sederhana sayang,,,


 Saat kita jauh,,, tak bisa saling menatap dan bercakap.

Sayang,,, saat malam merambat dan kau tak sempat mengucap salam sebelum menjaring mimpi; Aku selalu tersenyum dan mengerti. Karena barangkali kau terlalu capek setelah beraktifitas seharian sehingga kau tertidur dalam dekap malam. Atau barangkali kau tengah kurang enak badan, sedikit flu dan meriang. jadi wajar jika kau buru-buru istirahat walau tanpa pamit. Tetapi aku yakin kau masih selalu menyempatkan diri bangun tengah malam meski sebesar apapun keletihan yang menderamu. Karena aku tahu hatimu sayang,,, begitu wangi dan lestari. Aku yakin kau selalu bersujud padaNYA pada sepertiga malam yang akhir meski kau tak mengabariku. Karena akupun sama sepertimu sayang. Hanya saja,,,kita dibedakan ruang. kau di sana sedang aku di sini. Tapi aku yakin doa kita sama. Berharap kemudahan dan belas kasihNYA demi kebersamaan kita nanti.

Sayang,,, Saat kau tak sempat membalas salam dan ucapan selamat pagi dariku; aku masih selalu tersenyum,,, karena barangkali kau terlalu buru-buru untuk beraktifitas. Aku tahu kau seringkali lupa akan hal-hal kecil yang menjadi pembuka hari-hari kita. Tetapi sungguh, aku senantiasa paham akan hal itu sayang… karena sekali lagi aku tahu hatimu. Setelah agak siang, dan kau ada waktu senggang. Kau pasti akan berkirim kabar padaku dengan lesatan kata maaf yang berbuah senyum di bibirku. Dan tahukah kau sayang,,,? Saat-saat seperti itulah,, hatiku seringkali gerimis. karena menyadari betapa sangat sibuknya aktifitasmu, sedangkan aku tak bisa langsung berada di sampingmu untuk membantu.

Sayang,,, saat kau terlalu sibuk dengan aktifitasmu. Saat kau nyaris tak punya waktu untuk sekadar berkirim kabar padaku. Saat kau terlalu fokus pada kuliah, tugas dan pekerjaanmu, maka aku senantiasa mengingatkanmu meski hanya lewat pesan singkat “jangan terlalu sibuk sayang,,, jaga kondisimu”. Semua itu aku lakukan karena aku menyayangimu dan tidak ingin melihatmu sakit karena kecapekan. Aku tahu kau perempuan kuat sayang… aku tahu kau perempuan mandiri. Tetapi harus juga kau mengerti,,, bahwa sekuat apapun dan semandiri apapun, kau tetaplah manusia biasa yang harus pandai-pandai menjaga kondisi. itu yang selalu membuatku kepikiran dan cemas terhadapmu.

Kau bilang, ini demi rumah rindu…

Sayang,,, dengarkanlah bisikku ini…
Kita memang punya impian besar untuk membangun rumah sendiri. Rumah mungil yang cantik. Rumah sederhana yang asri. Rumah yang penuh dengan kasih sayang, cinta dan rindu di dalamnya. Rumah yang senantiasa bersepuh gelak tawa dan bias senyum dari kita. Rumah yang akan semakin ramai dengan kehadiran buah hati kita. tetapi sayangku,,, rumah rindu itu bukan sekadar bangunan fisik semata. Rumah rindu itu harus menjadi “rumah surga” bagi kita. Baiti jannati adalah rumah yang di dalamnya penuh dengan keharmonisan. Karena rumah rindu adalah surga, maka engkaulah bidadarinya sayang,,, engkaulah sumber keharmonisan itu. aku dan anak-anak kita kelak, tak akan bisa merasakan hidup nyaman dan bahagia tanpa sapaan dan sentuhanmu setiap hari. Bahkan setiap saat. Untuk itulah sayang,,, kenapa aku selalu mengingatkan agar engkau senantiasa menjaga kondisi dan tidak terlalu capek bekerja meski alasanmu demi rumah rindu. Karena rumah rindu hanya akan utuh jika ada kita yang mengutamakan keluarga dari pada yang lainnya.

Sayang,,, aku tahu kau juga tidak suka jika aku selalu cerewet. Tetapi apa yang bisa kuperbuat selain banyak bertanya dan memastikan bahwa kau senantiasa baik-baik saja? bahwa senantiasa kau selalu menjaga kondisimu?

Saat kau sedang tak enak hati, terlalu sibuk dengan tugas, atau diam tanpa kabar. tentu aku tak bisa mengetahui secara pasti apa yang terjadi denganmu sayang,,, untuk itulah, kenapa aku banyak bertanya? Karena aku senantiasa cemas. Kecemasan yang tentu saja sangat diluar perkiraan sebelumnya. Aku sempat heran sayang,,, kenapa aku terjamah kecemasan seperti ini. Pelan-pelan aku mencoba mencari musababnya. Dan ternyata,,, semua kecemasan itu bermula karena aku begitu mencintaimu. Tak ada ukuran apapun yang bisa kugunakan untuk menggambarkan seperti apakah cinta ini.

Sayang,,, Kecemasan demi kecemasan memang selalu menderaku saat aku tak menerima kabar darimu,,, saat kau lupa mengucapkan selamat malam,, saat kau lupa membalas ucapan selamat pagi dariku,,, saat kau tak membalas smsku yang senantiasa mengingatkan; “jangan lupa maem sayang,,,” “sudah sholat sayang,,,?” atau “lagi sibuk apa sayang,,,?

Itulah awal mula aku akan didera rasa cemas yang bertubi-tubi sayang… mungkin lagi-lagi kau lupa bahwa ada aku yang selalu menunggu kabar darimu. Sesekali,, aku memang harus cerewet padamu sayang,,, sebab aku mencintaimu dan selalu ingin memastikan kau baik-baik saja. apalagi yang bisa kuberikan padamu sebagai wujud cinta selain sebentuk kepedulian ini?

Sayangku,,, mencintai itu bukan persoalan memberikan setangkai bunga. Membangunkan rumah mewah. Berpegangan tangan sambil saling tersenyum menatap mata masing-masing. Bukan itu sayang…

Mencintai;
adalah bagaimana mengerti. Bukan bagaimana mendengarkan.
adalah bagaimana peduli. Bukan bagaimana membiarkan.
adalah bagaimana memberikan perhatian. Bukan bagaimana memberikan kemewahan.

Sederhana sayang,,, aku hanya punya cinta seperti itu. Tidak lebih.

Suatu hari di negeri dongeng,,,


Di negeri dongeng, pagi kemarin, sehabis mandi, saya bersiap ke tempat kerja. Seperti biasa. Si Kupu-kupu rindu (motor matic tersayang) sudah menunggu. Pagi ini tampaknya ia semakin manis. Hehe.. Tas kecil berisi HP, headset, flasdish, kunci loker, dan bolpoint warna biru juga sudah tersandang di bahu. Helm ber-SNI plus sarung tangan warna hitam juga sudah terpasang. Apalagi ya?? Lengkap. Cium tangan ibu juga sudah. Berarti tinggal brangkat,,,
“Undangannya bawa sekalian” ticha, adik perempuan saya datang dengan undangan putih.
“Undangan apa?” Tanya saya keheranan. Sebab rasanya tidak ada undangan untuk hari ini.
“Untuk pembuatan e-KTP ke kecamatan hari ini. katanya sih antri. Jadi, Mas aja yang setor undangannya. Itu ditukar dengan nomor antri.”
“Oww,,, Ok. Siap deh…” jawab saya dengan sedikit senyum sambil memasukkan undangan ke dalam tas kecil tersayang. “Berangkat ya,,, Assalamu’alaikum,,,”
Saya berangkat dengan si kupu-kupu rindu. Sementara di sepanjang jalan, saya kembali memanjakan imajinasi untuk memikirkan seseorang. Dia; calon pendamping hidup saya yang selalu manis. (Hehe,,,) Ah,,, seandainya ia sudah di sini, sebelum berangkat kerja, pasti dia yang nyiapin sarapan, tas kecil, sepatu dan,,, uang jajan. Haha… (kayak anak sekolahan). Tapi yang pasti, kalau sudah nikah, saya akan selalu pamit padanya sebelum berangkat kerja. Saya cium keningnya dan dia cium tangan saya. Aaahh,,, manisnyaaa…
“Woii,,, Ikut dong!!!” tiba-tiba seseorang melompat ke tengah jalan. Huufft!!! Hampir saja saya tabrak. Untunglah,, kupu-kupu rindu terlalu cekatan untuk berhenti mendadak! Astaghfirullah,,, sejenak terdiam karena terkejut. Orang yang berdiri di hadapan saya hanya cengengesan tanpa rasa bersalah. Melihat tampangnya yang culun, tak salah lagi. Syarkawi. Sahabat paling gokil yang pernah saya jumpai dalam hidup ini. hadeeh,,,
“Heh!! Bosan hidup lo,,,?”
“Hehe… sabar kawan,,, kalo ane bosan hidup. ngapain cegat lo? Mending nyari rel kereta. Lebih menjanjikan.”
“Menjanjikan apanya?”
“Menjanjikan kehidupan baru”
“Sumprit lo..”
“Hehe… udah ah,, yukk jalan” katanya setelah duduk manis di belakang.
“Mo kemana lo,,?”
“Mo foto e-KTP ke kecamatan. Udah,,, jangan banyak Tanya. Jadi sopir aja ributnya minta ampun!” Glek!
“Huhh! Dasar penumpang slengean!”
“Hahaha… hidup ini indah untuk diisi dengan gerutu kawan… ayo,, cepat. Entar aku telat lo..” Lagi! Bener-bener apes hari ini. belum selesai ngebayangin seseorang, dikagetin dengan ulahnya. Masih belum cukup. Malah dikatain sopir. Udah gitu disuruh cepat-cepat beragkat lagi. Alamak,, Huhuhuu….
Untung saya orang baik. (hehehe,,,) Jika tidak, saya tentu akan menurunkannya dipinggir jalan. Tanpa ampun dan tanpa amplop. Lho???
Sesampai di kecamatan. Ternyata sudah banyak orang yang ngantri. Saya dan sahabat tergokil langsung menuju pendaftaran. Dua orang dengan muka yang sedikit kusut duduk di belakang meja. Dari wajahnya saya bisa menduga. Tampaknya mereka sedang kurang bersahabat. Satu orang saya tahu. Dia dikenal dengan sebutan UGD (Unit Gawat Darurat). Bahasa lainnya adalah sok, gawat, alay kelas kakap. Dan,,, apalagi ya,,? Pokoknya semacamnyalah… ^_^
Sedangkan satunya saya tidak kenal. Tampaknya orang baru. Apa petugas yang dari kabupaten ya? Saya mencoba mengira-ngira sambil menunduk, membaca undangan di tangan. Belum selesai saya berpikir, tiba-tiba sebuah bentakan mengagetkan saya.
“Heh!! Mau daftar gak?!” saya terkejut. Reflek menoleh kanan kiri. Tapi tidak ada orang lain di depan petugas penerima pendaftaran selain saya. Glek! Lagi-lagi saya apes. Pagi-pagi sudah dapat bentakan dari petugas. Syarkawi sudah berlalu ke bangku antrian dengan senyam-senyum. Sementara orang-orang yang sudah mengantongi nomor antrian hampir seluruhnya melihat ke arah saya. Entah apa yang mereka pikirkan. tapi rata-rata saya melihat tatapan iba pada saya. Duh,,, dugaan saya benar. Dua orang yang bertugas di tempat pendaftaran itu sama-sama “bermasalah”. Perlahan saya manghampiri petugas itu. Tersenyum sambil mendekatkan wajah saya ke wajahnya. Tangan saya terkepal. Sedangkan tangan kiri memegang bangku di depannya erat-erat. Insting keteateran saya tiba-tiba muncul begitu saja.
“Mas, sudah pernah ikut diklat pelayanan prima nggak? Pernah belajar bagaimana menjadi pelayan yang baik itu seperti apa? Pernah belajar tersenyum dan menghargai orang lain?” saya bertanya dengan suara ditekan sambil terus menatap matanya lekat-lekat. Entah, apa karena saya terlihat melas atau menyedihkan, yang jelas dia terkejut. Terbengong. Mungkin dia tidak sadar sedang berhadapan dengan mantan aktifis teater kampus semasa kuliah. Hehe…
“Maaf Mas, sa,, saya tidak tahu…” jawabnya gugup. Acting saya berhasil. ^_^
“Lain kali,,, belajar tersenyum dulu sebelum jadi petugas pelayanan yah?” tambah saya dengan senyum mengembang. Dia hanya terdiam. Lalu saya menyerahkan undangan pada petugas yang satunya. Saya ambil nomor antrian yang disodorkannya. Kemudian tersenyum sembari mengangkat alis dua kali pada kedua petugas itu. (kok dua kali? karena kalau seratus kali kebanyakan. Haha…)
Saya berlalu dengan perasaan geli. Ada rasa iba dalam hati. Tapi biarlah,,, paling tidak, biar saya dan dia bisa sama-sama belajar lebih baik lagi untuk menghargai orang lain. Melihat nomor antrian 182 tampaknya butuh waktu sekitar 7-8 Jam untuk sampai pada giliran saya. Jadi sebaiknya ke tempat kerja dululaah... Maka saya berlalu dengan si kupu-kupu rindu. Meninggalkan berpasang-pasang mata yang menatap saya dengan keheranan. Jelas saja mereka heran, karena tidak mendengar apa yang saya ucapkan pada petugas itu. Yang mereka lihat, petugas itu tiba-tiba gugup dan terdiam. Hehe… Nomor antrian sudah di dalam tas. “Nanti kita jumpa lagi ya,, Mas Petugas…” bisik saya dalam hati sambil tersenyum. ^_^

Saat ia telah jadi istriku,,,,

nanti,,,


"Kita main hujan yuk,,,?"
"Jangan, nanti kamu sakit,,,"
"Tapi aku ingin main hujan. Aku ingin berbasah dalam guyurannya."
"Tapi aku takut kamu jatuh sakit. Kita masak aja yuk,,,?"
"Nggak mauuu,, pokoknya kita main hujan!"
"Adduuh,,, kalau kamu sakit kan aku juga yang,,,"
"Aaa,,, nggaak. Sekaliii sajaa… yuuk,,,"
"Tapi,,,"
"Nanti hujannya ngambek lho…"
"Lho, kok hujannya yang ngambek,,,?"
"Iya,,, kalau Mas gak mau main dengannya, bisa saja ia tersinggung. kemudian hujan akan pergi. Ia akan sakit hati karena merasa tidak berarti. Jadi,,, sebelum hujannya ngambek, ayoo…

Lalu aku tersenyum mendengar jawabannya yang merajuk. Senyumnya mengembang diantara binar matanya yang indah. Dia; perempuan beralis perbani itu menarik tanganku untuk menyongsong hujan. Aku terkejut seraya menjerit kecil. Dia malah tergelak. Lalu tubuh kami lesap dalam guyuran hujan yang menderas. Ia tertawa-tawa dibuatnya. Sedangkan aku tiba-tiba menggigil dalam dingin.

Aku memang lelaki pecinta gerimis. Tapi aku belum sepenuhnya mencintai hujan. Mungkin karena aku takut dingin. Beda dengannya. Meski ia alergi dingin, tapi ia sangat mencintai hujan. Baginya, hujan seperti arus cinta yang senantiasa menderas di hatinya. Seperti saat ini misalnya. Ia malah mengajakku berlari ke pamatang sawah di bawah derasnya hujan. Lalu akupun mengejarnya. kembali ia tertawa-tawa dengan riang. Sementara tidak bisa kupungkiri, lagi-lagi aku tersenyum melihat tingkahnya yang manja. Tapi aku suka. Sangat suka. Melihatnya tertawatawa dalam derasnya hujan seperti melihat bidadari yang mengerling diantara kabut pagi. Begitu indah.

Sejak kecil, aku tidak terbiasa mandi hujan. Untuk apa? Pikirku dulu. Tapi sekarang, jikapun pertanyaan “untuk apa?” itu muncul lagi. Maka aku sudah punya jawabannya. Untuk menemani perempuanku main hujan. Menemaninya berbasah dalam dingin. Menemaninya tertawa dalam cinta.

Hattchiihhh…!!!

“Kapan-kapan, kita main hujan lagi ya,,,?” Katanya tersenyum melihatku bersin. Aku tahu ia tengah menggodaku. Sebab ia mengajakku dengan lembut sambil menyelimuti tubuhku yang mulai demam (Mungkin, demam ini akibat main hujan dengannya). Aku menjawab ajakannya dengan anggukan pasti sambil tersenyum ke arahnya. Senyumnya makin lebar. Ah,,, jangankan kapan-kapan, batinku. Tiap haripun aku akan menemaninya main hujan. Asal aku selalu bisa melihatnya tersenyum dalam kebahagiaan.

"Terimakasih ya,,,?"
"Untuk apa?"
"Karena sudah menemaniku main hujan"
"Itu karena aku mencintaimu sayang, dan,,, "
tiba-tiba aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku lagi. Bibirku tercekat. 
satu hal yang kusadari setelahnya. Aku sangat suka caranya menghentikan kalimatku tadi. Aku juga suka caranya memandangku. Caranya mengerjabkan mata. Caranya tersenyum. Caranya berbicara. Caranya mengernyitkan dahi. Caranya menggerak-gerakkan bibir saat menggodaku. Caranya mengangkat alis. Caranya menggerakkan hidung. Dan caranya mencintaiku.

“Sekarang,,, maem dulu ya sayang,,, aku sudah masakin bubur kacang ijo special untuk suamiku tercinta. Mumpung hangat,,, Yuuk, aku suapin?” katanya sambil menyorongkan sendok berisi bubur kacang ijo buatannya ke mulutku. Aku benar-benar merasa dimanja olehnya. Demam ini tak akan sebanding dengan perlakuan manis yang ia berikan.

Semoga keindahan ini bisa kami rengkuh selamanya Rob… Bisikku dalam hati.

Apa yang paling Kau rindukan,,,?


Rona senja yang cantik sehabis hujan sore?
Bukan
Bening embun di pucuk dedaunan selepas subuh?
Bukan
Teduh purnama diantara mega-mega?
Bukan
Semilir angin saat berjalan di pematang sawah?
Bukan
Terumbu karang di sepanjang perjalanan menuju pulau airmata?
Bukan
Pendar-pendar lampu di sekitar Alun-alun kota?
Bukan
Rintik ritmis gerimis pagi?
Bukan
Rangkaian nada-nada merdu dalam racikan lagu mellow?
Bukan
Kata-kata indah dalam puisi?
Bukan ituu,,,

Lalu apa,,,???
….

Buih putih di tepian pantai?
Bukan juga
Gemericik air yang meningkahi batu-batu di sungai samping rumahmu?
Bukan
Kicau burung hutan di pagi hari?
Bukan
Kabut dingin diantara pepohonan yang menghijau?
Bukan
Aneka bunga di taman kota?
Bukan
Mie Ayam Bakso super di kota Jogja?
Bukan
Udara bersih dan buah-buahan segar di kota Batu?
Bukan
Berendam air hangat di Sumber Ombak?
Bukan
Bermain layang-layang dengan kawan lama?
Bukan
Tergelak dengan rekan-rekan penyiar di Radio?
Bukan koh,,,

Lalu apa yang paling kau rindukan,,,?
Aku merindukan Perempuanku; Perempuan beralis perbani yang datang sebelum senja.

senja hasil potretan Perempuan beralis perbani,,, ^_^

Tentang Adikku,,,


Aku melihatnya termenung. Murung. Berbagai siluet kesedihan terpancar di matanya. Beberapa kali menghirup nafas dalam-dalam. Menghembuskannya perlahan. Barangkali ia berharap, segala kegundahan yang melingkupi hatinya menguap sejalan dengan hembusan nafasnya yang semakin berat. Tatapan matanya tak bisa kutafsirkan.

Kubiarkan ia dengan berbagai kemelut yang menyelimuti hatinya. Aku tahu. Aku memang harus mendiamkannya sejenak. Memberikan ruang dan kesempatan baginya untuk merenung. Aku hanya menemaninya dengan diam. Duduk disampingnya saat senja mulai singgah di hadapan kami. Sesiur angin kemarau mulai mengantarkan dingin yang manja.

Agak lama kami terbalut sunyi. Tak ada kata. Hanya desahan nafasnya yang kurasakan semakin berat. Dia menatap senja. Begitu juga denganku. Kami membiarkan liukan imajinasi berlesatan diantara rona senja. Sepintas aku meliriknya. Sedikit terkejut saat kelopak matanya mulai berair. Entahlah,,, bagaimana aku harus menepis sunyi ini.

Perlahan kusentuh bahu kirinya. Ia menoleh.
“Sabar ya,,, ini ujian untuk menggapai cita-citamu. Jangan menyerah. Pasti masih ada jalan keluar agar kau bisa melangkah menyambut masa depan.” Ucapku menguatkan. Ia berusaha tersenyum sebisa mungkin. Aku tahu, senyumnya terasa sangat dipaksakan. Perlahan ia mengangguk sembari menggumam “Insya allah Mas,,,”. hanya itu. Selebihnya ia kembali menatap senja. Diam.

Aku tahu hatinya masih rawan. Dia; adikku yang masih menginjak usia 19 tahun itu dihadapkan dengan persoalan yang agak rumit. Keinginannya untuk melanjutkan kuliah ke kota Jogja teramat kuat. Tapi garis tegas yang dikatakan bapak juga sangat kuat. Bapak menginginkan Adikku melanjutkan kuliah di pondok pesantren. (salah satu alasannya karena biayanya lebih terjangkau) Sementara adikku ingin melanjutkan kuliah ke jogja tanpa harus mondok.

Ah,,, dua kutub yang berbeda. Sementara aku harus bisa memediasi keduanya tanpa harus mengecewakan salah satunya. Aku paham keinginan bapak, tapi aku lebih paham keinginan adikku.

“Lihatlah senja itu,,,” kataku padanya. Sebenarnya kalimat itu kuucapkan lebih pada sekadar upayaku agar dia tidak terlalu sedih. “senja itu berada pada persimpangan Dik,,, dia berapa di ujung siang sekaligus tegak diawal malam. Tapi senja selalu bisa memperlihatkan kemegahannya pada kita. Dia tidak peduli apakah dianggap ujung siang atau awal malam. Dia hanya melangkah dalam koridor keberadaannya sebagai senja. Dia tidak memberontak, tetapi juga tidak menyerah. Dia hanya menjadi dirinya sendiri. Begitupun dengan kita Dik… Kita harus menjadi diri sendiri, selama apa yang kita yakini itu tidak salah. Benar menurut kita, juga benar menurut pandangan banyak orang. Untuk itu, kita harus berjuang sekaligus juga bertanggungjawab atas apa yang kita yakini itu.”

“bagaimana caranya mas?”

“Perbedaan itu hanya sudut pandang dik,,, sama saja saat kita hendak menuju sebuah tempat. Kita tahu ada banyak jalan yang bisa membawa kita pada tempat itu. Banyak orang-orang yang menyarankan agar kita melewati jalan A, B, C, D dan sebagainya. Tapi kita tidak boleh hanya mengangguk saja tanpa tahu jalan mana yang terbaik bagi kita. Pilihan tetap ada ditangan kita Dik. Karena kita yang akan melewatinya. Lalu, saat kita sudah menentukan pilihan, melangkahlah dengan pasti. Jangan ragu lagi. Sebab dalam keragu-raguan selalu ada setan. Setiap pilihan memang mengandung resiko yang harus kita tanggung. Tetapi ingatlah, kita punya Allah yang Maha Segalanya. Resiko itupun harus kita lalui agar kita bisa lebih kuat.” ucapku perlahan seperti juga pernah kubisikkan pada seseorang yang datang sebelum senja.

“Lalu kalau ada orang lain yang kecewa terhadap pilihan kita?”

“Itu wajar Dik. Dan itu bagian dari konsekuensi. Kita tidak boleh menyerah. Tetaplah menghormati siapapun. Berlakulah santun. Lembutlah. Senyumlah. Tegarlah. Karena barangkali, dengan seperti itu kita akan semakin dewasa. Seseorang tidak akan bisa dewasa tanpa pernah mengalami persoalan hidup. seorang nelayan tidak akan bisa terampil jika belum pernah berhadapan dengan badai. Begitulah hidup itu dik.”

“Apa aku bisa Mas?”

“Jika aku bisa membiayai kuliah sendiri. Kenapa kamu tidak? Dulu aku juga ditentang oleh Bapak saat hendak melanjutkan kuliah. Berbagai alasan coba dibentangkan agar aku mundur. Tapi kau tahu, sedikitpun aku tidak menyurutkan langkah. hanya Ibu yang merestuiku. Maka tegas kukatakan dalam hati bahwa aku tak akan mundur untuk meraih cita-cita. Lalu aku memilih melarat dengan kuliah sambil kerja. Barangkali, karena aku tidak main-main dengan keinginanku, Alhamdulillah,,, Allah memudahkan jalanku. Kuharap, kau juga demikian. Kita berhak menentukan masa depan kita Dik. sekali lagi, ingatlah,,, hanya kita yang bisa menentukan masa depan kita sendiri. bukan orang lain. Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang merubahnya. Luar biasa bukan? Allah sendiri "melarang diriNYA” merubah nasib kita, kecuali kita yang merubahnya. dengan cara apa? berusaha. berjuang dan berdoa. teguhkan hati. bulatkan tekad. lalu perbanyaklah meminta padaNYA. kita yang harus meminta, Allah yang akan mengabulkannya."

“Ya Mas. Aku tidak akan main-main. Aku siap menghadapi segala aral. Aku ingin kuliah sambil bekerja, agar aku bisa menggapai cita-citaku dengan keringat sendiri. Tapi aku butuh bantuanmu untuk bilang ke Bapak, Mas” lalu aku melihat semangat di matanya kembali berkobar.

“Insya Allah,,, aku selalu mendukungmu Dik”

Senja semakin merona. Semoga pijarnya tak pernah redup di hati adikku. Semoga indahnya mampu menjadi salju bagi bapakku.

Masa kecil yang indah,,,


Dulu,,, dulu sekali. Sebagai Avan kecil, tentu tidak banyak yang saya pikirkan. Hanya berusaha menjalani kehidupan dengan penuh senyum (ah,,, inipun sebenarnya terlalu serius membahasakannya. Pake kata “berusaha” segala ^_^). Tak pernah berpikir untuk membuat planning dalam hidup. misalnya bagaimana harus menyelesaikan sekolah, lalu mencari pekerjaan. Bagaimana mendapatkan penghasilan tambahan agar bisa membangun rumah sendiri, punya kendaraan sendiri, menafkahi anak dan istri (jika sudah punya nanti. ^_^). Semua itu belum ada dalam benak Avan kecil. Yang penting bisa bermain dengan teman-teman. Itu sudah cukup.

Sesekali, sebagai anak kecil, saya juga menangis jika ada keinginan yang tidak terpenuhi. Misalnya saat pengen punya mobil-mobilan besar yang keren. karena tidak punya uang sendiri, ya nangis sama orang tua agar dibelikan. Tapi karena nasib mungkin belum berpihak pada saya, jurus nangis termelaspun tampaknya tidak mempan membuat ortu kasihan lalu membelikan mobil-mobilan itu. Hadeeh…

Lalu saya ngambek. Tidak mau makan, tidak mau minum, tidak mau bicara. Saya bertekad dalam hati. Jurus ngambek kali ini tidak boleh gagal. Maka saat ibu membujuk agar makan, dengan penuh keyakinan saya palingkan muka ke kiri dengan sedikit memonyongkan bibir “huhh…”. Lalu saya diam. Ibu juga. aneh, pikir saya. Untuk beberapa saat lamanya saya tetap dengan posisi melengos. Semenit, dua menit, tiga menit, lalu bermenit-menit, ibu tak kunjung membujuk lagi. Padahal leher sudah pegel. Perut juga sudah lapar. Duuhh,,,

Saya menyerah. Perlahan kembali berpaling pada ibu. Eh,,, ibu malah senyum. Gak pengertian banget sih, mestinya kan dibujuk sekali lagi. batin saya. Tapi mau gimana lagi. Perut memang sudah lapar. Maka saat ibu kembali menyodorkan suapannya, tanpa pikir panjang saya langsung melahapnya. Hehe…

Sungguh,,, ngambek itu tidak enak saudara-saudara!! Maka jangan sekali-kali kita ngambek, agar kita tidak termasuk golongan orang-orang yang merugi. ^_^

Tapi sebagai anak kecil (saat itu). Mana bisa saya diajak memikirkan hal-hal yang bikin ruwet? Untung rugi karena ngambek itu belum masuk dalam daftar analisa otak saya. Yang penting tujuan tercapai. Baru sekarang aja saya sadar bahwa ngambek itu bukan sebagian dari kecerdasan. Haha…

Menjadi anak kecil memang mempunyai fase indah tersendiri. Bagaimana tidak indah, jika kerjaan sehari-hari kebanyakan hanya bermain saja. Paling-paling ya ngaji ke langgar (surau) ba’da maghrib, belajar di sekolah pagi hari, lalu selebihnya bermain lagi dengan teman-teman. Lebih banyak tersenyum dari pada menangis. Lebih banyak enjoy dari pada galau.

Saya banget ituuu….
Hehe…
duuh,, senyum si kecil culun banget.... hehe...

Saat yang ingin kutulis hanya kamu,,,



Pendar jingga keemasan dalam hati.
Kabut tipis sewangi hamdalah dalam nadi.
Bias marun purnama ketiga penepis sunyi.

Alun merdu sesayup rindu
Binar cinta selaksa makna
Itu kamu.

Hei,,, Kamu...
Iya,,, kamu. Seseorang yang datang dengan jilbab merah tua.
Apa kabarmu? Sedang apakah engkau sekarang?
Melipat galau atau merenda mimpi tentang pelaminan?

Dengarlah bisikku,,,
“pejamkan matamu. melangkahlah perlahan di pematang sawah-sawah itu. Rentangkan tanganmu. Tengadahkan wajahmu. Hiruplah nafas dalam-dalam. Hembuskan perlahan dengan senyum paling harum. Lewat semilir bayu, telah aku titipkan rindu paling biru, untukmu. Yakinlah, rinduku akan senantiasa memeluk hatimu. Jangan lupa mengabariku ya...”

saat ini, aku hanya ingin menulis tentang kamu.
Iya. Kamu; perempuan beralis perbani yang datang sebelum senja.

^_^



Galau,,,

Galau,,, ^_^
Tiga hari ini saya tidak bisa konsen dalam banyak hal. Pikiran seolah-olah buntu. Bahkan nyaris tidak bisa saya gunakan seperti biasa. Akibatnya banyak pekerjaan kantor yang terbengkalai. Beberapa bundel daftar nilai yang mestinya saya input ke server, tetap berserakan di meja kerja. Beberapa kali juga menerima ledekan manis dari rekan kerja lantaran saya tiba-tiba jadi pelamun ulung.

Di radio juga tidak jauh beda. Saya yang biasanya paling rame, tiba-tiba berubah jadi pemurung. Lebih senang menyendiri dan terdiam manis di pojok ruangan. tidak sanggup siaran. Bahkan untuk membuat skrip siaran atau menyunting berita saja saya seolah tidak mampu. Duh,, pokoknya bad mood stadium 4.

Saya lebih suka melamun di depan laptop sambil mendengarkan lagu-lagu mellow. Hanya membiarkan lamunan melesat kesana kemari dengan sendirinya. Anehnya, saya bahkan tidak paham dengan apa yang saya lamunkan. Berbagai kegelisahan menusuk-nusuk dalam dada. Mungkin benar apa yang dikatakan teman-teman. Bahwa saat ini saya G-A-L-A-U.

Sungguh, kegalauan kali ini sama sekali tidak berkualitas. Saya seperti anak kecil yang uring-uringan lantaran tidak dibelikan mobil-mobilan. Merengut. Cemberut. dan tidak mau bicara dengan siapapun. Apalagi tersenyum. Seingat saya, dalam tiga hari ini saya tersenyum hanya dua kali. Pertama, ketika kemarin malam menerima sms dari Bening (perempuan berjilbab merah yang datang sebelum senja). Kedua, saat ada tamu orang tua di beranda rumah. Kebetulan saya lewat di sampingnya sepulang dari radio. Itupun sepintas karena saya langsung masuk kamar. Sungguh, yang terakhir saya tidak yakin tersenyum dengan tulus. Astaghfirullah…

Semua bermula dari permintaannya; perempuan dengan alis perbani itu, tiba-tiba saja menyampaikan ide yang mengejutkan. Tidak boleh ada komunikasi apapun sampai bertemu langsung seminggu lagi. Baik telepon maupun sms. Saya agak terkejut dibuatnya. Ide yang aneh. Belum sempat saya bertanya lebih jauh, ia menyampaikan alasan yang lagi-lagi membuat saya mengerutkan kening. Alasan pertama, agar bisa saling berpikir dengan logika tentang rencana hubungan ke tahap selanjutnya. Kedua, agar rindu yang tumbuh di hati kami semakin lebat dan berbuah manis. Lalu disepakati bahwa kami akan bertemu di senja kesebelas purnama sekarang. Tentu saja dengan sederet cerita masing-masing yang terpetik dalam seminggu ini.

Deal!
Saya memenuhi pintanya meski belum sepenuhnya paham. Saya menyanggupi meski harus membayarnya dengan ketersiksaan.

Belum genap satu hari, saya sudah mulai terhantam rindu. Tak ada ucapan selamat malam sebelum tidur. Tidak ada ucapan selamat pagi saat subuh menjelang. mengingatkan makan. Menanyakan kabar. Menemani beraktifitas meski lewat sms. Atau sekedar diskusi kecil saat kehilangan ide untuk menulis. Tidak ada. Hanya sepi. Kondisi ini sangat asing bagi saya. Sempat saya bertanya dalam hati, apakah harus seperti ini memaknai cinta? Apakah harus seperti ini mengukur rindu?

Saya tidak punya jawabannya. Karena sekali lagi saya Galau. Berbagai pertanyaan lain mulai berlesatan dalam otak saya. Berbagai ketakutan juga muncul di kepala. Bahkan ribuan “jangan-jangan” mulai mengusik saya. Ah,,, Apapun bisa saja terjadi dalam enam hari. Itu yang saya dapat dari film “from Bandung with love”.

Tapi saya tahu bahwa ini hanya untuk sementara. Jadi, saya harus berpikir positif terhadap segala hal yang terjadi, atau bahkan yang akan terjadi. Yang terpenting sekarang, saya harus terus berusaha mengelokkan sikap dan sifat. Lebih menganggunkan hati. Tetap menebarkan kebajikan bagi sesama. Lebih memantapkan diri untuk melangkah ke arah yang lebih baik. Menjaga perasaan yang tumbuh di hati kami masing-masing. Sebab, segala sesuatunya sudah diatur oleh Allah subhanahu wata’ala.

Bismillahirrahmanirrahim…