Galau,,, |
Jika
diberi pilihan, siapapun tentu tidak ingin diduakan. Karena itu sama saja
dengan dinomorduakan. Tidak diutamakan. Tidak diprioritaskan. Dan sungguh,
menempati posisi nomor dua sangatlah kurang menyenangkan. Posisi itu tetaplah
posisi yang kalah jika dibandingkan dengan posisi nomor satu.
Dalam hidup,
banyak orang mendambakan nomor satu. Setiap perlombaan dan pertandingan olah
raga misalnya, semua peserta akan berlomba untuk meraih posisi nomor satu. Karena
nomor satu berarti juara. Berarti paling hebat. Dan itu merupakan prestasi yang
akan menyenangkan. Yang akan membuat bangga. Meski memang dalam kenyataannya
tidak semua berhasil. Sebab dalam setiap pertandingan, pasti hanya ada satu
juara. Dan itulah sang pemenang.
Tapi sebagai
harapan, keinginan untuk menjadi nomor satu memang harus terus ditanamkan dalam
hati. Ini akan menjadi daya lecut yang mumpuni untuk berusaha dan berjuang demi menggapai cita-citanya. Termasuk juga dalam relationship.
Dalam hubungan asmara. Dalam persoalan hati. Dalam hal cinta.
Siapa sih
orangnya yang rela diduakan? Coba tanya pada para perempuan yang sudah
berstatus istri, bagaimana perasaannya jika misalnya diduakan? Jika suami akan
berpoligami? Ah,,, saya yakin rata-rata akan bilang “Gue gak rela”, “Gak sudi”,
atau kalimat-kalimat lain yang bermakna senada.
Tetapi jika
misalnya itu sudah terjadi, bagaimana? Barangkali mereka akan bilang “Mau
gimana lagi, saya harus mengikhlaskannya,,,”, atau “Saya tidak punya pilihan
lain selain menerima semua ini sebagai takdir.” Nah,, lo,,, Jika jawabannya
seperti itu, apakah kemudian kita akan menyimpulkan itu merupakan bentuk keikhlasan?
Atau jangan-jangan, itu sebuah keputusasaan karena memang sudah terjadi seperti
itu.
Tidak
semuanya memang, karena banyak juga yang akan bilang “Lebih baik saya berpisah
dengannya dari pada hidup di duakan”, atau “Enak aja mau ngeduain saya, emang
saya perempuan apaan?”. Nah,,, jika demikian, berarti secara umum, tak ada
manusia yang sangat dengan legowo menerima kenyataan pahit berupa diduakan. Meski
memang tidak dipungkiri, akan ada juga yang menjawab “Saya ikhlas… karena itu
yang akan menjadi salah satu jalan dalam menggapai surgaNYA.” Yups, saya
percaya. Tapi ada berapa orang yang benar-benar seperti itu?
Lalu bagaimana
dengan Laki-laki?
Sama juga.
bahkan lebih tidak akan bisa menerima jika dirinya diduakan.
Menduakan pasangan
berarti juga memiliki pasangan lain. Entah, apakah alasannya terpaksa atau
memang sengaja dipaksakan. Yang jelas, itu akan menyakitkan bagi yang diduakan.
“Tapi aku tidak mencintainya,,, aku hanya mencintaimu” seringkali jawaban itu
yang diucapkan oleh perempuan yang menduakan kekasihnya. Hanya saja, biasanya
jawaban itupun akan diberikan pada pasangan yang satunya. What??? Iya,,, ada yang seperti itu.
Ada juga
yang menjawab, “aku hanya tidak ingin menambah luka hatimu, kau terlalu baik
untukku meski aku telah menyakitimu. Ini kulakukan agar kau bisa membuka
lembaran baru dengan orang lain.” Jawaban itu juga sebenarnya Bulshit banget. Apa dengan jawaban
seperti itu, akan membuat kekasih yang tak dianggapnya itu tidak sakit hati? Justru
dengan seperti itu akan semakin membuatnya sakit. Karena ia akan merasa
dipermainkan.
Semestinya,
bagi siapapun, entah laik-laki atau perempuan, tidak lagi bermain-main dengan
perasaan orang lain. Semakin mempermainkan perasaan orang lain, maka
sesungguhnya akan sulit untuk menemukan kedamaian dalam dirinya sendiri. Sepanjang
hari akan selalu dihantui dengan rasa bersalah dan ketidaktenangan. Jadi sebaiknya,
Jujurlah. Pilih salah satunya. Lalu sampaikanlah pada yang tidak terpilih. Bagaimanapun
juga, kejujuran yang menyakitkan, jauh lebih baik dari pada kedustaan yang
senantiasa dipertahankan.
Ah,,,
pokoknya, apapun alasannya, menduakan kekasih sendiri, atau mengenyampingkan pasangan sendiri, sama saja dengan mencampakkannya pada lumpur kesedihan. Ingatlah,
Bukankah Allah juga tidak senang dengan orang-orang yang menyekutukanNYA? (yang
menduakanNYA).
Semoga kita
terhindar dari sifat-sifat menduakan orang lain. Apalagi menyekutukan Allah. Na’udzubillahi min dzalik.
Wallahu a’lamu bish_shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar