Terima kasih Rob,,,



Sudah sejak lima hari yang lalu saya tidak bisa kemana-mana. Terhitung sejak hari lebaran. Badan terasa seperti dipanggang. Rasanya panas. Tenggorokan sakit. Kepala pusing. Hidung pilek. Mata berair. Seringkali ingin bersin tapi tidak jadi. Wal hasil. Hidung semakin meler. Dan dari mata kanan selalu meleleh air disertai rasa yang tidak enak. Seperti menangis. Tapi sebenarnya tidak.
Setiap hendak makan, perut selalu tak bisa dikompromi. Beberapa kali mual bahkan muntah. Jadilah saya hanya bisa terbaring tak berdaya. Sakit yang membuat saya harus istirahat. Tak bisa merayakan lebaran. Tak bisa kumpul dengan teman-teman dan sanak saudara. Tak bisa silaturrahim. Bahkan tidak bisa masuk kerja sampai hari ini. Mau tidak mau, saya harus menikmati rasa sakit sebagai bagian dari kewajiban. Sakit ini memang sudah seharusnya saya tanggung. Sebab, jika diingat-ingat, masih lebih banyak sehatnya dari pada sakitnya.
Astaghfirullah… barangkali dengan cara seperti ini Engkau mengingatkan ya Rob…
Saya sadar, semakin hari, saya bukan semakin tumbuh menjadi pribadi yang baik. malah sebaliknya. Saya malu atas banyak karunia yang yelah diberikanNYA, sementara tidak sebesar biji Zarrahpun saya mampu beribadah dengan baik. Tuhan memang tidak butuh ganti atas segala nikmat yang telah diberikan, tetapi alangkah tidak tahu dirinya saya yang selalu abai untuk bersyukur. Malah semakin lesap dalam kemaksiatan mata, tangan, kaki, telinga, hidung, mulut, bahkan hati yang juga seringkali abai atas keberadaanNYA. Saya masih lebih mencintai “dunia” dari pada Allah.
Bahkan, dengan sakit seperti ini saja saya mulai mengeluh. Manusia macam apa sebenarnya saya? Masih lebih banyak keluhannya dari pada syukurnya. Bagaimana mungkin saya bisa menjadi pribadi yang selalu berbasah dzikir padaNYA, sementara dengan sakit yang sedikit saja sudah mengeluh? Bagaimana jika misalnya seperti Nabi Ayyub atau Urwah bin Zubair? Astaghfirullahal ‘adzim…. Sejujurnya, saya malu dengan sikap saya yang masih tidak tahu diri.
Saya masih ingat dengan salah satu kisah mengharukan sahabat Urwah bin Zubair.
Pada suatu hari, Urwah bin Zubair—cucu Abu Bakar Ash-Shiddiq ini—mendapat tugas untuk menemui Khalifah Al Wahid bin Abdul Malik di ibukota kekhalifahan, Damaskus di negeri Syam. Bersama dengan rombongan, Urwah akan menempuh perjalanan dari Madinah menuju Damaskus yang saat ini menjadi negara Yordania.
Ketika melewati Wadil Qura, sebuah daerah yang belum jauh dari Madinah, telapak kaki kiri beliau terluka. Tabiin yang lahir pada tahun 23 Hijriyah ini menganggap lukanya hanya biasa saja. Namun ternyata luka tersebut bernanah dan terus menjalar ke bagian atas.
Setibanya di istana Al Walid, luka di kaki kiri Urwah tersebut sudah mulai membusuk hinga ke betis. Urwah pun mendapatkan pertolongan dai Khalifah Al Walid yang memerintahkan sejumlah dokter untuk memberikan perawatan.
Setelah melalui beberapa pemeriksaan, para dokter yang memeriksa mempunyai satu kesimpulan. Kaki kiri Urwah harus diamputasi agar luka yang membusuk tidak terus menjalar ke tubuh. Urwah menerima keputusan tim dokter ini dan dimulailah operasi amputasi. Seorang dokter menyuguhkan Urwah semacam obat bius agar operasi amputasi tidak terasa sakit. Saat itu, Urwah menoak dengan halus. Beliau mengatakan, "Aku tidak akan meminum suatu obat yang menghilangkan akal sehatku sehingga aku tidak lagi mengenal Allah, walaupun hanya sesaat."
Mendengar ucapan Urwah itu, tim dokter pun menjadi ragu untuk melakukan amputasi. Tapi saat itu juga, Urwah mengatakan, "Silahkan kalian potong kakiku. Selama kalian melakukan operasi, aku akan shalat agar sakitnya tidak sampai kurasakan."
Melihat hal itu, Khalifah Al Walid menghampiri Urwah yang masih terbaring. Ia mencoba menghiburnya.Tapi dengan penuh ketulusan Urwah berdoa, “Ya Allah, segala puji hanya untuk-Mu. Sebelum ini, aku memiliki dua kaki dan dua tangan, kemudian Engkau ambil satu. Alhamdulillah, Engkau masih menyisakan yang lain. Dan walaupun Engkau telah memberikan musibah kepadaku, namun masa sehatku masih lebih panjang dari hari-hari sakitku ini. Segala Puji hanya untuk-Mu atas apa yang telah Engkau ambil dan atas apa yang telah Engkau berikan kepadaku dari masa sehat."
Mendengar hal itu, Khalifah Al Walid berkata, "Belum pernah sekalipun aku melihat seorang tokoh yang kesabarannya seperti dia."
Beberapa saat setelah itu, tim dokter memperlihatkan potongan kaki yang telah diamputasi itu kepada Urwah. Melihat potongan kakinya, beliau berkata, "Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui, tidak pernah sekalipun aku melangkahkan kakiku ini ke arah kemaksiatan."
Malam itu juga, bersamaan dengan telah selesainya operasi pemotongan kaki, Urwah mendapat kabar bahwa salah seorang putra beliau yang bernama Muhammad, putra kesayangannya telah meninggal dunia. Muhammad meninggal karena sebuah kecelakaan, ditendang oleh kuda saat sedang bermain-main di dalam kandang.
Dalam keheninan malam itu, Urwah berucap pada dirinya, "Segala Puji hanya milik Allah SWT, dahulu aku memiliki tujuh orang anak, kemudian Engkau ambil satu dan masih Engkau sisakan enam.Walaupun Engkau telah memberikan musibah kepadaku, hari-hari sehatku masih lebih panjang dari masa pembaringan ini."
Subhanallah,,, betapa saya merasa ditampar berkali-kali saat mengingat kisah itu. Saat mengingat betapa pribadi saya masih sangat tidak ada artinya dibandingkan dengan kesabaran dan rasa syukur yang telah dilakukan sahabat Urwah bin Zubair.
Tidak semestinya saya bersikap cengeng terhadap ketidaknyaman hidup. Sedikit-sedikit mengeluh. Sedikit-sedikit menggerutu. Mestinya saya harus lebih malu pada Tuhan karena lebih sering mengadukan ketidakenakan hidup dari pada mensyukurinya. Malu karena lebih sering mengadukan penderitaan dari pada berterimakasih atas nikmatNYA.
Astaghfirullah,,,,, Ampunilah dosa-dosa dan ketidaktahuandiri saya ya Rob… Terima kasih,,, karena sesungguhnya dengan sakit ini, Engkau telah melimpahkan kasih sayang dan cinta di dalamnya.

Hati ini untukmu,,,




Katamu;

Hari ini semua umat islam menyambut hari raya idul adha. Termasuk kita. Semoga kita bisa belajar kembali pada jejak cinta Siti Hajar, Nabi Ibrahim, dan Nabi Ismail. Menjadikannya salah satu suluh dalam kehidupan kita. Amin…

Oh iya,,, aku punya bolpoint biru untukmu. Tintanya juga berwarna biru. Kuharap kau senang menerimanya. Lalu, tulislah banyak hal dengan bolpoint itu. Kau bebas menuliskan apa saja. tentang senyum, air mata, cinta, rindu, telaga, rimba, samudera, angin, malam, matahari dan lain sebagainya. Dan ijinkan aku untuk selalu menjadi orang pertama yang membaca tulisanmu.

Dengan membaca tulisanmu, setidaknya aku mengetahui kabarmu, aktifitasmu, pikiranmu, rencanamu, juga tentang perasaanmu. Aku selalu tak bisa berhenti untuk membaca huruf-huruf yang kau tuliskan. Entah kenapa, aku merasa seolah ditarik sebuah kekuatan kasat mata yang bersumber dari tulisanmu. Dan aku selalu menyerah. Aku selalu lebur dalam kata dan kalimatmu.

Engkau juga boleh menuliskan tentang mimpimu. Rumah sederhana di tepi sungai. Ruang kerja kecil yang penuh dengan buku. Rerimbunan bunga melati di pojok halaman. Kebun buah dan sayur di halaman belakang. Vespa warna biru keluaran lama. Sholat berjamaah dengan keluarga. Sepasang anak cerdas dari pernikahanmu. Juga novel best seller yang akan lahir dari tanganmu.

Atau,,, tulislah tentangku. Tentang perempuan yang selalu gerimis setiap kali melihat senja. Tentang mimpi-mimpi yang diam-diam selalu aku tulis dalam catatan harian. Tentang rinduku yang tak pernah luruh. Tentang tapak-tapak perjalananku yang gelisah. Tentang liukan perasaan yang seringkali bersemu gundah. Tentang lembaran kisah hatiku yang tak berpenghuni.

Kalau boleh aku meminta, sesekali, tulislah tentang kisah kita. tentang perjalanan hening kita. tentang tatapan mata kita yang diam-diam. Tentang deburan hati kita yang tak terbahasakan. Tentang arah langkah kita yang seringkali berlari menjauh, tapi selalu saja tersesat dan kembali pulang ke tempat semestinya; hati kita.

Emmmm,,,, satu lagi.
di hari yang bersejarah ini, dengan bismillah,,, kuserahkan seluruh lembar hatiku untukmu. tulislah apa yang ingin kau tulis di dalamnya; termasuk cinta.


Allahu akbar
hujan pertama turun membasahi bumi. Aroma tanah basah menyeruak di hati

Senja di hari Arofah,,,


Semacam fiksi mini


Senja mulai memerah. Beberapa pasang camar meliuk diantara derai ombak dan buih keperakan di tepi pantai. Dari jembatan di pinggir pelabuhan kalianget, aku mulai menikmati rona merah yang perlahan merebak. Menumbuhkan rasa kagum yang tak pernah berhenti. Syukurku mengalir. Menjadi bisikan lembut yang nyaris tanpa kata.
“Masih seperti setahun yang silam. Menikmati senja di hari Arofah?” Sebuah suara mengejutkan. Aku menoleh ke asal suara itu. Ada senyum yang terurai dari seseorang berjilbab putih dengan garis kotak-kotak kecil berwarna pink. Senyum itu,,,
“Karena senja dan arofah senantiasa hidup dalam kenangan.” jawabku.
“Oh ya?”
“Iya. Rona senja yang mulai merebak. Gemuruh ombak, buih keperakan, sampan-sampan, suara camar yang tak henti-henti, sapuan angin laut, aroma garam, seseorang yang datang tiba-tiba, dan sebentuk kekaguman yang tak pernah pudar.”
“Hmmm,,, puitis.”
“Seperti senja?”
“Lebih dari sekadar senja.”
“Adakah padanannya?”
“Ada. seperti orang yang mengucapkannya.” Aku tersenyum; diam. Membiarkan sebaris senyum itupun terus mengembang.
“Apa ini kebetulan?” tanyaku menggumam.
“Aku tidak berani mengiyakannya. Sebab segala sesuatu berjalan sesuai kehendak-NYA.”
“Jawaban yang puitis”
“Dimana letak kepuitisannya?”
“Pada kata terakhir.”
“Kehendak-NYA?”
“Ya.”
“Emm,,, aku belum sepenuhnya mengerti.”
“Tidak apa-apa. Adakah yang lebih puitis dari segala sesuatu yang disandarkan pada Sang Maha Puitis?”
“Ah,,, kau ini. selalu saja membuatku kagum.”
“Kagum?”
“Iya.”
“Tentang?”
“Haruskah kujawab?”
“Jika kau tak keberatan.”
“Jawabanku akan sama persis seperti jawabanmu saat misalnya suatu saat nanti ada yang bertanya tentang kekagumanmu pada senja.”
“Tentu beda. Aku bukan senja.”
“Justru karena kau bukan senja.”
“Lalu kenapa kau bilang jawabannya akan sama?”
“Apa kita akan membatasi sebuah jawaban hanya pada satu pertanyaan? Apa bentuk kekaguman itu hanya boleh ada pada satu objek saja?”
“Cerdas.” Jawabku sambil tersenyum puas. Senyum yang sama aku lihat dari bibirnya. Perlahan aku menghirup nafas dalam-dalam. Menikmati rona senja yang mulai semakin cantik.
“Boleh aku tanya sesuatu?” ucapnya memecah kesunyian yang sesaat. Aku menoleh.
“Tentu saja boleh. Ada apa?”
“Bagaimana kabar hatimu?” aku sedikit tertawa mendengar pertanyaannya. Sementara, perempuan berjaket putih itu menatapku dengan penuh kesungguhan.
“Alhamdulillah,,, baik. seperti hatimu juga yang saat ini tentu baik-baik saja.”
“Kau yakin, hatiku baik-baik saja?”
“Aku yakin.”
“Sekali lagi aku tanya, apa kau yakin hatiku baik-baik saja?” tiba-tiba pertanyaan itu aku rasakan seperti belati yang menikam kesadaran. Sejenak aku tergeragap. Tidak tahu harus menjawab apa. Aku menatapnya. Ada yang berubah dari bias wajah yang sebelumnya berbalut senyum itu. Wajahnya mulai mendung. Lalu hujan. Aku mulai disergap kebingungan. Tak tahu apa yang harus kulakukan.
“Eemmm,,, maafkan aku jika sudah salah bicara. Aku tak bermaksud menyinggungmu. Ada apa sebenarnya? Kenapa kau menangis?”
“Apa harus aku ceritakan semuanya, sementara sebenarnya kau sudah sangat memahaminya?”
“Maafkanlah,,, aku benar-benar tidak tahu.” Jawabku pelan. hening menyapa untuk beberapa saat lamanya.
“Dengarkanlah,,, aku tidak akan pernah merasa baik-baik saja sementara aku tahu, hatimu terluka!” sungguh aku terkejut mendengarnya. Aku menatap wajahnya. Bagaimana mungkin dia bisa bicara sedemikian jauhnya sementara akhir-akhir ini tidak sekalipun aku pernah bercerita padanya tentang apapun. Apalagi tentang hati.
“Aa’,,, aku,,, aku baik-baik saja kok. aku tidak apa-apa.” Jawabku gugup.
“Kau boleh bicara seperti itu. Tapi kau lupa, bahwa aku sudah teramat hafal dengan perasaan dan hatimu.” Kembali aku terkejut mendengar pengakuannya. Kembali aku menatapnya. Melihat buliran bening di pipinya. Melihat sepasang matanya yang sebab. Melihat gelayut mendung di keningnya. Melihat duka di wajahnya. Mendengar isaknya yang sembilu. Membaca hatinya yang pilu.
Mendung itupun berarak menuju hatiku. Menggumpal di atas belantara rasa. Perlahan gerimis itupun mulai luruh; di hatiku.
“Aku tak tahu apa yang harus kulakukan” gumamku nyaris tanpa suara. Sementara kulihat dia semakin lebur dalam isaknya. Hanya debur ombak yang sesekali menimpali. Aku terdiam. Dia juga. Lalu senja yang kian merah di hari Arofah itu seolah membisikkan kembali kisah tentang pengorbanan, air mata, dan ketegaran. Tentang kemilaunya ketabahan Siti Hajar, tentang indahnya pengorbanan Ibrahim, juga tentang ranumnya kesabaran ismail. Kenapa mereka sekuat itu?
Cinta.
Itulah jawaban satu-satunya. Tak ada kekuatan apapun yang mampu menjadi alasan untuk sebuah pengorbanan, ketabahan, dan kesabaran, selain cinta. Dan aku melihat alasan itu juga yang membias dari air matanya. juga gemuruh di hatinya. Ya… Kusadari kemudian, bahwa setahun yang lalu, aku memang sudah membaca cinta di hatinya. Cinta yang tak pernah terucap dengan kata. Hanya dengan isak dan tangis yang sama.
“Apa yang kau temukan dari bulir air mataku?” tanyanya mengejutkan.
“Aku,,, aku menemukan luapan perasaan yang sakit sekaligus indah. Aku menemukan sakitmu yang berasal dari sakitku. Aku menemukan rasa yang teramat indah untuk aku gapai. Aku menemukan diriku di dalamnya.”
“Belum cukupkah air mataku mengalir untukmu?”
“Maafkanlah aku. Tak semestinya kau menangis untukku.”
“Lalu?”
“Aku tak punya alasan untuk tetap membuatmu terisak lagi.”
“Apa kau juga belum menemukan alasan untuk tinggal di hatiku?” aku tergeragap sejenak. Pertanyaan itu sangat telak.
“Aku justru sudah tak punya alasan untuk pergi.”
“Benarkah,,,?”
“Kau tahu bahwa aku tak mungkin berbohong kan,,,?” lalu aku mendapati air matanya kembali tumpah. Alirannya semakin deras. Tapi kali ini, ada lengkungan indah di bibirnya; senyum.
Senja mulai menyisakan rona jingga. Debur ombak, daru angin, buih keperakan, beberapa camar yang terbang mulai bertakbir menyambut Idul Adha. Takbir juga mulai mengalun dari pengeras suara di masjid pelabuhan.
Allahu Akbar
*****


**Selamat Hari Raya Idul Adha, untuk saudara-saudara seakidah,,, mohon maaf lahir dan batin.

Ah, Kalilah,,,




Saat kembali melihat-lihat tulisan sendiri, ternyata saya sering gagal membuat dialog yang cerdas dalam cerpen atau naskah drama yang saya tulis. Beberapa cerpen malah terjebak pada cerita yang kering. Dialognya kurang cerdas. Begitu juga dengan naskah drama. Beberapa kali pentas di pondok pesantren dan komunitas teater di luar pondok, ternyata masih belum bisa membuat saya cerdas menulis naskah.

Berarti ada yang kurang dalam proses saya menulis. Mungkin karena kurang banyak membaca naskah-naskah yang cerdas. Bisa juga karena saya yang rada-rada ndableg dan kurang serius belajar menulis. Atau jangan-jangan, memang saya yang tidak bisa menulis? Huuffth...

Padahal, bukan hanya sekali dua saya “jatuh cinta” pada dialog-dialog yang cerdas. Baik dalam cerpen, novel, pementasan drama, film, atau sinetron yang saya tonton. Salah satu dialog favorit saya adalah dialog antara Azam, Aya, dan Kalilah dalam sinetron Para Pencari Tuhan jilid 6 episode terakhir. Sungguh, saya kadang tidak habis pikir, dari mana kalimat-kalimat cerdas itu datang? bagaimana bisa penulis naskah memberikan dialog cerdas, terutama pada Kalilah, saat berada dalam posisi dilematis? Dengan cerdasnya Kalilah “keluar” dengan aman dari situasi perbincangan yang mencekam.

Ini nih, dialognya, saat tiga orang itu terlibat dalam cinta segi tiga. Kalimat-kalimatnya mengalir begitu cerdas. Bahkan tak bisa saya perkirakan sebelumnya.

………………………………….

Kalilah      : gue sayang sama lu Ay,,, lu juga tahu, gue sayang sama azam. Dan gue tahu, lu berdua sayang sama gue. Tapi kita sama-sama nggak tahu, ini semua mau kemana. Selain yang kita rencanakan. Gue bukan mo minta maaf atas kehadiran gue dalam kehidupan lu berdua. Karena gue yakin rasa cinta ini bukan gue yang bikin. Tapi semata-mata Allah yang menamkannya dalam diri gue. Gue cuma mau minta maaf, atas ketidaknyamanan yang udah gue akibatkan.
Aya           : semua udah terjadi. Sekarang bagaimana kita bertanggung jawab atas peran kita masing-masing.
Azam        : saya akan menanggung semua yang menjadi beban saya.
Kalilah      : gue akan membuat keputusan terpenting dalam hidup gue. Kalian tolong bantu jawab. Aya’ dan azam. kasi gue alasan untuk meninggalkan azam.
Aya           : lu bisa ninggalin dia kapan aja.
Kalilah      : lu tahu itu nggak mungkin. (terdiam). Gue butuh alasan. Manusia butuh alasan.
Azam        : saya mempunyai semua keburukan yang kamu takutkan. Kau belum melihat lengkap sisi buruk saya. Seperti juga kamu (berpaling pada Aya) kamu belum melihat lengkat sisi baik saya. Bagaimana mungkin kamu bisa mencintai saya sampai detik ini.
Aya           : Aku akan mencintai kamu dengan cara kamu mencintai diri kamu. Kau bisa hidup dengan diri kamu dengan waktu yang lama. Pasti ada caranya.
Azam         : gimana dengan kamu. Bagaimana kamu bisa mencintai saya dengan semua kekhawatiran kamu. Bagaimana kamu bisa mencintai saya dengan airmata yang penuh ketidakberdayaan ini sebagai orang kedua.
Kalilah       : kamu boleh punya seribu keburukan untuk dihindari. Atau seribu kebaikan untuk dicintai. Tapi perasaanku ini bukan berdasarkan itu. Cinta ya cinta. Gak butuh alasan. Karena dia sudah tertanam begitu aja.
Aya            : ini jalan buntu. Obrolan kita nggak akan jadi apa-apa. Dan percuma aja. Kita cuma akan balik ke lobang yang sama.
Kalilah       : jalan buntu itu adalah tembok rumah kamu sendiri. Aku yang harus putar balik. Dan meninggalkan ini semua. Tanpa harus berharap apapun. (lagu velocity “saat kau rindukan” mengalun)
Aya            : Allah memudahkan orang yang memudahkan. (ucap Aya sambil memeluk Kalilah)
…………………………………………………………………………...


Ah,,, Kalilah. Saya kagum padanya. Dengan keikhlasannya meski sakit. Dengan ketegasannya meski perih. Dengan semangatnya meski hancur. Dengan ketabahannya meski porak-poranda.

Tapi saya lebih kagum pada Mas Wahyu HS. Orang yang berdiri dibalik kesuksesan PPT 6. Mas Wahyu memang seorang penulis yang sudah lama malang melintang dalam penggarapan naskah-naskah film dan sinetron. Rata-rata, karyanya selalu berhasil memikat hati. Tidak bisa dipungkiri, saya memang harus bilang “Wow” dengan suguhan dialog cerdas seperti di atas. Bagaimanapun, dialog-dialog secerdas itu sangat dibutuhkan dalam prosa fiksi agar karya tidak kering. Agar tidak terjebak dalam dialog-dialog datar yang membosankan.

Maka diam-diam, dari rasa kagum terhadap karya-karya beliau, dalam hati kecil saya bertekad, bahwa suatu saat nanti, saya harus bisa menulis karya seperti itu. Meski tidak sama, hampir sama juga gak masalah. Hehe…

Saat ini, saya memang belum bisa membuat tulisan dengan dialog secerdas itu, tidak apa-apa. Hehe,,, Yang penting saya tak putus asa. ^_^ Setidaknya, saya masih punya semangat untuk belajar menulis. Semoga suatu saat nanti, saya bisa jadi seorang penulis yang cerdas.

Amiiinn…...
*****

eh,,, yang ingin nonton kisah kalilah di sini ya... ^_^