Nay,,,
Bagiku,
melewati setiap lembar hari tanpamu, seperti nyanyian sumbang satu nada; getir.
Bahkan ketika harus melelapkan mata, memancing gemerlap mimpi dari jutaan
rahasia langit, aku selalu tersaruk sepi; pilu.
Maka
jangan tanya kenapa tubuhku mulai agak kurusan. Jangan tanya kenapa rambutku
mulai gondrong. Jangan tanyakan kenapa jambang di daguku mulai panjang dan
tidak terawat. Sebab engkaulah jawabannya.
Aku mulai
tidak biasa melewati hari sendirian. Mulai tidak mampu untuk tersenyum dengan
alasan yang bukan karenamu. Mulai menjadi pelupa. Bahkan aku lupa terakhir kali
menatap wajahmu lekat-lekat. Tanggal berapa, hari apa, pukul berapa, kau
memakai baju apa; aku lupa. Satu-satunya hal yang masih senantiasa kuingat
adalah rindu; tentu saja untukmu. Masa-masa indah bersamamu yang belum
sepenuhnya berlalu.
Nay,,,
Aku bukan
lelaki yang gampang menyerah pada satu keadaan. Tapi tanpamu, aku mulai diserang
ragu. Seperti pernah di suatu ketika; di siang yang terik. Di sela-sela
aktivitasku yang padat. Saat kudapati sebuah kabar getir dari pesan singkat
yang ternyata salah alamat. Waktu itu aku tidak percaya. Tapi sontak aku
tergeragap. Jiwaku seperti terkelupas. Perih. Sulur-sulur harapan yang merambat
dan menancap kuat di hamparan hati, tercerabut seketika. Luka. Tak kutemukan
bahasa yang bisa mengabarkannya saat itu. Bahkan sampai saat ini.
Aku
memilih diam. Sejenak. Menghirup nafas dalam-dalam sembari memejamkan mata. Aku
mencari sisa harapan di hati. Ada namamu menggantung di sana. Terombang ambing
oleh gerimis. luruh dalam rebak bening. Lalu aku mulai ragu dengan tanah
tempatku berpijak.
Kamu… bisikku samar.
Nay,,,
Lihatlah
betapa aku memang tidak bisa tegar lagi seperti saat kau di sini. Seperti saat kita
berlomba memetik sinar purnama di balik arakan awan perak. Kau tertawa
bergelak. Aku tersenyum sambil menyembunyikan bias cahaya yang berhasil kupetik
dari purnama. “Aku yang kalah.” Ucapmu manja. Tapi apa artinya menang dan kalah
saat kebersamaan milik kita berdua? Tidak ada. Bahkan tidak ada menang dan
kalah diantara kita.
Lalu kau
merajuk. Merayuku untuk sebuah sinar yang kupetik dari purnama. Beberapa saat
kubiarkan kau bermanja dan merajuk seperti itu. Aku suka. Sangat suka.
Melihatmu mengerutkan alis. Melihatmu bermanja seperti ingin menangis.
Melihatmu mengerjapkan mata sambil sesekali menghentak-hentakkan kaki. Melihatmu
merengek-rengek sambil mencoba merebut sinar yang kupegang adalah kebahagiaan
yang tak bisa kutukar dengan apapun. Maka lengkaplah arti hidupku saat itu.
Tapi sekarang
kau tak di sini, meski memang untuk sementara waktu. Segeralah rampungkan bilangan
abjadmu; lalu pulanglah. Kita akan menjaring pelangi bersama. Meniti lembaran
hari bersama. Bukan hanya aku, tapi kita... sebab aku tak akan pernah utuh,
tanpamu.
Aku
membutuhkanmu Nay,,, Bukan yang lain.
Sumenep,
26 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar