Dalam banyak kesempatan, seringkali
kita dipertemukan dengan orang-orang aneh diluar dugaan. Ada Bos di sebuah
perusahaan yang “aku”nya minta ampun. Menganggap dirinya paling hebat dan
paling pintar. Padahal masih saja butuh anak buah. (wajarlah, karena doi emang yang punya perusahaannya). Tapi yang
lebih aneh, ada karyawan yang “Gawat”nya na’udzubillah.
Sok pintar, sok hebat, dan sok paling dibutuhkan di dunia. Seolah-olah orang
lain itu hanya penonton yang bego dan tidak tahu apa-apa. (eh, saya gak mau nyebutin merk ah, takut dipelototin). Diintip dari
sudut pandang kawan saya, jawabannya mengerucut pada konklusi general yang berbunyi “ya,,, begitulah
warna hidup”.
Di luar itu, ada juga beberapa orang
yang mendadak super duper gawat karena mendapatkan kesempatan menjadi salah
satu “orang penting” dalam sebuah kegiatan. Anggaplah panitia kegiatan, atau tim
teknis dari sebuah diklat. Syahdan, karena sebenarnya mereka tidak siap secara
mental, jadilah mereka itu bertindak seolah seperti raja, yang setiap sabdanya
harus dituruti. Setiap peseta harus tunduk patuh terhadapnya. Bahkan, jikapun
ada salah satu peserta yang sakit, tidak boleh diganti. Kalau ingin diwakilkan
ya bisa. Cuma “wani piro?”
Saya sedikit tercekak dan melongo mendapatkan
cerita ini dari kawan lama, kemarin.
“Kok bisa?” Tanya saya.
“Gue juga kagak tahu kok sampe serumit
itu. Padahal penggantinya itu udah direkomendasi dari instansi terkait. Udah ngasi
tahu juga. Tapi ya itu, tim teknis dan panitianya tetap mempersulit.”
“Masak sih?”
“Iya. Mereka berprinsip, kalau bisa
dipersulit, ngapain dipermudah?”
“Lalu?” saya semakin penasaran.
“Mereka mau aja menerimanya asal mengerti
mantra “memahami kami”.
“Maksudnya?”
“Mantra “memahami kami” itu sama saja
artinya dengan Wani Piro.”
“semacam transaksional gitu?”
“He’em”. Jawab teman saya itu sedikit
lemas.
“Udah, jangan diambil hati.”
Saya tersenyum. Lalu membatin. Apa perlakuan
terhadap orang yang sakit, apalagi misalnya bagi yang meninggal itu harus
diukur dengan wani piro? Ah, otak saya tak bisa menjangkau.
Negara ini tidak dibangun dengan “Wani
Piro”. Tapi atas dasar semangat untuk kemerdekaan. Mengangkat derajat rakyatnya
agar sama di depan umum, dan tanpa membedakan apalagi mendiskriminasi satu sama
lainnya. Sayangnya, di tengah-tengah bangsa yang konon sudah merdeka ini, malah
muncul beberapa “oknum” yang justru bertindak sebagai penjajah atas saudaranya
yang lain. Mungkin mereka susah melihat orang lain senang. Senang melihat orang
lain susah.
Ah, sudahlah…
Sumenep, 14 Juni 2014