Mengeja Cinta di Candi Sewu

candi sewu


Syahdan, kisah istemewa dari masa lalu, Candi Sewu, sudah mendedahkan episode asmara yang begitu melankolis bagi manusia. Getar-getar kehebatannya masih terasa sampai saat ini. Ada airmata di sana. Ada luka disana. Ada pilu di sana. Ada cinta di dalamnya. Bergejolak, menukilkan haru di dada.
Saya termasuk salah satu barisan orang-orang yang terkagum-kagum dengan kisahnya. Maka dalam hingar-bingar kekinian inilah, saya menyempatkan diri untuk mengunjunginya. Mencoba menafsir makna hidup dengan mengeja jalan cinta Roro Jonggrang yang begitu ranum. Duh,, tiba-tiba saya menemukan buliran bening bertebaran di sepanjang jalan setapak candi prambanan menuju candi sewu. Memungutnya satu-satu. Menyimpannya sebagai butiran rindu.
Sesampai di depan candi, saya berhenti sejenak. Duduk diantara jalan setapak itu...

Merenung, bagi saya, merupakan salah satu jalan menuju titik pencerahan. Saat nalar tak lagi mampu menjawab tanya. Saat hati tak bisa lagi menahan rasa. Saat cinta tibatiba menjamah jiwa. Sungguh bukan sebuah pilihan yang salah bagi saya, menundukkan wajah serta hati untuk lebih lebur dalam diri.
Perlahan, seolah ada yang meremang dalam kelopak mata saya. Semakin jelas. Semakin benderang. Mewujud sesosok anggun dengan pakaian yang bersulam benang perak. Di beberapa bagian, berbaris rapi tatanan manik-manik emas. Membentuk ukiran bunga kenanga. Di atas rambutnya yang hitam. Terselip mahkota dengan aneka permata yang memancarkan kemilau cahaya.
Sesaat saya terperangah. Seperti mimpi. Aroma dupa dan air bunga mawar perlahan menyeruak dalam indra penciuman. Sementara sesayup telinga mendengar. Alunan gending Asmaradhana menjadi pelengkap suasana sore menjelang senja kali ini.
 “Selamat sore ksatria, benarkah engkau datang kesini dengan bekal cinta? saya terkejut. Suara itu, duh,,, desir-desir halus mulai mempermainkan degup jantung. Sejenak saya menoleh. Barangkali sapaan itu bukan untuk saya. Tetapi, saya tak menemukan siapapun di sini. Sedangkan Tarib, Ilyas dan Zaini (tiga teman penjemput senja), tampaknya sedang asyik melihat-lihat candi Sewu di seberang jalan.
Aku menyapamu ksatria,,,
Em.. maaf,,, sayakah yang panjenengan maksud?
Apa ada ksatria lain disini?”                               
Barangkali ada. Tapi saya tidak tahu.
Hanya ada satu ksatria pecinta senja yang datang dari tanah garam hari ini. dan itu adalah kamu. Saya tersenyum mendengarnya. Lebih tepatnya sedikit tersipu karena malu.
Kau belum menjawab pertanyaanku ksatria
Pertanyaan yang mana?
Apakah benar engkau datang dengan bekal cinta.
Bahkan saya tak paham cinta, em,,,
Putri. Panggil saya putri” potongnya.
Iya tuan putri. Saya kurang paham dengan pertanyaan tadi.
Baiklah ksatria. Lupakan pertanyaan itu, aku ganti dengan pertanyaan yang lain” hening sejenak. “Untuk apa jauh-jauh, kau datang kesini Ksatria?” tanyanya sambil tersenyum.
Saya ingin menikmati senja Tuan Putri. Karena saya begitu menyukai ronanya yang indah.
Seperti itulah cinta, Ksatria... Terkadang kau merasa bingung untuk menjelaskannya. Padahal engkau benar-benar nyata merasakannya.
Iya Tuan Putri. Saya memang harus belajar lebih banyak lagi untuk memahami cinta.
Ada seseorang yang bisa mengajarimu ksatria
Benarkah Tuan Putri? Siapa?” tiba-tiba hatiku bergetar. (engkaukah itu duhai,,,?)
Dia begitu dekat denganmu, meski kau memang tak pernah menikmati senja bersamanya. Dia memiliki cinta yang lain. Cinta yang lebih indah dari rona senja. Lebih bening dari embun subuh. Lebih wangi dari bunga melati. Tapi, dia juga begitu pandai menyembunyikan perasaannya padamu selama ini.
Siapakah dia tuan Putri? Rasa penasaran semakin mendera dalam hati.
“Namanya adalah,,,”
“Hei...!! kok melamun?!” Tiba-tiba suara Tarib membuyarkan semuanya. Saya terkejut. Sosok Tuan Putri yang sejak tadi berdiri di hadapan saya juga raib begitu saja.
Lho,,, ada apa? seperti kehilangan sesuatu? Zain, yang memang sudah sampai di samping saya juga menambah kebingungan ini. Satu persatu  saya tatap wajah “para penjemput senja” itu. Moh. Tarib, Zaini, Ilyas. Semua menunjukkan keheranan yang sama. Saya juga heran dengan semua ini.
“Kemana Tuan Putri itu?” Tanya saya pada mereka.
“Tuan Putri yang mana?
Putri yang memakai baju manik-manik itu?” sejenak mereka saling bertatapan bingung. Kemudian perlahan ada seulas senyum yang mengihias bibir mereka. Entahlah,,, barangkali mereka tersenyum melihat tingkah aneh saya. Tapi sungguh, saya tidak sedang main-main dengan kenyataan ini. jangan-jangan,,, duh,,, kecamuk pertanyaan beruntun menerpa kapala saya. Kebingungan demi kebingungan juga mendera satu-satu.
Ah,,, sudahlah,,, lupakan hal-hal yang menyangkut tuan putri atau siapapun itu. Sebaiknya, sekarang  kita berkeliling dulu. Mumpung senja belum datang.” Ucap Ilyas. Lalu mereka beranjak. Mau tidak mau, Saya juga beranjak. Melangkah dengan kebingungan. Sosok itu... duh,,, siapakah nama yang akan disebutkan olehnya? Perlahan, muncul seraut wajah lain dalam bayang-bayang mata saya. Bukan Tuan Putri yang tadi. Melainkan seraut wajah teduh dari Perempuan berhati wangi.

 Lalu saya memilih diam dan tertunduk dalam hening ini. menyunggi ribuan tanya dalam perjalanan pulang ini.
*****
Jogjakarta, 22032012

2 komentar:

  1. hai afan, bagus banget tulisannya! ajarin kita-kita donk... http://lukisyarif.blogspot.com/

    BalasHapus
  2. hai juga Mas Amir,,, terimakasih apresiasinya Mas...
    saya belajar dari tulisan-tulisan sampeyan..
    terimakasih sudah menginspirasi saya...

    BalasHapus