Seharian
saya mengurung diri di kamar. Hanya mendengarkan musik, menulis catatan ringan
(itupun belum selesai), main game di notebook, dan merenung. Itu saja. ini
memang bukan kebiasaan saya, menjadi orang yang senang mengurung diri di kamar.
Biasanya jika liburan datang, saya selalu menyambutnya dengan ceria. Telepon
beberapa teman, jalan-jalan ke gunung (saya
menyukai gunung. Rasanya damai setiap kali melihatnya), jalan-jalan ke
pantai (saya juga suka laut, warnanya
selalu memikat hati), ramai-ramai silaturrahim ke rumah kawan lama, atau
tergelak dengan teman-teman di radio.
Tapi kali ini
sikap saya terasa aneh bagi orang-orang di sekitar. Pun untuk adik saya sendiri.
“Kok
murung?” Tanya adik saya saat mendapati kebengongan saya di depan notebook. saya menoleh sambil tersenyum hambar
padanya “aku lagi nulis, jadi konsentrasi” kemudian dia berlalu dengan kening yang
sedikit mengkerut.
Saya belum
menemukan alasan yang tepat untuk keluar dari kamar. Mau makan, rasanya masih
kenyang. Mau beli pulsa, kebetulan masih ada. Melihat agenda kegiatan di blocknote, juga kosong. Sedangkan di
luar, Segala sesuatunya tampak kurang menarik. Lalu saya coba mencari-cari, apa
sebenarnya yang terjadi pada saya? Kenapa bisa begini?. Berbagai jawaban coba
saya cocokkan dengan gundah di hati. Tapi belum juga benar. Patah hati, nggak.
Dikecewain orang, juga nggak. Sedih, juga nggak. Lalu apa ya?
Saya
merenung. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain yang menjadi sebab.
Lalu saya
menyadari satu hal.
Rindu!
Ya. Saya
tengah merindukan orang-orang terdekat. Ternyata rindu yang membuat saya jadi
seinklusif ini. hanya berdiam diri di kamar. Males beraktifitas di luar rumah
dan yang paling parah, saya tidur dengan muka ditutup bantal. Perilaku aneh.
Seaneh perasaan saya sekarang.
tentang
kerinduan saya.
Disadari
kemudian, setelah melewati fase malas, kemudian tidur menutup wajah dengan
bantal, ternyata saya memang tengah merindukan dua orang perempuan yang paling
istimewa dalam kehidupan saya saat ini.
Perempuan
pertama adalah Ibu. Saya seringkali menyebutnya malaikat dalam kehidupan saya.
Mungkin sebutan itu berlebihan menurut orang lain, tapi tidak bagi saya. Sebab,
lantaran ibu jugalah saya bisa menikmati hidup seperti saat ini. (tentu yang paling menentukan adalah Allah
SWT). Alhamdulillah,,, berkat doa
dan motivasi dari ibu, saya bisa tertempa di berbagai tempat. pernah merasakan
panas jalanan saat memburu berita sewaktu jadi wartawan. Pernah menghabiskan
hari-hari di depan komputer sewaktu jadi editor untuk majalah. Kemudian terdampar
jadi Announcer salah satu stasiun
radio di kota kelahiran (pernah juga merasakan
serunya Live report dari Te-Ka-Pe. ^_^). Pernah belajar ngajar di MAN,
STKIP PGRI dan di beberapa madrasah swasta. Hingga akhirnya menitikkan dua
butir airmata, entah sedih atau terharu saat menerima SK tahun 2010 (karena kemudian ditugaskan di pulau
terpencil). Berkat motivasi dari ibu juga akhirnya saya bisa menyelesaikan
pascasarjana sesuai target. Terimakasih ibu.
Saya sadar,
sembilan bulan lebih ibu mengandung saya. Bertahun-tahun ibu merawat bayi
kecilnya hingga tumbuh remaja. masih saja belum cukup, kembali saya merepotkan
beliau dengan “kenakalan-kenakalan” yang tak terelakkan. Berkali-kali juga kecelakaan
motor lantaran terdampar dalam balapan liar. Meski demikian, tak pernah saya
dapati Ibu membenci dan meminta kembali kasih sayang yang sudah diberikan pada
saya. Tak pernah. Ibu selalu tersenyum buat saya.
Malaikat hidupku,,, Ibu... |
Ibu juga
yang merelakan sebagian besar waktunya untuk mendoakan saya. Anaknya yang
seringkali bandel ini. tak pernah lelah menjadi motivator bagi saya. Masih
jelas terbayang dalam benak saya saat dulu, Ibu tetap tersenyum melihat nilai rapor
saya yang penuh angka “merah”. Menjadi peringkat ke-38 dari 38 siswa. Luar
biasa bukan?
Artinya, Saya
adalah siswa paling bodoh sewaktu duduk di kelas 1 Aliyah (sekarang kelas X).
dan ibu tidak pernah menunjukkan raut kekecewaan pada saya saat itu. “Kamu
sebenarnya pintar,,, Cuma mungkin kurang beruntung saja. tidak apa-apa. Berarti
kamu harus giat belajar dan rajin berdoa agar Allah menganugerahkan ilmu yang
bermanfaat bagimu.”
Saya
sedikit heran saat itu. Kenapa ibu tidak kecewa? Kenapa tidak marah? Kenapa
malah memujiku sebagai anak yang pintar? Padahal sebelumnya saya cemas untuk
pulang ke rumah dengan nilai rapor seperti itu. Butuh keberanian luar biasa. Tapi
sampai di rumah, ibu berhasil menghapus semua ketakutan saya itu. Tentu tak
bisa saya temukan jawabannya saat itu. Tapi sekarang, setidaknya saya sudah
mulai sedikit memahami apa yang ibu nasehatkan dulu.
Pertama, Ibu tidak mau menunjukkan kekecewaan
atau kemarahan pada saya karena lebih mementingkan kondisi kejiwaan saya yang saat
itu tentu masih labil. Ibu khawatir semangat saya akan turun lantaran hasil
rapor yang jelek. Jika bukan orang tua yang menguatkan dan tetap memberi
semangat, lalu siapa lagi? Tentu tidak mungkin jika orang lain. Ibu juga tidak
terjebak dengan angka-angka di rapor. Bagi ibu, yang terpenting adalah
bagaimana saya tetap berusaha, berikhtiar dan berjuang dalam kehidupan ini.
Hasil akhir tetaplah milik Allah SWT.
Apa
jadinya saya jika misalnya saat itu dibentak-bentak kemudian dibilang Bodoh
atau Goblok? Mungkin saya malah akan stress. Lalu uring-uringan. Tidak semangat
belajar, bahkan mungkin memilih mundur dari bangku sekolah. Maka beruntunglah
saya mempunyai ibu sebijaksana beliau. Bukan hanya tidak marah, tapi malah
memuji, padahal saya tahu bahwa pujian itu hanya untuk menyenangkan hati saya.
Tapi sejujurnya, saya bisa lebih semangat karena sikap ibu yang tidak
meremehkan saya. Kemudian saya mulai menyadari, bahwa pada dasarnya, setiap
anak mempunyai kemampuan yang sama. Hanya bagaimana mengoptimalkan kemampuan
itu. Tentu saja salah satunya adalah rajin belajar. Juga berdoa. Alhamdulillah,,,
pelan-pelan saya beranjak dari peringkat 38. Makin lama makin ke atas. Hingga di
kelas akhir, saya bisa juga mencicipi 3 besar. Tersenyum manis di peringkat 2.
(hehe,,, mulai narsis nih.
Astaghfirullah,,,)
Kedua, ibu ternyata tidak menuntut saya
mempunyai ilmu yang banyak, tapi ilmu yang barokah. Bermanfaat bagi saya
sendiri, keluarga, dan orang lain. Bukankah memang ilmu yang barokah yang akan menjadi
amal jariyah? Setiap ilmu yang diperoleh, lalu diamalkan di jalan yang benar,
insya allah akan menjadi jalan indah menuju haribaan Allah SWT.
^_^
Sekarang,,,
Ibu tengah “bertamu” ke Rosulullah. Menunaikan ibdah umroh ke tanah suci. (Allah,,, lindungilah perjalanan Ibu ya
Rob,,, Engkau yang Maha mengatur segalanya). Lalu saya merasakan betapa
kerinduan ini semakin membuncah terhadap beliau. Saat pagi tiba misalnya,,,
biasanya ada sarapan yang sudah Ibu siapkan untuk anaknya yang manis ini (halahh…). Tapi sekarang,,,? Ah,,, jika kebetulan
adik saya tidak masakin saya, (karena dia
sudah tinggal dengan suaminya) maka saya harus masak sendiri. Meski tak
seterampil saat mondok dulu, paling tidak masih bisa masak. Asin-asin dikit
juga gak masalah. Yang penting kenyang. Atau kalau lagi malas masak, ya beli makan
di luar. Ngenes. Tapi tidak apa-apa,,, sesekali saya memang harus mandiri.
Tidak boleh selalu menunggu masakan ibu saja untuk makan. (Siapa tahu, seseorang yang sangat menyukai gerimis itu sebentar lagi
akan benar-benar masak buat saya) Inilah yang juga menjadi semangat buat
saya untuk sesegera mungkin menikah. ^_^
Masih
tentang kerinduan…
Perempuan
kedua yang saya rindukan adalah dia, perempuan dengan jilbab merah tua yang
datang sebelum senja. mengingat segala hal tentangnya berarti mengingat-ingat beberapa
episode terindah buat saya sekarang. percakapan-percakapan panjang yang terasa
pendek dengannya, sedikit gugup saat melepas senja bersama. Menikmati pendar-pendar
lampu kota di malam hari. Makan malam di trotoar sambil bertukar kisah.
Menikmati 3 butir peluh di keningnya yang akhirnya dia usap dengan punggung
tangannya sendiri. Menatap bening matanya yang selalu menyisakan rindu. Tersenyum
melihat gaya bicaranya yang menggemaskan. (duhai,,,
aku tiba-tiba merindukan senyummu yang semanis madu sayang,,,). Perempuan
itu pelan-pelan mulai mengisi hati saya. Menanamkan rindu yang mulai lebat
berbuah. Saya merindukan kehadirannya. Sangat. Bukan semata karena saya tidak
ada yang nyiapin makan. Tapi lebih karena saya ingin sesegera mungkin meraih
cita-cita terbesar dalam hidup. yaitu, memuliakannya sebagai seorang istri.
(Rindu untukmu ibu,,, rindu untukmu duhai
calon istriku…)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar