Sederas hujan pertama,,,

Ada rona senja yang selalu bertanya tentangmu; seuntai perjalanan yang membias dalam remah, dingin, dan bait rindu.  Tentu aku tak punya jawaban terhadap pertanyaan itu. Karena aku belum bisa menyimpulkan hatimu. Bahkan nyaris aku tak bisa membacanya jika bukan karena bulir wangi yang senantiasa kau letupkan. Mata dan hatiku kemudian berlumur harum yang semerbak. Menjadi kuntum rindu. Juga pilu.

Siul kepodang dari reranting pohon waru di depan rumahku, juga mengabarkan geguritan masa lalu yang berkisah tentang perkawinan matahari dan rembulan di anjungan senja. Kemarin, hari ini, dan esok. Katanya; akan ada cinta di setiap senja. Dan itu milikmu; juga milikku. Seperti kelelawar yang rindu sarang di setiap reremang petang. atau semilir angin timur yang rindu pulang untuk menuai cinta di deburan samudera.

Jangan-jangan ada yang tersesat diantara kita; pergi dan tak tahu arah kembali?

Sederas hujan pertama, rinduku menetes di gersang cinta. Mencipta aroma tanah basah. Menyempurnakan semedi paling sunyi. Lalu lembar kenangan tentangmu kulihat mulai basah air mata. Lantaran hujan menggenangkan gelisah. Di langit, segumpal awan menebar kabar; kau tiba-tiba menghilang.

Akulah lelaki sunyi dari sejarah percakapan kita yang kian tak berarti. Kalimat-kalimat berhamburan menusuk-nusuk jantungku sendiri dengan sepi. Menamparkan senyap pada wajah karat yang pekat. Duuuh….. tiba-tiba aku menjadi Qois dari sejarah bibirmu yang basah. Aku menjadi Sham-pek, menjadi Romeo, menjadi Gibran, menjadi apa saja yang berwajah luka.

Adakah doa terakhir untuk mengenang nasibku yang getir?