Saya yang mengalah,,,


+ Apa yang kau tahu tentangku,,,?
-   Seseorang yang baik hati, lembut, penyayang, perhatian dan sedikit slengean. (Saya tersenyum)
+ Lalu,,,?
-    Selebihnya kau akan sama dengan yang lain. Bakal menyakitiku.
+ Menyakiti hatimu? (Tanya saya memastikan sembari mengernyitkan dahi)
-    Tidak. Kau mungkin tidak akan menyakiti hatiku. Tapi kau akan menyakiti fisikku.
+ Aku tak mengerti.
-    Apa kau akan menikahiku?
+ Iya.
-    Berarti kau akan menyakitiku.
+ Kenapa kau bilang seperti itu?
-    Setiap lelaki yang menikahi perempuan akan menyakitinya.
+ Lalu? (Saya tidak mau mendebatnya)
-    Aku takut untuk menikah.
+ Meski denganku?
-    Ya.
+ Untuk alasan yang tadi?
-    Ya.
+ Kenapa?
-    Karena aku takut dengan rasa sakit.
+ (beberapa saat lamanya saya terdiam) Baiklah. Setiap orang memang punya pilihan dalam hidup. dan aku menghormati pilihanmu. Tidak apa-apa. Insya Allah aku ikhlas.
-   Maafkan aku.
+ Tidak apa-apa. Semoga kau sukses dalam hidup.
-    Terimakasih. Semoga kau senantiasa berlimpah kebahagiaan.
+ Amin ya Allah.

Saya berlalu. Berusaha tersenyum, seperti setiap kali saya menemukan peristiwa yang menyedihkan. Tersenyum bagi saya adalah jalan terindah untuk melangkah setelah airmata.
apakah saya mirip monster yang siap mencabiknya? entahlah,,, Ada yang tidak biasa dari jawaban yang saya temukan darinya. Tapi saya tidak berusaha untuk mengoreknya lebih jauh. Biarlah itu tetap menjadi alasan yang klise. Barangkali,,, itu hanya bentuk citraan dari alasan lain yang lebih besar di hatinya.

Rasa sakit?
Ya. Tentang rasa sakit. Sedikit tidak paham dengan rasa sakit yang ia maksudkan. Saya tahu, bahwa berumah tangga itu tidak selamanya akan melulu tersenyum. Sesekali memang harus merasakan “sakit”. Tapi barangkali, sakit yang saya maksudkan tidaklah sama dengan sakit yang ia maksudkan. Mungkin sudut pandang kami berbeda. Terkadang, ada beberapa jenis rasa sakit yang memang selayaknya menjadi sebuah keharusan, jika itu demi kebaikan. Dan kita memang harus tega “menyakitinya”.

Misalnya saja para orang tua. mereka memang harus tega melihat anaknya demam dan menangis kesakitan karena imunisasi. Tapi tentu semua itu dilakukan karena tujuannya adalah kebaikan. Yaitu kekebalan tubuh sang anak terhadap serangan beberapa virus penyakit. Biarlah sang anak menangis dulu karena sakit akibat diimunisasi, asalkan setelahnya bisa bermain dengan sehat dan ceria. Di lain kejab, orang tua juga harus tega melihat anaknya menangis saat dikhitan (bagi anak laki-laki). Selain memang mengikuti ajaran agama islam, itu juga demi kesehatan sang anak kelak.

Jika yang dimaksud adalah rasa sakit yang seperti ini, tentu saya termasuk orang-orang yang menyetujuinya.

Tetapi jika menyakiti secara fisik yang dimaksud adalah memukulnya, menempelengnya, menjambak rambutnya, atau bahkan menyiksanya seperti yang sering saya dengar di televisi-televisi, Na’udzubillah,,, semoga saya dijauhkan dari sifat-sifat tercela seperti itu. Memuliakan seorang istri tentu dengan jalan tidak menyakitinya barang sedikitpun. Apalagi sampai menyiksanya. Tidak. Itu bukan saya.

Ya Allah,,,
Saya menduga bukan ketakutan terhadap rasa sakit akibat penyiksaan yang ia kawatirkan. Mungkin ada hal lain. Entah apa. Tentu tidak bijak jika saya tetap ngotot padanya. Jadi saya memilih untuk mengiyakannya. Sekali lagi karena saya tidak suka perseteruan. Apalagi memaksakan kehendak. Biarlah, saya yang mengalah asalkan dia bisa tenang dan tidak merasa takut akan disakiti. Saya yang akan belajar kembali pada rasa sedih. Kepedihan terindah yang pernah saya alami.
*****

*Tulisan ini saya ambil dari catatan seorang sahabat yang enggan disebut namanya. Semoga dia bersabar. Amin…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar