Di akhir tahun 2013


salah satu kenangan 2013


Mengenang kembali kegagalan dan keberhasilan di tahun 2013 bisa saja menjadi langkah awal untuk melakukan introspeksi dan resolusi pada tahun 2014. Begitu banyak hal yang pasti telah kita lakukan untuk kehidupan. Ada yang baik, ada yang buruk. Ada yang mendekati kebaikan, ada yang mendekati keburukan. Disamping hal yang telah kita lakukan, tentu ada banyak hal juga yang belum kita lakukan atau masih kita tunda untuk dilakukan.

Lalu?

Eehmm,,, sebagai manusia, tentu tidak ada yang sempurnalah,,,
Masih akan selalu ada kesalahan dan kelemahan yang melekat dalam diri kita. tentu tidak bisa menjadi “malaikat” yang tanpa kesalahan.

Ok. Lupakan itu, karena kita memang tidak akan pernah menjadi sempurna.

Terhadap banyak kejadian yang kita alami di tahun 2013, terkadang kita lupa bahwa semua ada sebabnya. Kita bisa makan karena sebelumnya masak, atau membeli. Kita bisa beli pakaian karena sebelumnya bekerja mencari uang atau diberi. Kita bisa punya anak kandung karena sebelumnya menikah dan bekerjasama dengan baik. (hadeh,,, he he…) Pokoknya ada sebabnyalah, meski sesekali kita tidak paham sebab itu. Kadang dengan enteng kita bilang kebetulan. ^_^

Ada beberapa peristiwa yang kita alami “seolah” terjadi begitu saja. padahal dalam hidup ada hukum kausalitas. Ada sebab, ada akibat. Saat kita menebar kebaikan, kemungkinan besar kita juga akan mendapatkan kebaikan dari orang lain. Saat kita menebar kebencian misalnya, besar kemungkinan kita akan dibenci oleh orang lain.

Ini yang seringkali kurang kita ingat. Maunya sih, semua orang bertindak dan bersikap sesuai dengan keinginan kita, padahal kita kurang memperhatikan sikap dan perilaku diri sendiri. Saat kita melakukan kesalahan pada orang itu, maunya kita, orang itu tetap baik-baik saja dan selalu mengerti dan memaafkan kita. tidak menyimpan dendam dan kebencian pada kita. padahal jika orang lain yang bersalah, seringkali ada keegoisan yang membakar perasaan kita. lalu marah, lalu benci, bahkan dendam. Oww,,, no,,, please,, jangan…

Tahun 2013 sebentar lagi akan berlalu. Semua peristiwa hanya akan tinggal kenangan. Baik atau buruk. Rasanya akan lebih bijak jika peristiwa-peristiwa yang kita alami di tahun 2013 kita jadikan cermin untuk memperbaiki diri. Lupakan kebaikan kita agar tidak terjebak pada kesombongan. Renungkan kesalahan kita agar tidak terulang lagi di tahun 2014.

Memang, tidak mungkin kita menjadi orang yang benar-benar bersih dari kesalahan. Tetapi sungguh, sudah menjadi bagian dari tugas kita untuk menghindari kesalahan sekecil apapun. Untuk berlaku hati-hati dalam menjalani hidup, apalagi dalam kehidupan bermasyarakat. Ada banyak orang lain di samping kita yang juga harus diperhatikan dan dijaga hak-haknya. Jangan lupakan mereka karena kita tidak mungkin bisa hidup sendiri. Jangan menuntut mereka harus sesuai dengan keinginan kita. jangan egois terutama bagi orang-orang terdekat; Orang tua, saudara, anak, istri, suami, dan tetangga.

Disinilah makna kebersamaan. Saling berbagi. Saling mengerti. saling memahami. saling melengkapi antara satu dengan lainnya. Saling mengingatkan dan saling memberi arti.

Huuftt,,, serius amat… ^_^

Ok, selamat tahun baru 2014.
Semoga kita semakin mampu menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain.

Sumenep, 31 Desember 2013

Surat Hati (3): Tentang hujan, senja, dan kamu,,,


hujannya dari google ^_^

Hujan datang begitu riang. Dingin bulan Desember kembali membalur tubuh. Aku masih ingat setahun yang lalu; lewat pesan singkat di HP, engkau bilang sedang menggigil dalam hujan. Sungguh betapa khawatirnya aku saat itu, lantaran tak bisa di sampingmu. Tak bisa memastikan kondisimu seperti apa. Padahal sebelumnya, aku selalu berpesan agar jangan melarung dalam hujan.

Malamnya, saat aku meneleponmu, kekhawatiranku semakin menguat karena kudengar suaramu berubah. Kau mulai terserang flu. Tapi seperti biasa, kau tertawa-tawa mendengar kekhawatiranku. Mungkin kau merasa ini sesuatu yang lucu. Sebuah kekhawatiran yang menurutmu berlebihan. Tapi sungguh, bagiku tidak.

Kau selalu menganggap biasa hal-hal kecil. Sementara aku tak pernah menganggap segala sesuatu itu perkara kecil. Bagiku, setiap sesuatu penuh arti. Syarat makna. Kita memang berbeda; tapi itulah yang membuat kita semakin dekat. Saling melengkapi satu sama lain. dan kita bahagia karenanya.

Nay,,,
Tidak terasa, sekarang sudah bulan Desember lagi,,, bulan yang bergelimang hujan. sejak musim penghujan tiba, aku juga semakin jarang menikmati senja. Nyaris setiap sore gulungan awan hitam senantiasa menggelayut menyambut malam. Dan tak ada senja saat-saat seperti itu. Padahal, engkau tahu kan bahwa aku seseorang yang senantiasa menyukai senja. Dan sekarang, engkau juga sama; jatuh cinta pada senja.

tentu kau masih ingat sebuah senja yang mempertemukan kita. Kau menunjuk langit yang merah saga. Matamu berbinar ceria. Sesekali kau menatap ke arahku. Aku hanya tersenyum melihatmu; lebih tepatnya melihat ekspresi keceriaan di wajahmu. Ada bulir-bulir bahagia disana, seperti tebaran awan putih yang bersepuh warna merah saat itu. 

Kemudian aku bercerita tentang senja-senja yang telah membuatku jatuh cinta. Kau mendengarkan dengan senyum yang senantiasa tersungging. Matamu sesekali mengerjab. Tapi tak pernah lepas dari mataku. Dan itulah untuk pertama kalinya aku salah tingkah. Gugup, dan sejenak tergeragap. Aku ingin bersembunyi dari matamu, tapi kau tahu kan itu tidak mungkin?

Nay,,, menjelang kedatanganmu, aku ingin bercerita tentang sesuatu. Bukan tentang rentang hari yang kita sulam bersama. Bukan tentang malam-malam sepi diantara derai hujan yang menandak genting rumah. Juga bukan tentang mimpi indah di setiap barisan harap dan lukisan kisah kita.

Aku hanya ingin bercerita tentang rindu; bongkahan rasa yang berpijar disepuh cinta.
Kau tahu dimana tempatnya?
Hatimu; semerbak wangi beraroma surga.


Sumenep, 13 Desember 2013


Mereka sama seperti kita,,,


 
gambarnya dari google


Bagaimanapun juga, hidup tidak akan bisa dilalui dengan kesendirian. Butuh orang lain dalam banyak hal. Mau motong rambut, tentu butuh tukang cukur. Mau berobat, ya butuh dokter atau tabib. Mau bakar ikan, tentu butuh nelayan yang menangkap ikannya. Hendak mencari ilmu, pasti butuh guru. Sederhananya, begitulah kira-kira.

Ok, kita lihat hal yang lain. Saat sakit misalnya—selain butuh dokter atau tabib—setidaknya, kita butuh orang lain lagi untuk menjadi penguat, pemberi support agar senantiasa sabar dan tegar. Saat hati kita sedang rapuh atau terluka, kita butuh sahabat untuk mendengarkan curhat-curhat kita. saat kecewa atau patah semangat, terkadang butuh orang lain juga untuk memotivasi agar segera bangkit. Atau setidaknya untuk mengibur kita. why? Biar kita tidak semakin merasa sendiri dan semakin sedih. ^_^

Hidup itu memang selalu balance. Ada senang ada sedih. Ada untung ada rugi. Ada bahagia ada sengsara. Ada selamat ada celaka. Ada suka cita ada gundah lara. Tapi, jika bisa memilih, tentu kita tidak ingin mengalami yang tidak enak, seperti sakit atau sedih. Gundah dan lara memang tidak dikehendaki oleh siapapun. Tapi sebagai bagian dari sifat kemanusiawian, tentu kita tidak akan luput dari jeratannya. Rugi dan celaka juga tidak akan luput dari hidup kita. sekuat apapun berhati-hati, tak ururng terkadang kemalangan nasib mempertemukan kita pada kenyataan pahit.

Kecelakaan dari motor, jatuh dari pohon, kejedug tembok, atau sampai ketabrak mobil, merupakan varian dari ketidakenakan hidup. Di sinilah pentingnya orang lain. Terutama orang-orang yang berada di sekeliling kita; orang tua, saudara, sahabat, atau bahkan pasangan hidup. karena kita tidak akan kuat untuk menjalani “ujian” sendiri, tanpa mengadu atau berkesah.

Kita butuh orang lain yang peduli pada kita. mereka adalah orang-orang yang biasanya akan dengan segera mengenyampingkan kepentingan pribadinya demi kita. mereka rela mengubur keinginan pribadinya hanya untuk menolong kita, mensupport kita, menjadi sandaran bagi kita, menemani kita, menghibur kita bahkan menguatkan kita. bentuknya juga bisa beragam. bisa dengan mengantar kita berobat atau menyuapi saat kita sedang sakit. Menghibur kita saat sedang sedih, atau menjadi “pelayan” atas beberapa kebutuhan kita yang tidak bisa dikerjakan sendiri. Menyiapkan makan, mencuci & menyetrikakan baju. Menolong kita saat kecelakaan, atau selalu ada bagi kita saat sedang tertimpa musibah.

Betapa beruntungnya kita karena masih dikelilingi oleh orang-orang yang peduli. Mereka ada untuk kita. mereka merelakan waktu, tenaga bahkan terkadang biaya untuk kesembuhan kita. untuk kebangkitan kita atas segala ujian hidup. masihkah kita berat untuk menyampaikan rasa terima kasih pada mereka? apalagi yang bisa kita berikan untuk membalasnya? perhatian dan kepedulian mereka tidak akan pernah bisa ditukar dengan apapun. Apalagi hanya dengan uang.

Bersyukurlah…
Bersyukurlah karena kita masih dikelilingi oleh orang-orang yang peduli dan sangat menyayangi kita. Bayangkan, apa jadinya, jika orang-orang itu tidak mempedulikan kita. betapa semakin sakitnya ketidaknyamanan hidup ini? Bayangkan, misalnya saja kita kecelakaan, kepala kita bocor, darah mengalir deras. Tapi mereka tidak sedikitpun menunjukkan perhatian pada kita. mereka membiarkan kita merintih sendiri. Memegangi kepala yang bocor sendiri. Pergi ke rumah sakit sendiri. Sedangkan mereka, jangankan menolong, untuk bertanya saja tidak punya waktu. Lebih mementingkan kesibukannya yang terkadang memang tidak begitu penting.

Duh sakitnya…
Tapi semoga saja itu tidak terjadi.

Bagaimanapun juga, kita selalu butuh mereka. Orang-orang yang peduli, perhatian dan sayang pada kita. Pertanyaannya,  sudahkah kita bersikap sama dengan mereka? Peduli, perhatian, dan sayang pada mereka—orang-orang di sekeliling kita itu? sudahkah kita membuang keegoisan yang berupa memetingkan diri sendiri?

Mereka sama seperti kita.
Butuh perhatian dan kasih sayang.

Wallahu a'lamu bish_shawab...



Sumenep, 21 November 2013

Surat hati (2): Bukan hanya aku, tapi kita…





Nay,,,
Bagiku, melewati setiap lembar hari tanpamu, seperti nyanyian sumbang satu nada; getir. Bahkan ketika harus melelapkan mata, memancing gemerlap mimpi dari jutaan rahasia langit, aku selalu tersaruk sepi; pilu.

Maka jangan tanya kenapa tubuhku mulai agak kurusan. Jangan tanya kenapa rambutku mulai gondrong. Jangan tanyakan kenapa jambang di daguku mulai panjang dan tidak terawat. Sebab engkaulah jawabannya.

Aku mulai tidak biasa melewati hari sendirian. Mulai tidak mampu untuk tersenyum dengan alasan yang bukan karenamu. Mulai menjadi pelupa. Bahkan aku lupa terakhir kali menatap wajahmu lekat-lekat. Tanggal berapa, hari apa, pukul berapa, kau memakai baju apa; aku lupa. Satu-satunya hal yang masih senantiasa kuingat adalah rindu; tentu saja untukmu. Masa-masa indah bersamamu yang belum sepenuhnya berlalu.

Nay,,,
Aku bukan lelaki yang gampang menyerah pada satu keadaan. Tapi tanpamu, aku mulai diserang ragu. Seperti pernah di suatu ketika; di siang yang terik. Di sela-sela aktivitasku yang padat. Saat kudapati sebuah kabar getir dari pesan singkat yang ternyata salah alamat. Waktu itu aku tidak percaya. Tapi sontak aku tergeragap. Jiwaku seperti terkelupas. Perih. Sulur-sulur harapan yang merambat dan menancap kuat di hamparan hati, tercerabut seketika. Luka. Tak kutemukan bahasa yang bisa mengabarkannya saat itu. Bahkan sampai saat ini.

Aku memilih diam. Sejenak. Menghirup nafas dalam-dalam sembari memejamkan mata. Aku mencari sisa harapan di hati. Ada namamu menggantung di sana. Terombang ambing oleh gerimis. luruh dalam rebak bening. Lalu aku mulai ragu dengan tanah tempatku berpijak.

Kamu… bisikku samar.

Nay,,,
Lihatlah betapa aku memang tidak bisa tegar lagi seperti saat kau di sini. Seperti saat kita berlomba memetik sinar purnama di balik arakan awan perak. Kau tertawa bergelak. Aku tersenyum sambil menyembunyikan bias cahaya yang berhasil kupetik dari purnama. “Aku yang kalah.” Ucapmu manja. Tapi apa artinya menang dan kalah saat kebersamaan milik kita berdua? Tidak ada. Bahkan tidak ada menang dan kalah diantara kita.

Lalu kau merajuk. Merayuku untuk sebuah sinar yang kupetik dari purnama. Beberapa saat kubiarkan kau bermanja dan merajuk seperti itu. Aku suka. Sangat suka. Melihatmu mengerutkan alis. Melihatmu bermanja seperti ingin menangis. Melihatmu mengerjapkan mata sambil sesekali menghentak-hentakkan kaki. Melihatmu merengek-rengek sambil mencoba merebut sinar yang kupegang adalah kebahagiaan yang tak bisa kutukar dengan apapun. Maka lengkaplah arti hidupku saat itu.

Tapi sekarang kau tak di sini, meski memang untuk sementara waktu. Segeralah rampungkan bilangan abjadmu; lalu pulanglah. Kita akan menjaring pelangi bersama. Meniti lembaran hari bersama. Bukan hanya aku, tapi kita... sebab aku tak akan pernah utuh, tanpamu.

Aku membutuhkanmu Nay,,, Bukan yang lain.



Sumenep, 26 September 2013

Saya, Pak Amir dan Gus Lim,,,



Mungkin bagi orang lain, kisah yang saya tulis kali ini adalah kisah sederhana. Tapi tidak bagi saya. Ini adalah pelajaran luar biasa yang membuat saya tersungkur dalam keharuan. Ini tentang kebaikan seseorang. Namanya Pak Amir. Saya mengenalnya sebagai agen salah satu penerbit LKS dan buku-buku pelajaran. Entah siapa nama lengkapnya, saya sudah lupa. Saya mengenal Pak Amir ketika dulu, MTs Raudhatut Thalibin—tempat saya mengabdi—membeli buku dari beliau.
Beberapa kali ke kantor Madrasah, kebetulan saya yang menemui Pak Amir di ruang tamu sebelum menghadap kepala Madrasah. Hanya saja, tidak pernah lama. Selesai pembayaran buku, maka selesai sudah urusan dengan Pak Amir. Kami kembali dengan aktifitas masing-masing. Pak Amir sebagai agen penerbit, saya sebagai santri yang mengabdikan diri di Pondok Pesantren. Setelah itu, saya beberapa kali bertemu dengan Pak Amir di momen yang berbeda. Pernah di masjid selepas sholat jumat. Pernah di kandepag Sumenep (sekarang sudah jadi Kantor Kementerian Agama). Beberapa kali salipan di jalan. Kadang juga di tempat Fotocopy.
Meski tidak pernah sekalipun mengobrol lama (selain dulu ketika di kantor Madrasah), tapi Pak Amir tetaplah seperti yang saya kenal pertama kali. selalu murah senyum, santun, dan bersahaja. Saya sebenarnya kurang yakin, beliau ingat nama saya. Karena kami memang sudah lama tidak pernah mengobrol lagi.
Hingga suatu hari, saat saya hendak makan siang, saya kembali bertemu dengan Pak Amir di sebuah warung makan dekat terminal lama. Beliau baru saja menyelesaikan makan siangnya. Seperti biasa, Pak Amir tersenyum ramah saat saya menyapanya.
Saya langsung memesan makanan (termasuk juga minuman). Setelah memilih beberapa lauk dan sayur, saya menuju meja tempat pak Amir berada. Setelah duduk, saya sempatkan mengobrol beberapa saat, lalu saya makan dengan lahap. Sedari pagi ngentri data ternyata cukup menguras energi. Belum habis separuh makanan di piring, Pak Amir sudah menuju kasir. Sedangkan saya tetap khusuk dengan makanan di piring.
“Duluan ya Mas,,,” ucap Pak Amir setelah dari kasir.
“Oh,,, mari Pak,” saya menjawab seperti biasa. Tersenyum dan kembali khusuk dengan makanan yang belum habis. Jika tidak salah ingat, menu makanan saya saat itu, nasi putih, cumi-cumi, kerang, tempe bumbu, dan sayur. Segelas Jeruk Hangat juga menjadi pelengkap makan siang. ^_^
Memang, dalam kondisi perut mulai lapar, makan itu terasa sangat nikmat. Beda sekali dengan kondisi kenyang. “Apapun makanannya” rasanya kita tidak akan berselera untuk menyantapnya. Jadi betul sekali anjuran “makan hanya pada saat lapar” untuk senantiasa diikuti. Selain untuk kesehatan, juga untuk mencegah dari pemborosan. (kalau meminjam istilahnya Vicky, biar tidak terjadi kudeta labil ekonomi yang memepertakut dan mempersuram statusisasi hati. Eh,,,).
Selesai makan, saya tidak langsung beranjak pulang. Istirahat sebentar. Membiarkan lambung bekerja sebagaimana mestinya. Saya duduk santai sambil menikmati minuman Jeruk Hangat yang tersisa di gelas. Mengusap keringat di kening, lalu mengambil Handphone di saku. Barangkali ada sms dari teman yang belum dibalas. Ternyata tidak ada.
Setelah istirahat dirasa cukup, saya meraih Tas Ransel. Bergegas menuju kasir.
“Berapa Bu?” tanya saya seperti biasa.
“Sudah dibayar Mas.”
“Lho, dibayar siapa Bu?” saya terkejut.
“Tadi namanya Pak Amir yang bayar.” Saya terdiam. Beberapa saat lamanya tidak bicara. Haru tiba-tiba menyeruak dalam dada. Subhanallah,,,
Saya berlalu dari hadapan Ibu kasir setelah sebelumnya pamit dan berterimakasih. Perasaan saya teraduk. Pak Amir. Orang yang sebenarnya tidak begitu akrab dengan saya. Orang yang sebelumnya saya duga sudah lupa dengan nama saya, berhasil membuat saya bungkam dan terhenyak. Beliau memberikan pelajaran yang sangat berarti. Bukan semata harga sepiring nasi dan segelas minuman jeruk hangat yang membuat saya terharu. Bukan hanya itu. Tapi ketulusan, keikhlasan, sifat dermawan dan pedulinya yang membuat saya terharu.
Bahwa ada banyak orang yang kenal dan begitu dekat dengan saya, memang iya. Tapi orang yang seperti Pak Amir, tentu saja tidak banyak. Inilah yang membuat saya kagum. Di tengah guyuran badai hedonisme yang meluluhlantakkan banyak orang. Di tengah amuk gelombang individualisme yang menjajah banyak jiwa. Di tengah krisis orang-orang santun dan murah hati, Pak Amir datang sebagai jawabannya. Mengabarkan bahwa masih banyak orang yang dermawan di Bumi ini. bertebaran di segala penjuru. Hanya saja, terkadang kita—terlebih saya—tidak menyadarinya.
Entah kapan dan dimana saya bisa bertemu lagi dengan Pak Amir. Bukan untuk meminta dibayari sepiring nasi dan segelas jeruk hangat. Tapi untuk menyampaikan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya. Atas kebaikan dan nasehatnya yang tidak terucap.
Saya pun teringat Gus Lim, (panggilan lain dari KH. Ahmad Halimy--Kyai saya di pondok.) Suatu ketika, beliau mengisi pengajian kitab di masjid. Di sela-sela pengajian, Kyai yang selalu berpenampilan sederhana itu memberikan wejangan pada saya dan teman-teman santri lainnya. Meski tidak sepenuhnya persis, kurang lebih beliau berkata, “Jadilah generasi baik yang di hatinya selalu merebak aroma keislaman. apapun profesi kalian nanti. Tetaplah istiqomah. jika jadi pembalap, jadilah pembalap yang islami. Jika jadi guru, jadilah guru yang islami, maka kalian akan mengajar dengan baik. jika jadi petani, jadilah petani yang islami, maka kalian akan bercocok tanam dengan baik. jika jadi penulis, jadilah penulis yang islami. Maka kalian akan senantiasa menuliskan hal-hal yang baik. jika jadi orang kaya, jadilah orang kaya yang islami. Maka kalian akan menggunakan kekayaannya di jalan Allah. Banyak bershodaqoh dan beramal baik.” kalimat yang sederhana. Tapi senantiasa indah.
Dari sinilah saya menyadari satu hal. Hanya orang-orang baik yang selalu mendapatkan tempat yang baik di hati banyak orang.

Sumenep, 18 September 2013