Entah sejak kapan bermula. Aku mendapati satu rasa tiba-tiba menggelayut di dada. Merapat, menyerap dan lesap di kedalaman jiwa. Menjadi lengkung pelangi di cakrawala hati. Serupa gerimis senja yang bertabur pijar warna matahari. Indah dan penuh makna.
Rasa itu semakin menggoda. Meninggalkan rona merah di pendar wajah. Gemuruh tak bernada dalam dada. Salah tingkah dalam sikap. Dan jejak hangat dalam hati. Tapi rasa apakah ini? Aha,,, Tiba-tiba aku menjadi orang bodoh yang tak sanggup menafsir rasa. Lebih rumit dari memahami puisi paling sunyi.
Tapi aku tidak mau terjebak dalam definisi,, biarlah rasa ini tak pernah bernama, asal abadi dalam hati. Mencipta bulir bunga di setiap senyum. Melahirkan semangat baru dalam hidup. dan menghadirkan rindu disetiap pendar waktu.
Dan rasa ini semakin dalam berakar di jiwa. Merekah selepas shubuh yang cantik di hari arofah. Saat itu, Berbareng embun bening yang meningkahi sinar matahari, aku menyapa hatimu dengan salam. Sekujur doa lestari dalam balutan bias ilahi tercurah untuk jiwamu yang wangi surgawi. Semoga keselamatan selalu untukmu wahai perempuan bulan; Perempuan yang lahir dari rahim cahaya. Tumbuh dalam balutan cahaya. Dan mengerjab dalam bias cahaya.
Lalu aku tak mampu berkata apa-apa saat biasmu menyepuh seluruh gigil hatiku. Meneduhkan. Menentramkan. Mendamaikan. Menyejukkan segala hal ikhwal kepedihan. Membuatku semakin luruh dalam belantara rasa yang tak bernama. Hai,,, tiba-tiba pendarmu menjelma pelangi yang memilin-milin hatiku, wahai perempuan bulan; perempuan dengan senyum simpul seindah purnama.
Dan hari Arofah menjadi semakin bermakna saat kau dan aku mengaji jejak cinta Siti Hajar dan Nabi Ibrahim. Melahirkan semangat keihklasan Ismail dalam hatiku dan hatimu. Menggenapkan seluruh dongeng tantang rindu yang dipetik dari risalah adam dan hawa.
Maka, kitapun sama-sama mengangguk mahfum atas rindu mereka yang terkabar dalam al-quran, wahai perempuan bulan, karena engkau memang jelmaan hawa yang kupercaya sebagai patahan tulang rusukku yang sempat hilang.
Pencarianku padamu seperti lelehan baris puisi di setiap jejak hujan. Kau menderu beralas rindu, sedang aku menunggu tanpa jemu. Lalu di genangan rona senja kita bertemu. Menyusur lembayung dengan doa. Meniti takdir menggerai asa.
“Kau masih sakit?” ucapmu selembut salju.
“Jangan tanyakan tentang rasa sakit wahai perempuan bulan. Sebab bagiku, rasa sakit serupa bias senja. Selalu menyisakan rona bahagia di kedalaman jiwa. Kau tahu kenapa aku memilih rasa sakit terlebih dahulu? Semata karena aku tahu bahwa untuk menemu bahagia, terlebih dahulu seseorang perlu paham tentang rasa sakit.” Lalu senyummu semerbak mawar. Bermekaran diseantero sorot mata.
“Kututurkan padamu perempuan bulan, bahwa sakit itu adalah jalan. Adalah jembatan. Seseorang tidak akan pernah menemukan dataran senyum sebelum melewati jalanan itu. Sebelum meniti jembatan itu. Engkau, aku, mereka, dan semua orang-orang itu, sebenarnya sama di hadapan nasib. Nasib akan mengantarkan kita pada reriuangan rasa sakit sebelum sampai pada puncak bahagia. Hanya saja, yang membedakan adalah penerimaan hati kita. Saat hati kita mengijinkan rasa sakit meremuk redamkan seluruh rasa, maka selamanya kita akan tertatih dalam perjalanan luka. Tapi, jika kita menerimaanya sebagai bagian dari sunnatullah, maka percayalah,,. Bahwa segala karat luka akan menjelma mutiara.” Dan lagi-lagi kau menyambut kalimatku dengan senyum paling anggun.
“Termasuk sakit lantaran cinta?” tanyamu memburu kalimatku.
“Perempuan bulan, cinta tak melulu menderaskan senyum. Sesekali ia harus menderaskan air mata agar kita semakin paham bahwa cinta adalah jalan untuk menghadapNYA. Dan jalan untuk mendekat kepadaNYA sangatlah terjal dan berliku. Jika kita pernah mencintai seseorang, maka semestinya kita harus memposisikan orang tersebut sebagai jembatan untuk mencintaiNYA secara nyata. Lalu tentang sakit yang kau maksudkan, apakah masih ada artinya membahasakan sakit, jika sebenarnya itu merupakan ruang teduh untuk semakin mendekat padaNYA? Ah, aku yakin kau sudah paham jawabannya, sebab engkau adalah perempuan Bulan.”
“Bolehkah aku meminta sesuatu padamu?” tanyamu.
“Boleh, selama aku punya. Katakanlah”
“Aku ingin kau menuliskan sesuatu untukku.”
“Apa?” tanyaku.
“Cinta”
Deg!! Tertegun aku mendengarnya. Terbata aku menafsirkannya.
“Tulislah cinta di hatiku. Bukan dengan tinta atau dengan kata. Tapi dengan cinta itu sendiri” Ucapmu telak.
“Kau mengingatkanku pada sebuah puisi yang ditulis oleh Sitok Srengenge. Kau mau mendengarnya?” tanyaku memastikan.
“Tentu saja aku mau.”
“Baiklah,,, dengarkanlah dengan hatimu. Karena ini adalah jawabanku”
“Sempurna” ucapmu lirih.
“Apa yang sempurna?” tanyaku dalam bimbang.
“Aku tidak salah”
“Maksudmu?”
“Kau lelaki istimewa yang kujumpai. Jika kebanyakan orang-orang menghamburkan kata cinta pada kaum perempuan. kau malah memilih mundur dalam kesunyian kata. Jika kebanyakan para lelaki berebutan mendapatkan cinta seorang perempuan. Kau memilih jalan diam yang memabukkan. Kau bukan tak punya cinta. Tapi kau memilih menjadi cinta itu sendiri, agar orang-orang yang berdatangan menghampirimu”
“Tapi,,,”
“Aku menunggu kedatanganmu di rumahku, pada purnama ke tiga dari sekarang. Karena aku tak butuh kata”
“Kau serius?” tanyaku ragu.
“Apa kau melihat sorot kebohongan di mataku?” tanyamu sembari tersenyum.
“Baiklah, tapi bukan karena kau yang meminta. Melainkan karena sebentuk rasa tak bernama di dada ini.”
“Terimakasih karena kita sama-sama jujur pada diri sendiri”
“Sekarang aku semakin paham tentang rasa sakit yang kau tanyakan. Aku paham bahwa untuk menemukanmu, aku memang wajib sakit dan tertatih terlebih dahulu dalam belantara hidup. Agar syukurku tak pernah punah saat bersamamu. Tak ada rasa sakit yang benar-benar sakit jika ganjaran dari semua itu adalah kamu, wahai perempuan bulan.”
“Terimakasih Lelaki pencinta senja. Kau sudah banyak mengajariku berbagai hal. Termasuk memaknai perasaan.”
“Apa yang harus kulakukan selama menunggu purnama ketiga?” tanyaku.
“Kita melangkah sewajarnya. Biarkan mengalir seperti biasanya. Tak perlu ada orang lain yang mengetahui hal ini”
“Kenapa?”
“Karena cinta milik hati. Bukan milik dunia.”
Aku tersenyum mendengar jawabanmu perempuanku. Sebab cinta memang milik hati. Dan hanya hati yang berhak memahaminya. Bukan orang lain. Lalu perlahan rinduku abadi di reranting hatimu.
***
sumenep, menjelang lelap, 8 November 2011
Rasa itu semakin menggoda. Meninggalkan rona merah di pendar wajah. Gemuruh tak bernada dalam dada. Salah tingkah dalam sikap. Dan jejak hangat dalam hati. Tapi rasa apakah ini? Aha,,, Tiba-tiba aku menjadi orang bodoh yang tak sanggup menafsir rasa. Lebih rumit dari memahami puisi paling sunyi.
Tapi aku tidak mau terjebak dalam definisi,, biarlah rasa ini tak pernah bernama, asal abadi dalam hati. Mencipta bulir bunga di setiap senyum. Melahirkan semangat baru dalam hidup. dan menghadirkan rindu disetiap pendar waktu.
Dan rasa ini semakin dalam berakar di jiwa. Merekah selepas shubuh yang cantik di hari arofah. Saat itu, Berbareng embun bening yang meningkahi sinar matahari, aku menyapa hatimu dengan salam. Sekujur doa lestari dalam balutan bias ilahi tercurah untuk jiwamu yang wangi surgawi. Semoga keselamatan selalu untukmu wahai perempuan bulan; Perempuan yang lahir dari rahim cahaya. Tumbuh dalam balutan cahaya. Dan mengerjab dalam bias cahaya.
Lalu aku tak mampu berkata apa-apa saat biasmu menyepuh seluruh gigil hatiku. Meneduhkan. Menentramkan. Mendamaikan. Menyejukkan segala hal ikhwal kepedihan. Membuatku semakin luruh dalam belantara rasa yang tak bernama. Hai,,, tiba-tiba pendarmu menjelma pelangi yang memilin-milin hatiku, wahai perempuan bulan; perempuan dengan senyum simpul seindah purnama.
Dan hari Arofah menjadi semakin bermakna saat kau dan aku mengaji jejak cinta Siti Hajar dan Nabi Ibrahim. Melahirkan semangat keihklasan Ismail dalam hatiku dan hatimu. Menggenapkan seluruh dongeng tantang rindu yang dipetik dari risalah adam dan hawa.
Maka, kitapun sama-sama mengangguk mahfum atas rindu mereka yang terkabar dalam al-quran, wahai perempuan bulan, karena engkau memang jelmaan hawa yang kupercaya sebagai patahan tulang rusukku yang sempat hilang.
Pencarianku padamu seperti lelehan baris puisi di setiap jejak hujan. Kau menderu beralas rindu, sedang aku menunggu tanpa jemu. Lalu di genangan rona senja kita bertemu. Menyusur lembayung dengan doa. Meniti takdir menggerai asa.
“Kau masih sakit?” ucapmu selembut salju.
“Jangan tanyakan tentang rasa sakit wahai perempuan bulan. Sebab bagiku, rasa sakit serupa bias senja. Selalu menyisakan rona bahagia di kedalaman jiwa. Kau tahu kenapa aku memilih rasa sakit terlebih dahulu? Semata karena aku tahu bahwa untuk menemu bahagia, terlebih dahulu seseorang perlu paham tentang rasa sakit.” Lalu senyummu semerbak mawar. Bermekaran diseantero sorot mata.
“Kututurkan padamu perempuan bulan, bahwa sakit itu adalah jalan. Adalah jembatan. Seseorang tidak akan pernah menemukan dataran senyum sebelum melewati jalanan itu. Sebelum meniti jembatan itu. Engkau, aku, mereka, dan semua orang-orang itu, sebenarnya sama di hadapan nasib. Nasib akan mengantarkan kita pada reriuangan rasa sakit sebelum sampai pada puncak bahagia. Hanya saja, yang membedakan adalah penerimaan hati kita. Saat hati kita mengijinkan rasa sakit meremuk redamkan seluruh rasa, maka selamanya kita akan tertatih dalam perjalanan luka. Tapi, jika kita menerimaanya sebagai bagian dari sunnatullah, maka percayalah,,. Bahwa segala karat luka akan menjelma mutiara.” Dan lagi-lagi kau menyambut kalimatku dengan senyum paling anggun.
“Termasuk sakit lantaran cinta?” tanyamu memburu kalimatku.
“Perempuan bulan, cinta tak melulu menderaskan senyum. Sesekali ia harus menderaskan air mata agar kita semakin paham bahwa cinta adalah jalan untuk menghadapNYA. Dan jalan untuk mendekat kepadaNYA sangatlah terjal dan berliku. Jika kita pernah mencintai seseorang, maka semestinya kita harus memposisikan orang tersebut sebagai jembatan untuk mencintaiNYA secara nyata. Lalu tentang sakit yang kau maksudkan, apakah masih ada artinya membahasakan sakit, jika sebenarnya itu merupakan ruang teduh untuk semakin mendekat padaNYA? Ah, aku yakin kau sudah paham jawabannya, sebab engkau adalah perempuan Bulan.”
“Bolehkah aku meminta sesuatu padamu?” tanyamu.
“Boleh, selama aku punya. Katakanlah”
“Aku ingin kau menuliskan sesuatu untukku.”
“Apa?” tanyaku.
“Cinta”
Deg!! Tertegun aku mendengarnya. Terbata aku menafsirkannya.
“Tulislah cinta di hatiku. Bukan dengan tinta atau dengan kata. Tapi dengan cinta itu sendiri” Ucapmu telak.
“Kau mengingatkanku pada sebuah puisi yang ditulis oleh Sitok Srengenge. Kau mau mendengarnya?” tanyaku memastikan.
“Tentu saja aku mau.”
“Baiklah,,, dengarkanlah dengan hatimu. Karena ini adalah jawabanku”
Menulis CintaKau tertegun menyapa senyap. Sementara akupun hanya mampu menghela nafas panjang diantara gemuruh rasa. Lalu ada yang merebak dikelopak matamu. Air yang indah. Mencipta sepasang liukan sungai bening di kedua pipimu. Ada apakah denganmu perempuan bulan? Apakah karena aku memang tak mampu menuliskan cinta di hatimu?
Kau minta aku menulis cinta
Aku tak tahu huruf apa yang pertama dan seterusnya
kubolak-balik seluruh abjad
Kata-kata cacat yang kudapat
Jangan lagi minta aku menulis cinta
Huruf-hurufku, kau tahu,
bahkan tak cukup untuk namamu
Sebab cinta adalah kau, yang tak mampu kusebut
kecuali dengan denyut
“Sempurna” ucapmu lirih.
“Apa yang sempurna?” tanyaku dalam bimbang.
“Aku tidak salah”
“Maksudmu?”
“Kau lelaki istimewa yang kujumpai. Jika kebanyakan orang-orang menghamburkan kata cinta pada kaum perempuan. kau malah memilih mundur dalam kesunyian kata. Jika kebanyakan para lelaki berebutan mendapatkan cinta seorang perempuan. Kau memilih jalan diam yang memabukkan. Kau bukan tak punya cinta. Tapi kau memilih menjadi cinta itu sendiri, agar orang-orang yang berdatangan menghampirimu”
“Tapi,,,”
“Aku menunggu kedatanganmu di rumahku, pada purnama ke tiga dari sekarang. Karena aku tak butuh kata”
“Kau serius?” tanyaku ragu.
“Apa kau melihat sorot kebohongan di mataku?” tanyamu sembari tersenyum.
“Baiklah, tapi bukan karena kau yang meminta. Melainkan karena sebentuk rasa tak bernama di dada ini.”
“Terimakasih karena kita sama-sama jujur pada diri sendiri”
“Sekarang aku semakin paham tentang rasa sakit yang kau tanyakan. Aku paham bahwa untuk menemukanmu, aku memang wajib sakit dan tertatih terlebih dahulu dalam belantara hidup. Agar syukurku tak pernah punah saat bersamamu. Tak ada rasa sakit yang benar-benar sakit jika ganjaran dari semua itu adalah kamu, wahai perempuan bulan.”
“Terimakasih Lelaki pencinta senja. Kau sudah banyak mengajariku berbagai hal. Termasuk memaknai perasaan.”
“Apa yang harus kulakukan selama menunggu purnama ketiga?” tanyaku.
“Kita melangkah sewajarnya. Biarkan mengalir seperti biasanya. Tak perlu ada orang lain yang mengetahui hal ini”
“Kenapa?”
“Karena cinta milik hati. Bukan milik dunia.”
Aku tersenyum mendengar jawabanmu perempuanku. Sebab cinta memang milik hati. Dan hanya hati yang berhak memahaminya. Bukan orang lain. Lalu perlahan rinduku abadi di reranting hatimu.
***
sumenep, menjelang lelap, 8 November 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar