*Hari
pertama saya mendatangi teman-teman dengan sebuah pertanyaan “menurut kamu
ikhlas itu apa?”
“Intinya
Ikhlas itu tidak mudah loh,,,” (wajahnya serius)
“Ikhlas
itu,,,, emmm,,,, ikhlas itu,,,, apa ya?” (keningnya berkerut tanda mikir)
“Ikhlas
itu merelakan… ya,, merelakan” (menjawab sambil tersenyum) ikhlas banget ngejawabnya.
Next:
*Hari
kedua dengan teman yang berbeda tapi pertanyaannya sama.
“Ikhlas itu menerima apa adanya….” (sambil
mengangguk-angguk)
“Tidak
menuntut…. Itulah ikhlas” (telunjuknya diarahkan ke hati saya)
“Ikhlas
itu,,, ridha terhadap takdir Allah…” (kedua tangannya diangkat dengan sikap
berdoa)
next
*Hari
ketiga dengan pertanyaan yang sama. Tapi dengan teman yang berbeda
“Ikhlas
secara bahasa bermakna bersih dari kotoran. Membersihkan diri dari kotoran”
(gayanya mirip Ustadz Jefri)
“Hanya
berharap ridha Allah saja dalam beramal, yaa. Tidak menyekutukan-NYA dengan
yang lain, itulah ikhlas. Betul tidak,, ya’” (yang ini mirip A’a Gym)
“Ikhlas,,,
ya ikhlas,,, itu saja…” (sedikit tersenyum)
Itu
komentar beberapa teman saya saat ditanya tentang ikhlas. Lalu saya banyak belajar
dari mereka. Meski barangkali jawaban mereka beragam. Tapi saya yakin maksudnya
sama. Saya pulang dengan rasa puas. Dalam perjalanan pulang, saya teringat
salah satu film yang mengajarkan tentang keikhlasan juga. “Kiamat sudah dekat”
Film
ini menceritakan tentang suatu kisah yang berawal dari musibah yang tak sengaja
menimpa Fandy (Andre Taulany),
terkena timpukan es krim seorang bocah yang sedang ngambek, dan hilangnya
sepatu lars yang dicuri saat ia sedang membersihkan diri di sebuah musholla oleh Saprol (Muhammad Dwiky Riza), seorang bocah penggila musik rock.
Fandy,
seorang rocker kelahiran Amerika, akhirnya
dipertemukan dan jatuh cinta dengan Sarah (Ayu Pratiwi),
seorang gadis cantik dan berjilbab, putri Haji Romli (Deddy Mizwar).
Namun
sayang Sarah telah dijodohkan dengan Farid, seorang pemuda yang masih kuliah di Kairo. Dan tidak mungkin H. Romli rela
menikahkan anaknya dengan pemuda berandalan yang buta agama, bahkan ketika
ditanya soal khitan, Fandy tidak tahu apakah dia sudah
dikhitan atau belum. ^_^ Namun kenekatan Fandy membuat H. Romli memberinya kesempatan
dengan beberapa syarat:
1.
harus bisa Sholat,
2.
bisa Mengaji, dan
3.
menguasai ilmu ikhlas
semua syarat itu harus dipenuhi dalam tempo
dua minggu.
Untuk
lulus dari persyaratan tersebut, akhirnya Fandy meminta bantuan Saprol untuk
mengajarinya salat dan mengaji. Hal ini yang membuat heran teman dan keluarga
Fandy, apa yang terjadi dengan anak ini, dan dengan bahasa diplomatis dia
menjawab "Kiamat sudah dekat, Men!”
Betapa
mengharukannya perjuangan seorang fandi yang rela bersusah payah belajar sholat
dan ngaji hanya untuk mendapatkan sarah. Berhari-hari ia lakoni itu. Tepat di
hari yang sudah ditentukan, Fandi datang ke masjid. Ia dengan tersenyum berucap
salam pada H. Romli, Farid, yang ditemani ayahnya. Ketika tiba saatnya Ayah
Sarah akan menentukan pilihan, Fandi meminta ijin untuk bicara. Ia berbicara
dengan kalimat-kalimat yang indah. Menyiratkan keikhlasan yang sesungguhnya. Ia
merelakan sarah menikah dengan orang lain. Perjuangan yang sudah ia lakukan
selama ini tidak kemudian menjadikannya arogan memaksakan kehendak. Ia akhirnya
sadar, dan merasa senang sudah bisa mengenal islam dengan baik karena menganal
sarah. Ia mengikhlaskan sarah karena Allah.
Semua
yang mendengarkan tercengang. Terlebih H.Romli. ia tertegun. Kemudian Fandi
berbalik hendak meninggalkan tempat itu. Tetapi langkah kakinya terhenti saat
dengan tiba-tiba H. Romli menentukan pilihan padanya. Ia terkejut. Setengah tidak
percaya. Padahal sebelumnya Fandi sudah tidak memaksakan kehendaknya lagi. Tapi,,,?
Itulah ikhlas. Merelakan. Menerima setiap kenyataan yang dialami.
Hati
saya gerimis di sepanjang jalan pulang
Saya
juga teringat beberapa teman-teman yang mengikuti event, kompetisi atau lomba-lomba
yang memperebutkan hadiah menggiurkan. Saya yakin, saat jadi peserta,
teman-teman saya itu berharap untuk jadi juara. Tapi ketika pengumuman datang, lalu
gagal menjadi juara, maka berbagai ekspresipun muncul. Pernah saya melihat
teman saya pulang dengan raut wajah sedih. Ada yang menggerutu lalu menganggap
juri tidak objektif. (memang, tidak semua
juri bisa objektif. Terkadang objektifitasnya harus kalah dengan kepentingan).
Ada juga teman saya yang mencak-mencak dan menuntut dewan juri menjelaskan
kenapa namanya tidak jadi juara. Tetapi ada juga yang tersenyum. Sangat menyadari
tentang kemampuannya. Lalu dalam hatinya timbul kesadaran, bahwa ia harus
belajar lebih giat lagi. Berlatih lebih intens lagi agar suatu saat juga bisa
juara. Mereka mengambil pelajaran dari kegagalannya. Terlepas karena juri yang
tidak objektif, atau kemampuannya yang perlu ditingkatkan. Intinya mereka
ikhlas. Indah bukan?
Dan
saya masih diperjalanan pulang
Saya
ingat sebuah pengalaman yang saya alami. Misalnya dulu,,,, dulu sekali,,, pernah
saya menulis sebuah catatan tentang saya dan seseorang (ciiee,,,). Saat menulis, saya berupaya semaksimal mungkin agar
tulisan saya bagus. Mempertimbangkan setiap kata dan kalimat yang saya pilih
agar terbaca manis. Agar kalimat-kalimat saya indah. Saya ingin, setidaknya
orang itu tersenyum saat membacanya. Kemudian saya publikasikan di Facebook (waktu itu jika tak salah ingat saya masih punya akun fb).
Sembari
memposting tulisan, saya sms pada seseorang yang saya maksud tadi. Meminta persetujuannya
karena saya juga menyertakan foto kami yang berlatar senja. (kheem,, kheemm,,). Tapi saya sedikit
terkejut karena ia bilang hendak melihatnya terlebih dahulu sebelum di publihs.
Lalu kirim balas sms berlanjut. Intinya saya melihat nada keberatan dari sms-smsnya,
karena mungkin ada alasan yang tidak saya ketahui. Saya sempat terkejut. Sadar bahwa
saya sudah melakukan kesalahan. Tidak meminta persetujuannya terlebih dahulu
sebelum mempublish catatan + foto itu.
Lalu
apakah saya harus marah, kecewa, dan mencak-mencak? Tidak,,, saya justru bersyukur
karena bisa menyadari sebuah kesalahan. Saya merasa beruntung bisa belajar dari
kesalahan itu agar tidak mengulanginya lagi. Kemudian saya tersenyum sambil
menghapus tulisan yang sudah saya posting. Sekaligus saya juga menghapus file catatan
itu dari komputer.
“Apa tak sayang
jika dibuang?” bisik hati saya.
Saya
tersenyum mendapati pertanyaan dari hati. Saya bisikkan padanya, bahwa saya
lebih sayang dengan hubungan saya dengan orang-orang di sekeliling saya, dari
pada sebuah tulisan yang belum tentu juga mendatangkan kebermanfaatan bagi saya,
apalagi bagi orang lain.
Apakah
ini juga bagian dari ikhlas?
Entahlah,,,
yang jelas saya damai setelahnya.
Ah,,,
ternyata saya sudah sampai dirumah. Perjalanan yang indah. Insya allah
perjalanan yang penuh keikhlasan. Amin… ^_^
Alhamdulillah yah,,,, |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar