Di
negeri dongeng, pagi kemarin, sehabis mandi, saya bersiap ke tempat kerja. Seperti
biasa. Si Kupu-kupu rindu (motor matic
tersayang) sudah menunggu. Pagi ini tampaknya ia semakin manis. Hehe.. Tas kecil
berisi HP, headset, flasdish, kunci loker, dan bolpoint warna biru juga sudah
tersandang di bahu. Helm ber-SNI plus
sarung tangan warna hitam juga sudah terpasang. Apalagi ya?? Lengkap. Cium
tangan ibu juga sudah. Berarti tinggal brangkat,,,
“Undangannya
bawa sekalian” ticha, adik perempuan saya datang dengan undangan putih.
“Undangan
apa?” Tanya saya keheranan. Sebab rasanya tidak ada undangan untuk hari ini.
“Untuk
pembuatan e-KTP ke kecamatan hari ini. katanya sih antri. Jadi, Mas aja yang
setor undangannya. Itu ditukar dengan nomor antri.”
“Oww,,,
Ok. Siap deh…” jawab saya dengan sedikit senyum sambil memasukkan undangan ke
dalam tas kecil tersayang. “Berangkat ya,,, Assalamu’alaikum,,,”
Saya
berangkat dengan si kupu-kupu rindu. Sementara di sepanjang jalan, saya kembali
memanjakan imajinasi untuk memikirkan seseorang. Dia; calon pendamping hidup
saya yang selalu manis. (Hehe,,,) Ah,,,
seandainya ia sudah di sini, sebelum berangkat kerja, pasti dia yang nyiapin
sarapan, tas kecil, sepatu dan,,, uang jajan. Haha… (kayak anak sekolahan). Tapi yang pasti, kalau sudah nikah, saya
akan selalu pamit padanya sebelum berangkat kerja. Saya cium keningnya dan dia
cium tangan saya. Aaahh,,, manisnyaaa…
“Woii,,,
Ikut dong!!!” tiba-tiba seseorang melompat ke tengah jalan. Huufft!!! Hampir
saja saya tabrak. Untunglah,, kupu-kupu rindu terlalu cekatan untuk berhenti
mendadak! Astaghfirullah,,, sejenak terdiam
karena terkejut. Orang yang berdiri di hadapan saya hanya cengengesan tanpa
rasa bersalah. Melihat tampangnya yang culun, tak salah lagi. Syarkawi. Sahabat
paling gokil yang pernah saya jumpai dalam hidup ini. hadeeh,,,
“Heh!!
Bosan hidup lo,,,?”
“Hehe…
sabar kawan,,, kalo ane bosan hidup. ngapain cegat lo? Mending nyari rel
kereta. Lebih menjanjikan.”
“Menjanjikan
apanya?”
“Menjanjikan
kehidupan baru”
“Sumprit
lo..”
“Hehe…
udah ah,, yukk jalan” katanya setelah duduk manis di belakang.
“Mo
kemana lo,,?”
“Mo
foto e-KTP ke kecamatan. Udah,,, jangan banyak Tanya. Jadi sopir aja ributnya
minta ampun!” Glek!
“Huhh!
Dasar penumpang slengean!”
“Hahaha…
hidup ini indah untuk diisi dengan gerutu kawan… ayo,, cepat. Entar aku telat
lo..” Lagi! Bener-bener apes hari ini. belum selesai ngebayangin seseorang, dikagetin
dengan ulahnya. Masih belum cukup. Malah dikatain sopir. Udah gitu disuruh
cepat-cepat beragkat lagi. Alamak,, Huhuhuu….
Untung
saya orang baik. (hehehe,,,) Jika tidak,
saya tentu akan menurunkannya dipinggir jalan. Tanpa ampun dan tanpa amplop.
Lho???
Sesampai
di kecamatan. Ternyata sudah banyak orang yang ngantri. Saya dan sahabat
tergokil langsung menuju pendaftaran. Dua orang dengan muka yang sedikit kusut
duduk di belakang meja. Dari wajahnya saya bisa menduga. Tampaknya mereka
sedang kurang bersahabat. Satu orang saya tahu. Dia dikenal dengan sebutan UGD
(Unit Gawat Darurat). Bahasa lainnya
adalah sok, gawat, alay kelas kakap. Dan,,, apalagi ya,,? Pokoknya
semacamnyalah… ^_^
Sedangkan
satunya saya tidak kenal. Tampaknya orang baru. Apa petugas yang dari kabupaten
ya? Saya mencoba mengira-ngira sambil menunduk, membaca undangan di tangan. Belum
selesai saya berpikir, tiba-tiba sebuah bentakan mengagetkan saya.
“Heh!!
Mau daftar gak?!” saya terkejut. Reflek menoleh kanan kiri. Tapi tidak ada
orang lain di depan petugas penerima pendaftaran selain saya. Glek! Lagi-lagi
saya apes. Pagi-pagi sudah dapat bentakan dari petugas. Syarkawi sudah berlalu ke
bangku antrian dengan senyam-senyum. Sementara orang-orang yang sudah
mengantongi nomor antrian hampir seluruhnya melihat ke arah saya. Entah apa
yang mereka pikirkan. tapi rata-rata saya melihat tatapan iba pada saya. Duh,,,
dugaan saya benar. Dua orang yang bertugas di tempat pendaftaran itu sama-sama
“bermasalah”. Perlahan saya manghampiri petugas itu. Tersenyum sambil
mendekatkan wajah saya ke wajahnya. Tangan saya terkepal. Sedangkan tangan kiri
memegang bangku di depannya erat-erat. Insting keteateran saya tiba-tiba muncul
begitu saja.
“Mas,
sudah pernah ikut diklat pelayanan prima nggak? Pernah belajar bagaimana menjadi
pelayan yang baik itu seperti apa? Pernah belajar tersenyum dan menghargai orang
lain?” saya bertanya dengan suara ditekan sambil terus menatap matanya
lekat-lekat. Entah, apa karena saya terlihat melas atau menyedihkan, yang jelas
dia terkejut. Terbengong. Mungkin dia tidak sadar sedang berhadapan dengan
mantan aktifis teater kampus semasa kuliah. Hehe…
“Maaf
Mas, sa,, saya tidak tahu…” jawabnya gugup. Acting saya berhasil. ^_^
“Lain
kali,,, belajar tersenyum dulu sebelum jadi petugas pelayanan yah?” tambah saya
dengan senyum mengembang. Dia hanya terdiam. Lalu saya menyerahkan undangan
pada petugas yang satunya. Saya ambil nomor antrian yang disodorkannya.
Kemudian tersenyum sembari mengangkat alis dua kali pada kedua petugas itu. (kok dua kali? karena kalau seratus kali
kebanyakan. Haha…)
Saya
berlalu dengan perasaan geli. Ada rasa iba dalam hati. Tapi biarlah,,, paling
tidak, biar saya dan dia bisa sama-sama belajar lebih baik lagi untuk
menghargai orang lain. Melihat nomor antrian 182 tampaknya butuh waktu sekitar 7-8
Jam untuk sampai pada giliran saya. Jadi sebaiknya ke tempat kerja dululaah... Maka
saya berlalu dengan si kupu-kupu rindu. Meninggalkan berpasang-pasang mata yang
menatap saya dengan keheranan. Jelas saja mereka heran, karena tidak mendengar
apa yang saya ucapkan pada petugas itu. Yang mereka lihat, petugas itu
tiba-tiba gugup dan terdiam. Hehe… Nomor antrian sudah di dalam tas. “Nanti
kita jumpa lagi ya,, Mas Petugas…” bisik saya dalam hati sambil tersenyum. ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar