Email itu dikirim oleh sahabat maya saya; Asih… konon
nama lengkapnya adalah Mulasih Tary. Seorang mahasiswi perguruan tinggi swasta
di Purwokerto, Jawa Tengah. Saat ini, Asih tercatat sebagai mahasiswi jurusan
Bahasa dan Sastra Indonesia semester lima di Universitas Muhammadiyah
Purwokerto. Usianya yang masih 21 tahun, tidak menghalanginya untuk mencatatkan
diri sebagai salah satu penulis muda berbakat di dunia kepenulisan sastra
Indonesia. Karya-karyanya berupa Puisi, Esay, dan Cerpen sudah banyak berserakan
di berbagai media, baik lokal maupun nasional. Beberapa bukunya juga sudah
terbit. Salah satunya adalah Tujuh Kebaikan Dido Lebah di Negeri Kesedihan
(Pustaka Anak: 2011). Tepat di tahun baru 2012, Ia juga tercatat sebagai
pemenang pertama LKTI se UMP.
Sungguh luar biasa…
Gadis penyuka warna biru itu memulai karir menulisnya
sejak di bangku SMA. Ia termasuk penulis perempuan yang multi talent. Jika sebagian
besar penulis “hanya” fokus pada satu jenis tulisan, maka Asih mencoba
melakukan “pemberontakan”. Ranah Fiksi yang ia geluti, ternyata tidak mematikan
bakatnya untuk menulis Karya ilmiah. Ia berhasil merengkuh keduanya.
Salah satu tulisannya yang membuat saya terperangah
adalah “surat ke-2 untuk pangeranku” yang dipublikasikan di Facebook. Meski
saya termasuk orang yang norak lantaran menutup akun Facebook, tapi nasib baik
masih berpihak pada saya. Asih mengirimkan tulisannya itu ke email saya.
Kali pertama membacanya, saya tertegun. Bahasanya yang
mendayu, berhasil membawa saya pada dimensi yang berbeda. Dimensi ritmis
sekaligus melodis dalam kata. Saya terbuai dengan kalimat-kalimat puitis yang
digunakannya. Tulisan itu dibuka dengan pengakuan yang indah;
/saat dilanda rindu
padamu//
Di tangan seorang Asih, rindu telah menjadi energi lembut
yang indah, tetapi juga mengandung kekuatan yang maha dahsyat untuk menerabas
sekat pemisah. Rindu telah menjadi inspirasi baginya untuk menulis. Untuk
mengabarkan segala apa yang ia rasakan. Saat menulis, Asih seolah menjelma
Juliet yang dirasuk rindu pada Romeo. Ia juga merekat pada rasa rindu yang dialami
Layla pada Qois. Ia seperti Shinta yang dilanda rindu bertalu-talu pada Rama
saat Rahwana memisahkannya. Dan rasa rindu seperti itulah yang kemudian
melahirkan kekuatan bagi Asih untuk menuliskan “surat ke-2 untuk pengeranku”.
Secara sederhana, rasa rindu kerap diartikan sebagai
sebuah keinginan yang sangat untuk bertemu,—jika meminjam bahasanya syahrini—sangat
ingin melihat “sesuatu” yang dirindukan. Entah pada orang tua, kampung halaman,
masa lalu, atau bahkan seseorang yang sempat atau masih menjadi “milik” kita.
Seseorang tidak akan merasakan rindu jika dia tidak pernah merasa memiliki
“sesuatu” yang dirindukan itu.
/Pangeranku/
setelah aku membaca rindu yang kau kirimkan untukku/ Rasanya lelah dan penat
menghilang begitu saja//
Ah,
Tuhan memang terlalu baik/ telah mengirimkanmu untukku/ yang selalu menemaniku
di setiap hembusan hangat nafasku//
Asih melakukan akrobatik kata. ia meliuk diantara dua dunia.
Dunia nyata dan dunia dongeng. Dalam pemahaman umum, seorang pangeran hanya berada
di masa lalu, atau berada di dunia dongeng. Pangeran adalah putra dari seorang
raja, atau sosok pemuda baik hati dan memiliki garis ketampanan yang nyaris
seperti Nabi Yusuf. Sedangkan dalam perkembangan terkini, karena Indonesia
sudah tidak menggunakan sistem kerajaan sebagai pemerintahannya, maka tidak
pernah ada lagi seseorang yang disebut pangeran. Bahkan putra dari presidenpun
tidak pernah dipanggil pangeran.
Tapi justru disinilah keistimewaan seorang Asih. Ia menyeret
kesadaran pembaca untuk terjungkal ke masa lalu. Masa dimana nuansa kerajaan
sangat kental melingkupi berbagai peristiwa. Kita pun hanyut dalam imajinasi
seorang pangeran. Pemuda yang nyaris sempurna, melebihi kharisma seorang putra
presiden. Sosok yang tentu saja baik hati, tampan dan memiliki keistimewaan
tersendiri itu, niscaya akan sanggup meletupkan rindu di hati kaum perempuan.
Secara tidak langsung, Asih juga mengabarkan pada kita,
bahwa bagi para perindu, sesuatu yang sebelumnya tampak tidak mungkin, akan
menjadi sebuah kemungkinan. Ia menuliskannya dengan kalimat yang indah:
/… aku membaca rindu
yang kau kirimkan padaku//.
Bagaimana mungkin?
Mungkin saja,,, karena itu merupakan bahasa hati. Apa yang
tidak mungkin bagi sebongkah hati yang dilanda rindu? Membaca rindu, tentu
tidak sama dengan membaca huruf-huruf dalam sajak. Membaca rindu adalah membaca
getar-getar yang merambat di hati. Hal inilah yang juga digambarkan oleh Budi Darma
dalam Novelnya, Olenka. Ia menyebutnya afinitas. Seseorang yang sudah
terperangkap dalam dasar rindu yang mendalam, akan bisa mendeteksi kerinduan
yang dialami juga oleh pasangannya. Bahkan, orang yang dirindukan itu seolah
selalu berkelebat di depan mata sang Perindu. Tentu saja tersebab hati mereka
yang sudah menyatu dalam dasar rindu.
Begitu dahsyatnya kerinduan yang ditulis oleh Asih itu,
hingga saya membayangkan, sosok pangeran itu mirip Jalaludin Rumi, sufi penyair
yang juga seangkatan dengan Nizam al-Mulk, Umar Kayyam, Al-Ghazali, Nizami,
Samarqandi dan beberapa deret sastrawan lainnya. Saya memilihnya karena menurut
seorang sarjana Persia, Rumi adalah seorang laki-laki yang sinar matanya tajam,
seolah-olah mampu menghipnotis orang-orang yang memandangnya. Sufi penyair ini
juga tidak pernah menyakiti orang lain. Ia sangat menjaga sikap dan tutur
katanya agar tetap santun. Rumi juga sangat memuliakan kaum perempuan.
Sampai-sampai ia mengatakan bahwa perempuan adalah bayang-bayang Tuhan di dunia
ini. Sifatnya senantiasa menapaktilasi pemuliaan yang dilakukan oleh Kanjeng
Rasul terhadap kaum hawa. Maka dalam persepsi saya, pangeran yang dimaksud
Asih, sesungguhnyalah sosok yang juga sangat memuliakan perempuan. Tentu ia
memiliki sifat yang lembut, perhatian, rendah hati,dan bertutur kata manis, sehingga ia mampu
menumbuhkan cinta di hati penyair dari pemalang ini.
Semakin jauh saya menelusuri “surat ke-2 untuk pangeranku”,
semakin jauh saya tersesat dalam pemahaman cinta yang kadung mendarah dalam
diri saya. Awalnya, saya menduga cinta yang tersembul dalam hati sahabat maya
saya itu adalah cinta yang melulu melahirkan senyum. Selalu berbias keceriaan
dan senantiasa bersepuh tawa. Tapi lagi-lagi saya keliru, sebab dalam salah
satu kalimat puitisnya ia menjawab
/Ini adalah cinta/
Cinta yang lahir dari kelopak rindu/ Rindu yang katamu sering membuatmu pilu/
dan rindu yang seringkali membuat hatimu gerimis.//
Aiihh,,, kontan perasaan saya terobok-obok. Bergemuruh tanpa
sebab. Begitu kontras. Rindu dan pilu. Rindu yang membuat hati gerimis itu
membongkar prasangka saya sebelumnya. jelas ada bayang kesedihan dalam
larik-larik itu. Ada airmata. Tapi kenapa harus bersedih? Ingatan saya melesat
pada salah satu kalimat yang pernah Yetti A.K tulis;
/bukankah puncak dari cinta itu adalah drama kesedihan?/
/tanpa itu semua/
/kisah cinta bahkan tak terasa
indah//
Benar! Beberapa kali saya harus menarik nafas dalam-dalam, kemudian
menghembuskannya perlahan sambil memahfumi kalimat-kalimat puitis itu.
Cinta dan rindu memanglah dua letupan rasa yang selalu bersanding
dalam hati. Keduanya hadir tidak dapat dipisahkan. Tidak mungkin cinta bertahta
tanpa rindu yang melingkupinya. Begitu juga sebaliknya. Lalu, saat kedua rasa
itu bersulaman dengan renik kehidupan yang seringkali keruh dan ringkih. Maka
airmatalah jawabannya. Ia akan hadir membasuh semuanya. Keindahan cinta akan
terasa lebih elok saat bulirannya menyapa kita. Melahirkan gerimis dalam hati.
Keindahan cinta juga bersumber dari keseimbangan rasa yang
utuh dan menyatu. Jika diibaratkan sebuah lagu, tentu tak akan indah jika hanya
terdiri dari satu nada. Seandainya itu sebuah lukisan, tentu tak akan ditemukan
keindahan dari satu warna saja. siang senantiasa membutuhkan malam untuk
menjadi indah. Dan cinta juga butuh airmata untuk menuai senyum. Itulah
harmoni. itulah rindu. itulah cinta. Dan itulah Asih.
Bagi Asih, cinta lahir dari dan untuk sederet pertanyaan.
/Cinta kita memang banyak di penuhi pertanyaan/ Pangeranku//
……. apakah
aku bisa memilikimu atau aku akan kehilanganmu/ Pertanyaan tentangku juga
tentangmu/ tentang anak-anak kita kelak/ Tentang hidupku/ bahkan tentang
kematianku//
Dari pertanyaan-pertanyaan itulah, Asih mengajak kita untuk
memahami cinta secara utuh. Cinta yang sebenarnya. Cinta yang tidak berdasar
pada keegoisan semata. Cinta tak hanya persoalan diri sendiri. Tapi juga
tentang orang lain, tentang keluarga, tentang anak-anak. Tentang kehidupan
bahkan tentang kematian. Begitu luasnya samudera cinta yang coba didengungkan Asih.
Wajar, karena dari Awal Asih sudah berbisik: Ah, Tuhan memang terlalu baik/. Ada sandaran kuat yang membangun
cintanya. Kesadarannya terhadap cinta merupakan kesadaran terhadap Sang Maha
Kekasih, Allah Robbul Izzaty.
Sebagai Dara kelahiran pemalang, tentu Asih juga mewarisi
semangat religius yang lama tertanam di kota itu. IKHLAS. Dengan bekal inilah,
Asih—insya allah—melakukan segala sesuatu dengan tulus hati,
dengan hati bersih tanpa pamrih dan selalu percaya kepada kebesaran dan kemurahan
Allah serta berserah diri kepada-Nya, termasuk dalam mencintai. Itulah
sebabnya, saat menulis “surat ke-2 untuk pangeranku”, Asih tidak terjebak dalam
cinta semu. Cinta dan kerinduannya tidak hanya sekedar berbicara tentang “kau
dan aku”. Tapi ada ENGKAU, Sang Maha Rindu. Ada mereka juga. Inilah harmoni
dalam cinta yang ditulis Asih.
Jauh sebelumnya, Syekh Nizami juga dengan anggunnya
telah mengajarkan pada kita tentang cinta yang penuh harmoni. Cinta yang tidak
terjebak dalam nafsu belaka. Melalui tokohnya, Qois yang fenomenal, ia
mendeskripsikan kisah cinta yang sangat indahnya. Saat Qois terbalut rasa
cinta, ia tampil sebagai sosok yang sangat mencintai lingkungan hidup. Qois
berani membentak penebang pohon dan pemburu binatang. Karena cinta jugalah, ia
selalu berada di garda terdepan untuk membela hak-hak orang yang lemah, meski
orang-orang itu adalah musuhnya sendiri yaitu keluarga Layla. Duuh,,, cinta
yang tak selalu menuntut senyum bukan?
/Karena
yang aku tahu Tuhan telah menyiapkan sepasang sayap untukku/ Pangeran//
Tulis Asih di paragraph-paragraf akhir surat itu. Perasaan
saya juga ikut gerimis. sepasang sayap yang dimaksud asih adalah jalan indah
untuk menghadap sang Kuasa. Dalam dunia dongeng, seseorang yang meninggal,
ruhnya akan terbang ke angkasa untuk menumui Sang Pencipta. Metafor sepasang
sayap yang digunakan Asih, semata juga untuk mengingatkan, bahwa tidak akan ada
yang abadi di dunia ini. Seorang pecinta dan perindu sekalipun, semua akan
kembali pada Sang Pencipta. Allah
Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman dalam Al-Quran, Surat Ali Imran, ayat ke
185, yang artinya kurang lebih: "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan
mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu.
Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh
ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang
memperdayakan". Kemudian dalam surat yang lain: "Sesungguhnya engkau
( Muhammad ) akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula)" (Az
Zumar:30).
Maka jelaslah,,, sepasang sayap yang dikatakan Asih,
sesungguhnya juga telah disiapkan bagi kita semua. Jika Kanjeng Junjungan
Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam, orang yang paling dicintai Allah itu
telah mengalami kematian, apalagi kita, ummatnya yang compang-camping ini?
Tugas kita adalah menyiapkan diri untuk menggunakan sepasang sayap yang entah
kapan bakal dipakaikan pada kita. Tentu saja dengan bekal cinta. Dengan cinta,
kita akan senantiasa tersenyum menghadap Sang Maha cinta. Cinta yang
sebenar-benarnya cinta adalah yang selalu bersandar pada Allah SWT. Itulah
cinta yang akan menyelamatkan. Semoga kita tidak terjebak dalam realitas cinta
yang semu. Cinta yang menipu. Cinta yang hanya sekedar nafsu. Karena pada
hakekatnya, itu bukan cinta. Itu hanyalah nafsu yang berbulu cinta.
Jawaban indah tentang cinta juga pernah ditulis Misbah Em
Majidy. Sastrawan negeri jiran itu memulai dengan pertanyaan: Jika ada orang yang membunuh menggunakan
pisau, maka adakah pembuat pisau itu salah dan perlu dihukum? Tidak sama
sekali. Pembuat pisau tidak melakukan kesalahan apapun. Ia hanya membuat pisau.
Cinta ibarat pisau , jika pisau
tersebut digunakan untuk tujuan yang baik seperti memotong buah, memotong
daging,ia akan memberi kebaikan kepada pemilik pisau tersebut. Tetapi jika
pisau tersebut digunakan untuk membunuh dan mencederakan orang, maka pisau
tersebut akan memberikan keburukan kepada pemilik pisau tersebut. Hanya saja,
yang perlu dipahami adalah, siapapun yang melakukan tindakan buruk dengan
mengatas namakan cinta, itu berarti ia masih belum memahami cinta yang
sebenarnya. Ia hanya terjebak dengan nafsunya sendiri.
Sholeh UG, dalam semua kesempatan pernah berkata, bahwa
cinta adalah lakon spiritual, maka ia tidak pernah melihat materi, rupa, wajah,
harta, pakaian, kekuasaan, dan kasta. Cinta akan membuat semuanya indah di
hadapan Tuhan. Bukan di hadapan manusia. Cinta adalah jalan terindah untuk
mendapatkan cintaNYA. Cinta adalah media untuk bersatu denganNYA. Cinta pada
kekasih bisa menjadi jalan untuk mencintai Tuhan. Karena itu, makna cinta harus
dibebaskan. Cinta tidak bisa diukur dengan logika, dengan angka-angka, juga
dengan bilangan pembagi, karena cinta itu spiritual, bukan material.
Penulis jebolan Cairo, Habiburrahman El-Shirazy, telah
mengajarkan pada kita bagaimana menjadi pecinta yang baik dalam Ayat-ayat
Cinta. Semestinya, kita juga meneladani lakon indah, kisah cinta Abdurrahman
al-Qos yang merasa lebih dekat dengan Tuhan setelah mencintai Salamah (lihat
Novel Salamah). Sungguh, betapa banyak juga kisah cinta dalam Al-Quran yang
menuntun kita untuk menjadi pecinta yang sebenarnya. Cinta yang dimiliki Siti
Maryam terhadap Isa. Kisah cinta Nabi Yusuf. Dan yang paling mengagumkan adalah
kisah cinta Sang Baginda Rasul. Subhanallah,,, kesemuanya itu adalah tuntunan
bagi kita untuk lebur dalam cinta yang sejati.
Mari kita asah cinta yang bersemi dalam setiap hati dengan
satu harapan, bahwa hanya cinta yang akan membawa kita lelap dalam buaian
cintaNYA. Jangan takut untuk mencintai seseorang. Jadikan rasa cinta itu
sebagai bagian dari ibadah yang akan menjadi sayap kelak, saat kembali
menghadapNYA.
Berbahagialah, karena kita masih diberikan anugerah oleh
Allah untuk mencintai. Jadikan pribadi kita semakin anggun. Pantaskan setiap
sikap dan tutur kata kita untuk dicintai oleh pribadi lain yang dikirim Tuhan
untuk mendampingi kita. Seperti halnya kita, Asih juga telah mencangkingkan
harapannya di langit cinta. Ia berujar
/Harapanku/
Tuhan tidak segera memakaikan sayap itu di punggungku/ karena aku masih ingin
menemanimu//
/Aku
masih ingin memiliki sepuluh anak darimu/ dan aku masih ingin menuliskan
tentang rinduku untukmu//
Berbahagialah sang Pangeran itu. Berbahagialah Asih.
Berbahagialah kita semua karena mampu mengenali cinta dan rindu yang
sebenarnya. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang beruntung bisa
mencintai dan merindukan seseorang dalam koridor cintaNYA.
Wallahu
a’lam bish_shawab…
Sumenep, 21-02-2012