Saya, bola, dan sedikit catatan di hari minggu



Duh,,, ternyata saya agak lama tidak mengunjungi rumah rindu. Lama tidak bermain dengan ikan-ikan manis di aquarium rindu. Lama juga tidak menulis catatan pendek di beranda. Jika tidak salah hitung, sudah lebih dari tiga puluh tiga hari lamanya. Pendataan Sistem Informasi  Kepegawaian (SIMPEG) memang telah berhasil memaksa saya untuk larut di dalamnya. Belum lagi input nilai semester peserta UN, revisi Dapodik de-el-el. beginilah nasib seorang operator. Kerjaan datang tumpang tindih seperti badai rindu yang tak pernah habis. Belum lagi tanggungjawab besar sebagai nahkoda dalam babak baru kehidupan saya… ^_^

Tapi Alhamdulillah,,, saya bersyukur bisa menulis lagi, meski apa yang saya tulis bukan sesuatu yang besar. Hanya hal-hal kecil yang sebenarnya tidak lebih dari sekadar catatan harian. Tidak apa-apa. setidaknya, saya masih bisa menulis. Dengan catatan harian, saya berusaha untuk mengabadikan kenangan. Toh, saya tetap bisa selalu belajar meski hanya pada kenangan.

Hanya dengan menulislah saya bisa kembali pada kenangan.
Tulisan itu seperti potret abadi dari sebuah peristiwa. Membacanya seperti melihat-lihat masa lalu. Dan saya bisa mengambil pelajaran dari lembar kenangan untuk bekal perjalanan hidup ke depan. Setidaknya ini menurut saya.

Memang, saya bukan seorang penulis profesional—meski sejak dulu sudah bercita-cita ingin menjadi seorang penulis terkenal. Tapi saya pikir, tidak ada salahnya saya tetap bisa terus menulis walau saya belum berhasil meraih cita-cita itu? Bagi saya, menulis ya menulis. Itu saja. Menulis bukan hanya “milik” seorang penulis terkenal yang sudah melahirkan banyak buku. Menulis milik semua orang. Termasuk saya. Karena menulis bagi saya seperti hobby yang selalu menumbuhkan kebahagiaan.

Dan tentu, kebahagiaan tidak hanya dimiliki oleh seorang penulis terkenal saja. jadi, tidak butuh terkenal terlebih dahulu untuk bahagia saat menulis.

Jika dilihat sebagai hobby, kegiatan menulis tidak jauh beda dengan bermain Sepak Bola, atau Futsal. Meski tidak bisa masuk Timnas dan menjadi pemain profesional, toh masih banyak orang yang hobby bermain bola. Sederhana saja. Karena dengan main sepak bola—meski tanpa sepatu dan seragam—seseorang akan mendapatkan kebahagiaan yang tidak bisa ditemukan di tempat lain. Bisa tertawa dengan teman-teman di lapangan. Bisa bertukar cerita saat istirahat di pinggir lapangan. Bisa membangun kerjasama Tim saat bermain. Dan yang terpenting, badan bisa sehat karena sudah berolah raga.

Itu juga yang saya rasakan.
Hari Minggu kemarin, selepas sholat dhuhur, saya kembali main Futsal dengan teman-teman. Pada menit-menit pertama saya bertugas untuk menjadi penjaga gawang. Saya tampil layaknya pemain yang sudah profesional. Sebagai penjaga gawang, saya harus berjuang mati-matian untuk menyelamatkan gawang dari bobolan “musuh”. Saya bahkan harus jungkir-balik. Terkadang juga harus bergulingan di depan gawang untuk menangkap bola agar tidak masuk.

Menjadi penjaga gawang memang membutuhkan keberanian ekstra. Karena salah-salah, justru dada dan kepala yang menjadi sasaran empuk sepatu lawan. Butuh kemampuan khusus untuk itu. Disamping memang insting yang juga harus tajam: kapan saatnya harus menyongsong bola, kapan harus mundur sedikit untuk mengantisipasi tendangan lawan, dan kapan harus menyergap bola. Ah,,, saya harus berjuang mengkombinasikan kemampuan seperti itu.

Lima belas menit pertama berlalu. Keringat di badan sudah mulai menderas. Kemudian saya ganti posisi. Kali ini, saya bertindak sebagai Striker, sebagai ujung tombak serangan. Ini saatnya bagi saya untuk mengeluarkan kemampuan tendangan maut, umpan-umpan cantik, menggiring bola, mengecoh lawan dengan teknik seribu bayangannya Naruto (emang ada?), juga kemampuan menendang bola dari jarak yang sebelumnya tidak pernah terbaca oleh lawan. Berbekal pengalaman sewaktu kecil, saya tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menjebol gawang musuh. Belum lima menit berlalu, saya sudah berhasil mencetak gol dengan gemilang.

Umpan terobosan dari Rossi (teman satu Tim) di sektor kiri saya manfaatkan sebaik-baiknya. Deru angin yang mengiringi ayunan kaki kanan saya tampaknya membuat pemain lawan sedikit gelagapan. Tanpa mereka sadari, tendangan keras kaki kanan saya membuat bola berwarna orange itu meluncur dengan deras ke arah sudut kanan atas gawang. Dan… GOOLLL…. Tendangan saya tidak bisa diantisipasi oleh penjaga gawang lawan. ^_^

Saya berhasil membuat lawan terperangah dengan tendangan manis yang tidak pernah mereka sangka sebelumnya. Sorak-sorai teman-teman di belakang membuat kami semua tertawa riang. Dan seperti biasa. Saya melakukan selebrasi layaknya pemain profesional yang berlaga di ajang Piala Dunia. Saat itulah, deru nafas, rasa capek dan keringat yang mengalir deras terasa seperti tiket kebahagiaan yang berhasil saya petik. Kami bahagia, senang, tertawa-tawa, dan semakin erat dalam persaudaraan.

Tapi,,, bola ya tetap bola. Bulat dan menggelinding kemana-mana. Kadang melahirkan tawa, tak jarang juga menciptakan ringis dan kesakitan. Sayapun merasakannya. Menjelang menit-menit akhir pertandingan, saya terjatuh. Itu terjadi ketika saya berusaha merebut bola yang digiring “musuh”. Entah, apa karena sudah kelelahan, licin atau memang sudah “nasib” yang mengharuskan saya jatuh, yang jelas, badan saya tiba-tiba tersaruk dan meluncur deras beberapa meter jauhnya. saat itu saya tidak bisa lagi menguasai keseimbangan. Sialnya, lutut kiri saya dengan manisnya menggerus rumput buatan di lapangan. Dan sayapun meringis menahan sakit. Darah mulai merembes dari lutut bagian kiri yang kulitnya sedikit terkelupas.

Tapi saya tidak menangis. Malah sebaliknya, sambil meringis saya justru ketawa-ketawa dengan teman-teman. Sakit memang iya. Tapi tentu saja tidak sampai saya ratapi. Karena saya tahu bahwa dalam permainan bola memang seringkali itu terjadi. Begitu juga dalam menulis. Saya tahu terkadang sedikit ada rasa “sakit”, atau bahasa lainnya adalah kecewa saat tulisan dibantai habis-habisan oleh orang lain. Tidak baguslah, kurang inilah, kurang itulah. tapi tunggu dulu,,, hal-hal seperti itu sebenarnya yang membuat kita akan semakin kuat dan tegar dalam menulis. Jika tidak ada orang yang menunjukkan kelemahan tulisan kita, mana mungkin kita bisa memperbaikinya? Jadi baiknya, tertawa sajalah. Tertawakan kelemahan kita agar kita bisa memperbaikinya.  ^_^