Surat hati (5); Cerita untukmu,,,,


Sepanjang perjalanan ini Ay,,, aku berusaha berdamai dengan perasaan sendiri. Tentu kau sudah mahfum beratnya perjalanan tanpamu. Deretan pohon-pohon yang terlihat dari samping jendela bus seolah berlarian ke belakang. Menjarah jejak yang tertinggal. Ini seolah menjadi sketsa masa yang terus meranum. Menjadi tumpuan lompatan untuk melenting ke masa depan. Menjemput impian.

Sesampai di Puslatdiksarmil Sidoarjo, aku juga harus berusaha menyesuaikan diri dengan Iklim meliter Ay… seabrek kegiatan menunggu untuk diselesaikan. Mulai dari registrasi peserta, mencari Barak tempat tinggal, menyiapkan pakaian untuk pembukaan, mengatur tempat tidur bertingkat yang tidak bisa dikatakan bagus. Aku harus membetulkan pintu lemari kecil yang engselnya sudah rusak ini.

Aku memang tidak seberuntung temanku, Mahelli dan Syarif Al-Hamidi yang mujur bisa menempati barak bersih dan terawat. Tempat tidurnya relatif masih baru. Lemarinya juga bagus. Tetapi aku memilih bertahan di Barak ini, Ay,,, sebab aku yakin ini memang tempat terindah untuk menempa diri. Ada seratus orang lebih dari lima kabupaten yang beruntung menempati Barak ini. Dan dari mereka, aku yakin bisa memperolah banyak pelajaran yang berarti.

Banyak aturan yang tidak sama dengan aturan di rumah Ay,,, di sini, makan tidak lebih dari 10 menit. Semua dilakukan secara berjamaah. Ada yang memimpin doa di depan sebelum memulai makan. Bagitu juga setelahnya. Tentu ini adalah bentuk kedisiplinan yang memang harus diikuti. Disamping itu, jika ingin keluar barak, maka setiap peserta harus memakai sepatu dan ID Card di leher. Tidur larut malam dan bangun dini hari.

Ada lagi Ay,,, tentang nyamuk.
Duh,,, makhluk mungil yang menggemaskan ini bukan hanya ada. Tapi banyak. Sangat banyak. Menurut Pak Jumadi—salah satu TNI di sini—nyamuk-nyamuk disini juga sudah terlatih secara meliter. Terbiasa bergerilya untuk menyerang. Aku mengakui Ay,,, Kejeliaan nyamuk di sini dalam menggigit atau menghisap darah tidak diragukan lagi. Aku juga tidak luput dari sasarannya.

Memasuki dua hari pertama terasa sangat berat Ay,,, mungkin karena belum terbiasa, Tugas-tugas Individu dan kelompok datang tumpang tindih. Semua harus diselesaikan tanpa ampun. Ini seperti rinduku yang semakin tak bisa ditawar; padamu Ay…

Kau juga tengah mendekap rindu kan?

Di sini, ada peserta perempuan yang membawa anak kecil yang tampaknya masih belum genap berusia 6 bulan. Perempuan itu, ditemani  ibunya ke tempat PLPG, untuk membantu “ngemong” anaknya di luar kelas. Tapi sesekali ia harus pamit keluar dari kelas untuk mendiamkan anaknya yang tiba-tiba menangis. Bahkan, semalam—menurut penuturan teman satu kelompoknya—ia masih harus mengerjakan tugas sambil menggendong anaknya yang rewel. Aku langsung ingat padamu Ay,,, aku tidak bisa membayangkan jika Engkau dihadapkan dengan kondisi seperti ini. aku tak mungkin bisa tenang.

Ada peserta yang sakit Ay,,, namanya Pak Hasan. Saat makan siang bersama, beliau mengutarakan keinginannya untuk pulang, karena memang kondisinya makin tidak memungkinkan. Aku dan teman-teman berusaha untuk membujuknya agar tidak pulang. Kami menyarankan untuk periksa ke ruang klinik khusus peserta diklat.

Ada peserta lain yang juga tidak betah Ay,,, namanya Pak Norman. Beliau juga mengutarakan ketidakbetahannya mengikuti PLPG. Ia tidak bisa mengikuti kegiatan dibawah tekanan. Ini adalah kali kedua setelah tahun lalu dinyatakan tidak lulus. kami kembali berusaha untuk membujuknya. Menenangkannya. Menguatkannya. Saat seperti inilah Ay,,, aku melihat kebersamaan yang indah. Saat salah satu dari kami ada yang Down atau dapat ujian, maka yang lain bahu-membahu untuk menguatkannya. Inilah bukti bahwa ukhuwah yang terbangun demikian eloknya.

Tapi kesedihan tak ayal menjarah kami juga Ay... Beberapa peserta harus pulang karena terkendala administrasi. Menurut kabar teman-teman, berkaitan dengan ijazah terakhirnya. Ah, entahlah…

Ay,,, aku masih banyak menyimpan cerita untukmu. Nanti, sepulang dari PLPG, akan aku ceritakan sambil menikmati senja bersama dari beranda rumah kita…


Puslatdiksarmil-Sidoarjo, 23 Agustus 2014
 

Karena aku bukan Bang Toyyib,,,



Ada bersitan cemas yang perlahan menebal di alis matamu Ay,,,
saat aku pamit berangkat ke tanah seberang untuk menimba ilmu. Sejak subuh ini, sampai beberapa hari ke depan kita memang tidak bisa bersama Ay,,, aku harus berangkat untuk menunaikan tugas suci. tapi bukan berarti kita tak bisa bercakap seperti biasa. Selalu ada jalan untuk bertukar kabar bukan? Jarak bukanlah aral yang patut kita cemaskan Ay... bahkan sesekali kita memang harus berjauhan untuk mengukur seberapa dalam kerinduan yang mengakar di hati kita.

Ketika engkau mencium takdzim punggung tanganku… sesaat sebelum kaki kananku melangkah menaiki tangga Bus. Ada linang yang merebak di sepasang matamu. Sementara aku harus tetap tersenyum sembari berharap bisa mengalirkan kekuatan ke hatimu. Bukan aku tak sedih Ay,,, Bukan. Tapi karena memang aku harus tersenyum agar kau tak semakin luruh dalam lara. Semestinya, aku bisa menghapus rasa cemasmu dengan berbagai kisah tentang senja yang akan aku bawa nanti; untukmu. Atau tentang gemerlap lampu di pojok taman setelah senja menghilang. Atau tentang matahari pagi yang selalu datang penuh cinta.

“Hati-hati ya Mas,,, Jaga diri baik-baik…” ucapmu menyejukkanku. Duh, Ay… jika saja ini bukan karena kewajibanku sebagai seorang pendidik agar lebih profesional, mungkin aku memilih mundur dari percaturan Puslatdiksarmil di Sidoarjo itu. Aku lebih memilih menemanimu memasak tahu-tempe dan oseng-oseng rasa balado. Atau sibuk menggodamu saat sedang sibuk menyetrika baju-bajuku. Kau pasti tersenyum seperti biasa Ay,,, seperti hari-hari sederhana yang kita lalui bersama. Tetapi sekali lagi aku memang harus pergi untuk sementar. Sebab ini untuk masa depan anak bangsa…

Untuk itulah, aku selalu butuh aliran doa darimu Ay,,, itu akan menjadi salah satu sumber kekuatan bagiku...
semoga kegiatanku lancar dan lulus dengan gemilang ya,,,
Aku ingin segera pulang.
Karena aku bukan Bang Toyib ^_^

Puslatdiksarmil Juanda, 200814

Senja di matamu, En,,,



gambarnya ngambil di google ^_^


En, meski terkadang berbagai prahara menerjang rerimbunan hatimu, kau tetap setia menyimpan senja di matamu. Barangkali, menurutmu, senja adalah semacam helaan napas yang senantiasa harus kau dekap. Melepasnya berarti mati. Seperti juga detak nadi dan degup jantung. Tak pernah terpisahkan. Kecuali oleh maut.

En, Aku belum pernah melihat senja yang berkilau-kilau keemasan seperti yang terpatri di matamu. Senja yang menurutmu paling cantik. Paling mempesona sekaligus menyihir. Siapapun yang melihatnya, aku yakin akan terkagum-kagum, terperangah atau tersihir. Tapi tentu tidak setiap orang bisa menikmatinya, karena sebagian dari mereka tak akan sanggup menatap langsung pada matamu. Kau tahu kenapa? Karena matamu adalah matahari musim hujan.

En, aku belajar setia padamu. Meski berkali kau mengarungi luka; lantaran hidup menikammu berkali-kali dengan pengkhianatan. Tetapi kau tetap bangkit dengan harapan. Melangkahkan kaki dengan ketegaran yang niscaya. Aku bahkan bergidik menyaksikan lebaman luka di hatimu. Membayangkan sakitnya saja aku tak sanggup apalagi merasakannya? Tetapi begitulah engkau En, Perempuan tegar yang senantiasa menyimpan senja di matamu. Senantiasa menyimpan cinta di hatimu.

Tentang ikhwal senja di matamu En, terus terang aku iri.
Kau mengambilnya persis di hari keduapuluh sembilan kebersamaanmu dengan seseorang. Engkau menyebutnya Lelaki Embun; seseorang yang paling engkau cintai dan mencintaimu juga. Hari itu, kalian mencuri senja dari langit. awalnya, ada Sembilan puluh sembilan bilur kebahagiaan. Lalu ada enam puluh enam kecemasan di hati kalian. Benar dugaanmu, orang-orang mulai panik. Lalu mereka tidak terima ada yang mencuri senja dari langit. mereka mulai marah, lalu berhamburan mencari kalian.

Engkau berhasil sembunyi di balik beringin berusia ribuan tahun di samping rumahku. Lelakimu; demi melindungimu, dengan gagah berani menghadapi kemarahan orang-orang itu. Beberapa saat mereka terlibat pembicaraan. Tapi mereka tidak berkelahi seperti yang sempat aku duga En. Barangkali, dengan roncean kalimat-kalimat yang mengagumkan. Lelakimu telah berhasil meredakan kemarahan orang-orang itu. tapi aku tak tahu apa yang dikatakannya.

Saat dengan sangat hati-hati kau menyembunyikan senja di matamu. Perlahan, Lelaki Embunmu mengambang ke udara. Dengan kedua mata terpejam dan sepasang lengan yang terentang ke samping. Dia melesat secepat kilat ke ufuk barat. Sekejap. Seperti cahaya yang menyambar langit. Lelakimu menjelma senja. Orang-orang mulai bersorak kegirangan. Sedangkan engkau mulai menangis tertahan. Air matamu mengalir perlahan. Perpisahan yang indah sekaligus menyakitkan. Tak ada kalimat terakhir untukmu, En. Tapi kilatan senja di matamu semakin benderang. Cinta telah menyatukan kalian.

Selamat berlebaran En,,, Engkau telah menemukan cinta yang sesungguhnya.



Sumenep, 1 Agustus 2014