Surat hati (2): Bukan hanya aku, tapi kita…





Nay,,,
Bagiku, melewati setiap lembar hari tanpamu, seperti nyanyian sumbang satu nada; getir. Bahkan ketika harus melelapkan mata, memancing gemerlap mimpi dari jutaan rahasia langit, aku selalu tersaruk sepi; pilu.

Maka jangan tanya kenapa tubuhku mulai agak kurusan. Jangan tanya kenapa rambutku mulai gondrong. Jangan tanyakan kenapa jambang di daguku mulai panjang dan tidak terawat. Sebab engkaulah jawabannya.

Aku mulai tidak biasa melewati hari sendirian. Mulai tidak mampu untuk tersenyum dengan alasan yang bukan karenamu. Mulai menjadi pelupa. Bahkan aku lupa terakhir kali menatap wajahmu lekat-lekat. Tanggal berapa, hari apa, pukul berapa, kau memakai baju apa; aku lupa. Satu-satunya hal yang masih senantiasa kuingat adalah rindu; tentu saja untukmu. Masa-masa indah bersamamu yang belum sepenuhnya berlalu.

Nay,,,
Aku bukan lelaki yang gampang menyerah pada satu keadaan. Tapi tanpamu, aku mulai diserang ragu. Seperti pernah di suatu ketika; di siang yang terik. Di sela-sela aktivitasku yang padat. Saat kudapati sebuah kabar getir dari pesan singkat yang ternyata salah alamat. Waktu itu aku tidak percaya. Tapi sontak aku tergeragap. Jiwaku seperti terkelupas. Perih. Sulur-sulur harapan yang merambat dan menancap kuat di hamparan hati, tercerabut seketika. Luka. Tak kutemukan bahasa yang bisa mengabarkannya saat itu. Bahkan sampai saat ini.

Aku memilih diam. Sejenak. Menghirup nafas dalam-dalam sembari memejamkan mata. Aku mencari sisa harapan di hati. Ada namamu menggantung di sana. Terombang ambing oleh gerimis. luruh dalam rebak bening. Lalu aku mulai ragu dengan tanah tempatku berpijak.

Kamu… bisikku samar.

Nay,,,
Lihatlah betapa aku memang tidak bisa tegar lagi seperti saat kau di sini. Seperti saat kita berlomba memetik sinar purnama di balik arakan awan perak. Kau tertawa bergelak. Aku tersenyum sambil menyembunyikan bias cahaya yang berhasil kupetik dari purnama. “Aku yang kalah.” Ucapmu manja. Tapi apa artinya menang dan kalah saat kebersamaan milik kita berdua? Tidak ada. Bahkan tidak ada menang dan kalah diantara kita.

Lalu kau merajuk. Merayuku untuk sebuah sinar yang kupetik dari purnama. Beberapa saat kubiarkan kau bermanja dan merajuk seperti itu. Aku suka. Sangat suka. Melihatmu mengerutkan alis. Melihatmu bermanja seperti ingin menangis. Melihatmu mengerjapkan mata sambil sesekali menghentak-hentakkan kaki. Melihatmu merengek-rengek sambil mencoba merebut sinar yang kupegang adalah kebahagiaan yang tak bisa kutukar dengan apapun. Maka lengkaplah arti hidupku saat itu.

Tapi sekarang kau tak di sini, meski memang untuk sementara waktu. Segeralah rampungkan bilangan abjadmu; lalu pulanglah. Kita akan menjaring pelangi bersama. Meniti lembaran hari bersama. Bukan hanya aku, tapi kita... sebab aku tak akan pernah utuh, tanpamu.

Aku membutuhkanmu Nay,,, Bukan yang lain.



Sumenep, 26 September 2013

Saya, Pak Amir dan Gus Lim,,,



Mungkin bagi orang lain, kisah yang saya tulis kali ini adalah kisah sederhana. Tapi tidak bagi saya. Ini adalah pelajaran luar biasa yang membuat saya tersungkur dalam keharuan. Ini tentang kebaikan seseorang. Namanya Pak Amir. Saya mengenalnya sebagai agen salah satu penerbit LKS dan buku-buku pelajaran. Entah siapa nama lengkapnya, saya sudah lupa. Saya mengenal Pak Amir ketika dulu, MTs Raudhatut Thalibin—tempat saya mengabdi—membeli buku dari beliau.
Beberapa kali ke kantor Madrasah, kebetulan saya yang menemui Pak Amir di ruang tamu sebelum menghadap kepala Madrasah. Hanya saja, tidak pernah lama. Selesai pembayaran buku, maka selesai sudah urusan dengan Pak Amir. Kami kembali dengan aktifitas masing-masing. Pak Amir sebagai agen penerbit, saya sebagai santri yang mengabdikan diri di Pondok Pesantren. Setelah itu, saya beberapa kali bertemu dengan Pak Amir di momen yang berbeda. Pernah di masjid selepas sholat jumat. Pernah di kandepag Sumenep (sekarang sudah jadi Kantor Kementerian Agama). Beberapa kali salipan di jalan. Kadang juga di tempat Fotocopy.
Meski tidak pernah sekalipun mengobrol lama (selain dulu ketika di kantor Madrasah), tapi Pak Amir tetaplah seperti yang saya kenal pertama kali. selalu murah senyum, santun, dan bersahaja. Saya sebenarnya kurang yakin, beliau ingat nama saya. Karena kami memang sudah lama tidak pernah mengobrol lagi.
Hingga suatu hari, saat saya hendak makan siang, saya kembali bertemu dengan Pak Amir di sebuah warung makan dekat terminal lama. Beliau baru saja menyelesaikan makan siangnya. Seperti biasa, Pak Amir tersenyum ramah saat saya menyapanya.
Saya langsung memesan makanan (termasuk juga minuman). Setelah memilih beberapa lauk dan sayur, saya menuju meja tempat pak Amir berada. Setelah duduk, saya sempatkan mengobrol beberapa saat, lalu saya makan dengan lahap. Sedari pagi ngentri data ternyata cukup menguras energi. Belum habis separuh makanan di piring, Pak Amir sudah menuju kasir. Sedangkan saya tetap khusuk dengan makanan di piring.
“Duluan ya Mas,,,” ucap Pak Amir setelah dari kasir.
“Oh,,, mari Pak,” saya menjawab seperti biasa. Tersenyum dan kembali khusuk dengan makanan yang belum habis. Jika tidak salah ingat, menu makanan saya saat itu, nasi putih, cumi-cumi, kerang, tempe bumbu, dan sayur. Segelas Jeruk Hangat juga menjadi pelengkap makan siang. ^_^
Memang, dalam kondisi perut mulai lapar, makan itu terasa sangat nikmat. Beda sekali dengan kondisi kenyang. “Apapun makanannya” rasanya kita tidak akan berselera untuk menyantapnya. Jadi betul sekali anjuran “makan hanya pada saat lapar” untuk senantiasa diikuti. Selain untuk kesehatan, juga untuk mencegah dari pemborosan. (kalau meminjam istilahnya Vicky, biar tidak terjadi kudeta labil ekonomi yang memepertakut dan mempersuram statusisasi hati. Eh,,,).
Selesai makan, saya tidak langsung beranjak pulang. Istirahat sebentar. Membiarkan lambung bekerja sebagaimana mestinya. Saya duduk santai sambil menikmati minuman Jeruk Hangat yang tersisa di gelas. Mengusap keringat di kening, lalu mengambil Handphone di saku. Barangkali ada sms dari teman yang belum dibalas. Ternyata tidak ada.
Setelah istirahat dirasa cukup, saya meraih Tas Ransel. Bergegas menuju kasir.
“Berapa Bu?” tanya saya seperti biasa.
“Sudah dibayar Mas.”
“Lho, dibayar siapa Bu?” saya terkejut.
“Tadi namanya Pak Amir yang bayar.” Saya terdiam. Beberapa saat lamanya tidak bicara. Haru tiba-tiba menyeruak dalam dada. Subhanallah,,,
Saya berlalu dari hadapan Ibu kasir setelah sebelumnya pamit dan berterimakasih. Perasaan saya teraduk. Pak Amir. Orang yang sebenarnya tidak begitu akrab dengan saya. Orang yang sebelumnya saya duga sudah lupa dengan nama saya, berhasil membuat saya bungkam dan terhenyak. Beliau memberikan pelajaran yang sangat berarti. Bukan semata harga sepiring nasi dan segelas minuman jeruk hangat yang membuat saya terharu. Bukan hanya itu. Tapi ketulusan, keikhlasan, sifat dermawan dan pedulinya yang membuat saya terharu.
Bahwa ada banyak orang yang kenal dan begitu dekat dengan saya, memang iya. Tapi orang yang seperti Pak Amir, tentu saja tidak banyak. Inilah yang membuat saya kagum. Di tengah guyuran badai hedonisme yang meluluhlantakkan banyak orang. Di tengah amuk gelombang individualisme yang menjajah banyak jiwa. Di tengah krisis orang-orang santun dan murah hati, Pak Amir datang sebagai jawabannya. Mengabarkan bahwa masih banyak orang yang dermawan di Bumi ini. bertebaran di segala penjuru. Hanya saja, terkadang kita—terlebih saya—tidak menyadarinya.
Entah kapan dan dimana saya bisa bertemu lagi dengan Pak Amir. Bukan untuk meminta dibayari sepiring nasi dan segelas jeruk hangat. Tapi untuk menyampaikan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya. Atas kebaikan dan nasehatnya yang tidak terucap.
Saya pun teringat Gus Lim, (panggilan lain dari KH. Ahmad Halimy--Kyai saya di pondok.) Suatu ketika, beliau mengisi pengajian kitab di masjid. Di sela-sela pengajian, Kyai yang selalu berpenampilan sederhana itu memberikan wejangan pada saya dan teman-teman santri lainnya. Meski tidak sepenuhnya persis, kurang lebih beliau berkata, “Jadilah generasi baik yang di hatinya selalu merebak aroma keislaman. apapun profesi kalian nanti. Tetaplah istiqomah. jika jadi pembalap, jadilah pembalap yang islami. Jika jadi guru, jadilah guru yang islami, maka kalian akan mengajar dengan baik. jika jadi petani, jadilah petani yang islami, maka kalian akan bercocok tanam dengan baik. jika jadi penulis, jadilah penulis yang islami. Maka kalian akan senantiasa menuliskan hal-hal yang baik. jika jadi orang kaya, jadilah orang kaya yang islami. Maka kalian akan menggunakan kekayaannya di jalan Allah. Banyak bershodaqoh dan beramal baik.” kalimat yang sederhana. Tapi senantiasa indah.
Dari sinilah saya menyadari satu hal. Hanya orang-orang baik yang selalu mendapatkan tempat yang baik di hati banyak orang.

Sumenep, 18 September 2013

Meski kau sudah di sampingku,,,


Saat senja menguning. Saat angin berhembus perlahan. Saat beberapa pasang kelelawar berbaris pulang. Saat dingin mulai menyapa. saat beberapa kelopak mawar menebar wangi. Saat rindu selalu bertalu.

Kamu; perempuan yang selalu merindukan surga, yang sejak dulu diam-diam menciptakan damai di hati; melahirkan bait-bait puisi tentang cinta. Kini—diantara langit jingga sore hari—kau hadir dan duduk di sampingku. Berceloteh tentang perjalanan, embun shubuh, mimpi-mimpi indah yang diambil dari tidur malam, kelopak bunga yang luruh, awan seputih kapas, tugas kuliah yang belum rampung, organisasi yang menyita waktu, cucian yang menumpuk, es cream rasa Vanila, gerimis yang lama tak bertandang, dan cerita-cerita unik yang membuatku tersenyum.

Aku; lelaki pecinta senja yang kerap kali luruh dalam rindu, tak pernah bisa lepas sedetikpun dari rasa itu. Rasa yang kau curi dari kerlip bintang di bulan Dzulhijjah. Rasa yang kerap mendatangkan gempa sekian skala richter di dada. Rasa yang dipetik dari pijar sorot mata kita. Rasa yang sudah membuat kita semakin ranum dalam hamdalah. Rasa yang hanya tertuju untukmu; rindu.

Dan di senja kali ini. untuk kesekian kalinya kukatakan, rindu ini seperti nafas. Berhenti berarti mati. Bahkan meski kau sudah di sampingku, meski kau telah menjadi halal bagiku,,, sungguh rindu ini semakin rimbun dan membiru.

-      “Terimakasih untuk segala hal yang indah ini.” ucapmu perlahan.
+   “Terimakasih juga untuk selalu menjadi sumber rinduku.” Kau mengangkat kepala. menatapku dengan binar cinta. Senyummu mengembang.
-       “Masih merindukanku?”
+   “Bangeeet,,,”
-       “Aku kan di sampingmu Mas,,,?” Matamu mengerjap dua kali.
+   He’em,,, padahal kau di sampingku. Apalagi jika tidak. Kau tahu, rindu ini selalu tak bisa kubendung. Seperti gelombang di lautan. Bisa kau bayangkan betapa sakitnya aku jika harus kehilangan rindu ini?” kau terdiam. Aku juga. hening diantara kita. Matamu merebakkan bening. Luruh. seperti tubuhmu yang menghambur ke pelukku.
-      Thank you my husband,,,” suaramu basah. Hangat di dada.



Sumenep, 6 September 2013