Sepanjang
perjalanan ini Ay,,, aku berusaha berdamai dengan perasaan sendiri. Tentu kau
sudah mahfum beratnya perjalanan tanpamu. Deretan pohon-pohon yang terlihat
dari samping jendela bus seolah berlarian ke belakang. Menjarah jejak yang
tertinggal. Ini seolah menjadi sketsa masa yang terus meranum. Menjadi tumpuan
lompatan untuk melenting ke masa depan. Menjemput impian.
Sesampai
di Puslatdiksarmil Sidoarjo, aku juga harus berusaha menyesuaikan diri dengan
Iklim meliter Ay… seabrek kegiatan menunggu untuk diselesaikan. Mulai dari
registrasi peserta, mencari Barak tempat tinggal, menyiapkan pakaian untuk
pembukaan, mengatur tempat tidur bertingkat yang tidak bisa dikatakan bagus. Aku
harus membetulkan pintu lemari kecil yang engselnya sudah rusak ini.
Aku memang
tidak seberuntung temanku, Mahelli dan Syarif Al-Hamidi yang mujur bisa menempati
barak bersih dan terawat. Tempat tidurnya relatif masih baru. Lemarinya juga
bagus. Tetapi aku memilih bertahan di Barak ini, Ay,,, sebab aku yakin ini
memang tempat terindah untuk menempa diri. Ada seratus orang lebih dari lima
kabupaten yang beruntung menempati Barak ini. Dan dari mereka, aku yakin bisa
memperolah banyak pelajaran yang berarti.
Banyak
aturan yang tidak sama dengan aturan di rumah Ay,,, di sini, makan tidak lebih
dari 10 menit. Semua dilakukan secara berjamaah. Ada yang memimpin doa di depan
sebelum memulai makan. Bagitu juga setelahnya. Tentu ini adalah bentuk
kedisiplinan yang memang harus diikuti. Disamping itu, jika ingin keluar barak,
maka setiap peserta harus memakai sepatu dan ID Card di leher. Tidur larut
malam dan bangun dini hari.
Ada lagi
Ay,,, tentang nyamuk.
Duh,,,
makhluk mungil yang menggemaskan ini bukan hanya ada. Tapi banyak. Sangat
banyak. Menurut Pak Jumadi—salah satu TNI di sini—nyamuk-nyamuk disini juga
sudah terlatih secara meliter. Terbiasa bergerilya untuk menyerang. Aku
mengakui Ay,,, Kejeliaan nyamuk di sini dalam menggigit atau menghisap darah
tidak diragukan lagi. Aku juga tidak luput dari sasarannya.
Memasuki
dua hari pertama terasa sangat berat Ay,,, mungkin karena belum terbiasa, Tugas-tugas
Individu dan kelompok datang tumpang tindih. Semua harus diselesaikan tanpa ampun.
Ini seperti rinduku yang semakin tak bisa ditawar; padamu Ay…
Kau juga tengah mendekap rindu kan?
Di sini,
ada peserta perempuan yang membawa anak kecil yang tampaknya masih belum genap
berusia 6 bulan. Perempuan itu, ditemani ibunya ke tempat PLPG, untuk membantu
“ngemong” anaknya di luar kelas. Tapi sesekali ia harus pamit keluar dari kelas
untuk mendiamkan anaknya yang tiba-tiba menangis. Bahkan, semalam—menurut
penuturan teman satu kelompoknya—ia masih harus mengerjakan tugas sambil
menggendong anaknya yang rewel. Aku langsung ingat padamu Ay,,, aku tidak bisa
membayangkan jika Engkau dihadapkan dengan kondisi seperti ini. aku tak mungkin
bisa tenang.
Ada
peserta yang sakit Ay,,, namanya Pak Hasan. Saat makan siang bersama, beliau
mengutarakan keinginannya untuk pulang, karena memang kondisinya makin tidak
memungkinkan. Aku dan teman-teman berusaha untuk membujuknya agar tidak pulang.
Kami menyarankan untuk periksa ke ruang klinik khusus peserta diklat.
Ada peserta
lain yang juga tidak betah Ay,,, namanya Pak Norman. Beliau juga mengutarakan
ketidakbetahannya mengikuti PLPG. Ia tidak bisa mengikuti kegiatan dibawah
tekanan. Ini adalah kali kedua setelah tahun lalu dinyatakan tidak lulus. kami kembali
berusaha untuk membujuknya. Menenangkannya. Menguatkannya. Saat seperti inilah
Ay,,, aku melihat kebersamaan yang indah. Saat salah satu dari kami ada yang Down atau dapat ujian, maka yang lain bahu-membahu
untuk menguatkannya. Inilah bukti bahwa ukhuwah yang terbangun demikian
eloknya.
Tapi kesedihan
tak ayal menjarah kami juga Ay... Beberapa peserta harus pulang karena
terkendala administrasi. Menurut kabar teman-teman, berkaitan dengan ijazah
terakhirnya. Ah, entahlah…
Ay,,, aku masih
banyak menyimpan cerita untukmu. Nanti, sepulang dari PLPG, akan aku ceritakan sambil
menikmati senja bersama dari beranda rumah kita…
Puslatdiksarmil-Sidoarjo, 23 Agustus 2014