Aku melihatnya
termenung. Murung. Berbagai siluet kesedihan terpancar di matanya. Beberapa kali
menghirup nafas dalam-dalam. Menghembuskannya perlahan. Barangkali ia berharap,
segala kegundahan yang melingkupi hatinya menguap sejalan dengan hembusan nafasnya
yang semakin berat. Tatapan matanya tak bisa kutafsirkan.
Kubiarkan ia
dengan berbagai kemelut yang menyelimuti hatinya. Aku tahu. Aku memang harus
mendiamkannya sejenak. Memberikan ruang dan kesempatan baginya untuk merenung. Aku
hanya menemaninya dengan diam. Duduk disampingnya saat senja mulai singgah di
hadapan kami. Sesiur angin kemarau mulai mengantarkan dingin yang manja.
Agak lama
kami terbalut sunyi. Tak ada kata. Hanya desahan nafasnya yang kurasakan
semakin berat. Dia menatap senja. Begitu juga denganku. Kami membiarkan liukan
imajinasi berlesatan diantara rona senja. Sepintas aku meliriknya. Sedikit terkejut
saat kelopak matanya mulai berair. Entahlah,,, bagaimana aku harus menepis
sunyi ini.
Perlahan kusentuh
bahu kirinya. Ia menoleh.
“Sabar
ya,,, ini ujian untuk menggapai cita-citamu. Jangan menyerah. Pasti masih ada
jalan keluar agar kau bisa melangkah menyambut masa depan.” Ucapku menguatkan. Ia
berusaha tersenyum sebisa mungkin. Aku tahu, senyumnya terasa sangat
dipaksakan. Perlahan ia mengangguk sembari menggumam “Insya allah Mas,,,”. hanya
itu. Selebihnya ia kembali menatap senja. Diam.
Aku tahu
hatinya masih rawan. Dia; adikku yang masih menginjak usia 19 tahun itu
dihadapkan dengan persoalan yang agak rumit. Keinginannya untuk melanjutkan
kuliah ke kota Jogja teramat kuat. Tapi garis tegas yang dikatakan bapak juga
sangat kuat. Bapak menginginkan Adikku melanjutkan kuliah di pondok pesantren. (salah satu alasannya karena biayanya lebih terjangkau) Sementara
adikku ingin melanjutkan kuliah ke jogja tanpa harus mondok.
Ah,,, dua
kutub yang berbeda. Sementara aku harus bisa memediasi keduanya tanpa harus
mengecewakan salah satunya. Aku paham keinginan bapak, tapi aku lebih paham
keinginan adikku.
“Lihatlah
senja itu,,,” kataku padanya. Sebenarnya kalimat itu kuucapkan lebih pada sekadar
upayaku agar dia tidak terlalu sedih. “senja itu berada pada persimpangan
Dik,,, dia berapa di ujung siang sekaligus tegak diawal malam. Tapi senja
selalu bisa memperlihatkan kemegahannya pada kita. Dia tidak peduli apakah
dianggap ujung siang atau awal malam. Dia hanya melangkah dalam koridor
keberadaannya sebagai senja. Dia tidak memberontak, tetapi juga tidak menyerah.
Dia hanya menjadi dirinya sendiri. Begitupun dengan kita Dik… Kita harus
menjadi diri sendiri, selama apa yang kita yakini itu tidak salah. Benar menurut
kita, juga benar menurut pandangan banyak orang. Untuk itu, kita harus berjuang
sekaligus juga bertanggungjawab atas apa yang kita yakini itu.”
“bagaimana
caranya mas?”
“Perbedaan
itu hanya sudut pandang dik,,, sama saja saat kita hendak menuju sebuah tempat.
Kita tahu ada banyak jalan yang bisa membawa kita pada tempat itu. Banyak orang-orang
yang menyarankan agar kita melewati jalan A, B, C, D dan sebagainya. Tapi kita
tidak boleh hanya mengangguk saja tanpa tahu jalan mana yang terbaik bagi kita.
Pilihan tetap ada ditangan kita Dik. Karena kita yang akan melewatinya. Lalu,
saat kita sudah menentukan pilihan, melangkahlah dengan pasti. Jangan ragu
lagi. Sebab dalam keragu-raguan selalu ada setan. Setiap pilihan memang mengandung
resiko yang harus kita tanggung. Tetapi ingatlah, kita punya Allah yang Maha
Segalanya. Resiko itupun harus kita lalui agar kita bisa lebih kuat.” ucapku perlahan seperti juga pernah kubisikkan pada seseorang yang datang sebelum senja.
“Lalu
kalau ada orang lain yang kecewa terhadap pilihan kita?”
“Itu wajar Dik. Dan itu bagian dari konsekuensi. Kita tidak boleh menyerah. Tetaplah menghormati siapapun. Berlakulah santun. Lembutlah. Senyumlah. Tegarlah. Karena barangkali, dengan seperti itu kita akan semakin dewasa. Seseorang tidak akan bisa dewasa tanpa pernah mengalami persoalan hidup. seorang nelayan tidak akan bisa terampil jika belum pernah berhadapan dengan badai. Begitulah hidup itu dik.”
“Apa aku
bisa Mas?”
“Jika aku
bisa membiayai kuliah sendiri. Kenapa kamu tidak? Dulu aku juga ditentang oleh Bapak saat hendak melanjutkan
kuliah. Berbagai alasan coba dibentangkan agar aku mundur. Tapi kau tahu, sedikitpun
aku tidak menyurutkan langkah. hanya Ibu yang merestuiku. Maka tegas kukatakan dalam hati bahwa aku tak akan mundur untuk meraih
cita-cita. Lalu aku memilih melarat dengan kuliah sambil kerja. Barangkali, karena aku tidak main-main dengan keinginanku, Alhamdulillah,,,
Allah memudahkan jalanku. Kuharap, kau juga demikian. Kita berhak menentukan masa
depan kita Dik. sekali lagi, ingatlah,,, hanya kita yang bisa menentukan masa depan kita sendiri. bukan orang lain. Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang merubahnya. Luar biasa bukan? Allah sendiri "melarang diriNYA” merubah nasib kita, kecuali kita yang merubahnya. dengan cara apa? berusaha. berjuang dan berdoa. teguhkan hati. bulatkan tekad. lalu perbanyaklah meminta padaNYA. kita yang harus meminta, Allah yang akan mengabulkannya."
“Ya Mas. Aku
tidak akan main-main. Aku siap menghadapi segala aral. Aku ingin kuliah sambil bekerja,
agar aku bisa menggapai cita-citaku dengan keringat sendiri. Tapi aku butuh
bantuanmu untuk bilang ke Bapak, Mas” lalu aku melihat semangat di matanya kembali berkobar.
“Insya Allah,,, aku selalu mendukungmu Dik”
Senja semakin
merona. Semoga pijarnya tak pernah redup di hati adikku. Semoga indahnya mampu
menjadi salju bagi bapakku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar