gambarnya dari google ^_^ |
Saat kutulis surat ini Fa,,, senja kian menua.
Beberapa pasang kelelawar mulai berebut pulang. Kesiur angin semakin kencang, mengantarkan
serbuk-serbuk gerimis yang datang menyapa. Dingin bulan Desember melilit sepi. Lindap
di hati.
Di sini, aku mulai ditikam letih Fa...
Bukan hanya karena sesaknya pekerjaaan yang datang tumpang tindih. Bukan. Tapi
lantaran aku tak jua menemukanmu di antara reremang petang.
Engkau kemana Fa?
Beberapa pucuk daun mulai basah.
menitikkan air hujan yang bening, riang diterpa angin. Lampu-lampu mulai
menyala. Genangan air memendarkan cahaya. Berkeredap seperti kunang-kunang.
Tapi aku tetap tak menemukanmu Fa… aku menjelma gerimis yang luruh menuai pilu.
Kau ingat, sumpah pertama yang aku ucap
saat meminang hatimu yang penuh rindu Fa?
“Demi Allah yang telah menciptakan gerimis
dan senja, aku tak akan pernah menukar rasa cinta yang telah bermuara di hatimu
dengan apapun. Meski cinta tak selalu bertutur tentang senyum, tapi bagiku, air
mata, akan jauh lebih indah jika tetap bersamamu.”
Dan engkau tersenyum saat itu Fa...
Lesap dalam keharuan yang membuncah. Dua bulir bening tiba-tiba mengalir di
sepasang pipimu yang marun. Engkau terisak sambil menitipkan harapan agar aku
menjagamu. Tentu tak kuasa kutahan haru Fa... hingga gerimis itupun merintik di
hati. kita larut dalam kebahagiaan yang basah.
Sungguh, kenangan itulah yang
senantiasa menjadi lentera dalam lelap dan jagaku Fa... Mengitari langkah sigap
dan tatihku. Menjadi suar perjalanan dalam mencarimu.
Dimanakah engkau kini Fa?
Dari terik hingga redupnya Matahari, bagiku,
Engkaulah hening yang menjalari hari-hari. Menujumu adalah perjalanan sunyi. Seperti
puisi yang bernyanyi.
Fa,,, aku rindu.