang saya pelajari darinya. Tentang keramahan. Tetang bagaimana membantu orang lain. Tentang sifatnya yang baik (setidaknya karena telah menolong saya dengan jamu sachetnya). Tentang kesederhanaannya juga.
Saya menjadi pendengar yang baik saat Fiya berceloteh tentang banyak hal. Mulai dari hobynya, aktifitasnya, kampung halamannya, sahabat-sahabatnya, kuliahnya juga. Ternyata Fiya kuliah di UIN Malang, jurusan Pendidikan Agama Islam. Sekarang tengah berproses merampungkan skripsinya. (Semoga cepat rampung ya Fiya,,,)
“Fiya,, maaf ya,,, kenapa kau berbaik hati memberiku jamu sachet, padahal kita belum saling kenal. Bahkan bertemupun baru dalam hitungan menit?”
“Mas,,, Kesempatan menolong orang lain, terkadang tidak datang dua kali. Jadi, saat kesempatan itu ada, maka saat itu pula saya harus memanfaatkannya.” Saya tertegun mendengar jawabannya. Kembali rasa kagum menderas dalam hati saya.
“Saya ikhlas memberikan jamu itu Mas,,, tapi saya ingin tahu satu hal dari Mas”
“Apa itu Fiya,,,?”
“Jika saya butuh pertolongan,,, apa Mas mau menolong saya? Tapi mohon jangan salah paham Mas... ini tidak ada kaitannya dengan balas budi lho ya,,,?” katanya sambil tersenyum. Saya pun mengangguk.
“Selama saya bisa, Insya Allah saya akan menolongmu,,,”
“Boleh tahu nama Mas siapa,,,?” saya terkejut, sejak tadi saya ngobrol banyak ternyata saya belum menyebutkan nama. Astaghfirullah,,,
“Avan…”
“Hanya itu,,,?”
“Untuk sekarang iya…”
“Lalu kapan saya boleh tahu nama lengkapnya Mas,,,?”
“Saat kau sudah menyebutkan nama lengkapmu,,,” dia tertawa kecil. Sementara saya hanya tersenyum. Sakit di kepala mulai mereda.
“Tolong pinjami saya HP sebentar Mas…” saya sedikit terkejut dengan permintaan Fiya. Untuk apa dia mau pinjam HP? Lagian kalau tahu HP saya jelek gimana? Duh,,, saya harus menepis pertanyaan-pertanyaan itu. Fiya sudah berbaik hati. Lalu bergegas saya ambil HP mungil berwarna hitam dari saku. Memberikan padanya. Fiya menerimanya sambil tersenyum.
“Maaf ya,,, HPnya jelek… tidak berwarna” ucap saya sedikit cengengesan.
“Saya malah suka yang seperti ini lho Mas,,,” jawabnya sambil memencet angka-angka. Saya hanya tersenyum. Sejurus kemudian, ia memencet tombol panggil. Tampaknya ia sedang menelepon seseorang. Belum sempat saya mengira-ngira siapa yang diteleponnya. Mendadak terdengar suara nada dering sebuah HP dari dalam Tasnya. Tidak berselang lama, suara itu hilang. Fiya menyerahkan kembali HP saya yang tadi dipinjamnya, sebelum sempat saya bertanya sesuatu,,,
“Itu nomor saya Mas,,, simpanlah. Saya juga akan menyimpan nomornya Mas Avan” katanya seraya mengambil Handphone dari dalam Tasnya. Saya tersenyum dibuatnya. Lalu perjalanan itu tiba-tiba membuat saya cemas. Surabaya semakin dekat...

Kau benar Fiya,,, kesempatan itu tidak akan datang dua kali,,, 
Terimakasih untuk semuanya…
Semoga sukses ya,,, ^_^



Maka terjadilah,,,



Nyaris satu minggu ini rasa sakit memeluk saya.
Tidak sedikitpun memberikan kesempatan untuk lepas.
Semakin saya berusaha melawannya,
semakin erat rasa sakit itu mendekap saya.

Saya tahu,
pada saatnya nanti, entah kapan,,, saya harus menyerah.
Seluruh upaya untuk melawan dan keluar dari kungkungan rasa sakit itu pasti akan saya luruhkan.
Saya sadar, ada saatnya dimana manusia tidak harus melawan terhadap rasa sakit.
Ada saatnya manusia harus menerima segala ketidakenakan sebagai bagian dari salah satu fase dalam perjalanan hidup.


Yang terjadi, maka terjadilah...