Saya, Pak Amir dan Gus Lim,,,



Mungkin bagi orang lain, kisah yang saya tulis kali ini adalah kisah sederhana. Tapi tidak bagi saya. Ini adalah pelajaran luar biasa yang membuat saya tersungkur dalam keharuan. Ini tentang kebaikan seseorang. Namanya Pak Amir. Saya mengenalnya sebagai agen salah satu penerbit LKS dan buku-buku pelajaran. Entah siapa nama lengkapnya, saya sudah lupa. Saya mengenal Pak Amir ketika dulu, MTs Raudhatut Thalibin—tempat saya mengabdi—membeli buku dari beliau.
Beberapa kali ke kantor Madrasah, kebetulan saya yang menemui Pak Amir di ruang tamu sebelum menghadap kepala Madrasah. Hanya saja, tidak pernah lama. Selesai pembayaran buku, maka selesai sudah urusan dengan Pak Amir. Kami kembali dengan aktifitas masing-masing. Pak Amir sebagai agen penerbit, saya sebagai santri yang mengabdikan diri di Pondok Pesantren. Setelah itu, saya beberapa kali bertemu dengan Pak Amir di momen yang berbeda. Pernah di masjid selepas sholat jumat. Pernah di kandepag Sumenep (sekarang sudah jadi Kantor Kementerian Agama). Beberapa kali salipan di jalan. Kadang juga di tempat Fotocopy.
Meski tidak pernah sekalipun mengobrol lama (selain dulu ketika di kantor Madrasah), tapi Pak Amir tetaplah seperti yang saya kenal pertama kali. selalu murah senyum, santun, dan bersahaja. Saya sebenarnya kurang yakin, beliau ingat nama saya. Karena kami memang sudah lama tidak pernah mengobrol lagi.
Hingga suatu hari, saat saya hendak makan siang, saya kembali bertemu dengan Pak Amir di sebuah warung makan dekat terminal lama. Beliau baru saja menyelesaikan makan siangnya. Seperti biasa, Pak Amir tersenyum ramah saat saya menyapanya.
Saya langsung memesan makanan (termasuk juga minuman). Setelah memilih beberapa lauk dan sayur, saya menuju meja tempat pak Amir berada. Setelah duduk, saya sempatkan mengobrol beberapa saat, lalu saya makan dengan lahap. Sedari pagi ngentri data ternyata cukup menguras energi. Belum habis separuh makanan di piring, Pak Amir sudah menuju kasir. Sedangkan saya tetap khusuk dengan makanan di piring.
“Duluan ya Mas,,,” ucap Pak Amir setelah dari kasir.
“Oh,,, mari Pak,” saya menjawab seperti biasa. Tersenyum dan kembali khusuk dengan makanan yang belum habis. Jika tidak salah ingat, menu makanan saya saat itu, nasi putih, cumi-cumi, kerang, tempe bumbu, dan sayur. Segelas Jeruk Hangat juga menjadi pelengkap makan siang. ^_^
Memang, dalam kondisi perut mulai lapar, makan itu terasa sangat nikmat. Beda sekali dengan kondisi kenyang. “Apapun makanannya” rasanya kita tidak akan berselera untuk menyantapnya. Jadi betul sekali anjuran “makan hanya pada saat lapar” untuk senantiasa diikuti. Selain untuk kesehatan, juga untuk mencegah dari pemborosan. (kalau meminjam istilahnya Vicky, biar tidak terjadi kudeta labil ekonomi yang memepertakut dan mempersuram statusisasi hati. Eh,,,).
Selesai makan, saya tidak langsung beranjak pulang. Istirahat sebentar. Membiarkan lambung bekerja sebagaimana mestinya. Saya duduk santai sambil menikmati minuman Jeruk Hangat yang tersisa di gelas. Mengusap keringat di kening, lalu mengambil Handphone di saku. Barangkali ada sms dari teman yang belum dibalas. Ternyata tidak ada.
Setelah istirahat dirasa cukup, saya meraih Tas Ransel. Bergegas menuju kasir.
“Berapa Bu?” tanya saya seperti biasa.
“Sudah dibayar Mas.”
“Lho, dibayar siapa Bu?” saya terkejut.
“Tadi namanya Pak Amir yang bayar.” Saya terdiam. Beberapa saat lamanya tidak bicara. Haru tiba-tiba menyeruak dalam dada. Subhanallah,,,
Saya berlalu dari hadapan Ibu kasir setelah sebelumnya pamit dan berterimakasih. Perasaan saya teraduk. Pak Amir. Orang yang sebenarnya tidak begitu akrab dengan saya. Orang yang sebelumnya saya duga sudah lupa dengan nama saya, berhasil membuat saya bungkam dan terhenyak. Beliau memberikan pelajaran yang sangat berarti. Bukan semata harga sepiring nasi dan segelas minuman jeruk hangat yang membuat saya terharu. Bukan hanya itu. Tapi ketulusan, keikhlasan, sifat dermawan dan pedulinya yang membuat saya terharu.
Bahwa ada banyak orang yang kenal dan begitu dekat dengan saya, memang iya. Tapi orang yang seperti Pak Amir, tentu saja tidak banyak. Inilah yang membuat saya kagum. Di tengah guyuran badai hedonisme yang meluluhlantakkan banyak orang. Di tengah amuk gelombang individualisme yang menjajah banyak jiwa. Di tengah krisis orang-orang santun dan murah hati, Pak Amir datang sebagai jawabannya. Mengabarkan bahwa masih banyak orang yang dermawan di Bumi ini. bertebaran di segala penjuru. Hanya saja, terkadang kita—terlebih saya—tidak menyadarinya.
Entah kapan dan dimana saya bisa bertemu lagi dengan Pak Amir. Bukan untuk meminta dibayari sepiring nasi dan segelas jeruk hangat. Tapi untuk menyampaikan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya. Atas kebaikan dan nasehatnya yang tidak terucap.
Saya pun teringat Gus Lim, (panggilan lain dari KH. Ahmad Halimy--Kyai saya di pondok.) Suatu ketika, beliau mengisi pengajian kitab di masjid. Di sela-sela pengajian, Kyai yang selalu berpenampilan sederhana itu memberikan wejangan pada saya dan teman-teman santri lainnya. Meski tidak sepenuhnya persis, kurang lebih beliau berkata, “Jadilah generasi baik yang di hatinya selalu merebak aroma keislaman. apapun profesi kalian nanti. Tetaplah istiqomah. jika jadi pembalap, jadilah pembalap yang islami. Jika jadi guru, jadilah guru yang islami, maka kalian akan mengajar dengan baik. jika jadi petani, jadilah petani yang islami, maka kalian akan bercocok tanam dengan baik. jika jadi penulis, jadilah penulis yang islami. Maka kalian akan senantiasa menuliskan hal-hal yang baik. jika jadi orang kaya, jadilah orang kaya yang islami. Maka kalian akan menggunakan kekayaannya di jalan Allah. Banyak bershodaqoh dan beramal baik.” kalimat yang sederhana. Tapi senantiasa indah.
Dari sinilah saya menyadari satu hal. Hanya orang-orang baik yang selalu mendapatkan tempat yang baik di hati banyak orang.

Sumenep, 18 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar