Aku mencintaimu,,, Senja...


Seolah memasuki lembaran mimpi, saat motor yang kukendarai meninggalkan alun-alun kota Jogjakarta. Berbagai macam kendaraan yang bersalipan seolah menjadi ritme mistis yang melatari perjalanan menuju laut selatan. Deretan pohon-pohon yang teduh, hamparan sawah-sawah yang mulai menghijau, beberapa papan reklame yang berdiri tegak di sepanjang jalan, menjadi pelengkap perjalanan menjemput senja kali ini. sungguh, ini perjalanan yang indah...

Semakin berkesan saja, saat perjalanan sampai di perempatan selatan kota Jogja. Dua orang penari topeng melenggak lenggok dengan gerakan yang indah. Topeng yang dikenakan di wajahnya seakan menarikku dalam dunia pewayangan. Arjuna dan Srikandi. Dua tokoh pewayangan itu seolah hadir diantara deretan panjang kendaraan yang berhenti di depanku. Menyuguhkan liukan masa lalu yang mempesona. Seorang penabuh “kenong” yang mengiringi tarian “Arjuna dan Srikandi” duduk persis di bawah tiang traffic light samping kiri jalan. Gerakan tangan kanan dan kirinya begitu lincah memukul kenong secara bergantian. Menciptakan alunan musik tradisional yang sederhana. Tapi tetap enak di dengar.

Sayang, lampu hijau dari traffic light keburu merenggut momen yang indah ini. Puluhan kendaraan yang semula diam, serentak menderu, melaju meninggalkan para penari itu. Kami kembali berpacu dalam perjalanan masing-masing. Meniti waktu yang terus berlalu.

Belum sampai tiga puluh menit perjalanan, tiba-tiba mendung tebal meluruhkan gerimis satu-satu. Rintiknya begitu bening dan memukau. Aku bersorak kecil dalam hati. Gerimis ini, dingin ini, suasana ini,,, (ah,,, tiba-tiba aku ingin main hujan bersama Nayla,,, karena aku tahu, ia sangat suka berbasah dalam hujan). tapi kemudian aku tersadar, bahwa ini Jogja. Bukan di kotanya, atau di kotaku. Jadi aku harus memeram lagi keinginan ini, entah sampai kapan.

aku pilih berteduh dari guyuran hujan. bukan karena tidak suka hujan. tapi karena harus menjaga kondisi tubuh agar tetap prima—setelah beberapa hari sempat kurang sehat. aku memang belum setangguh adikku, Mulasih, yang berani berkata /biarlah aku digempur guntur/ dalam basah hujan yang tak perawan// (sajak “Luka”). Paling tidak, kali ini, biarlah aku pilih berdamai saja dengan kondisi tubuh. tidak mengambil resiko terlalu besar dalam perjalanan pertamaku menjemput senja ke Parangtritis. Sekali lagi bukan karena tak suka hujan. sebab hujan juga bagian dari nafasku.

Beberapa saat lamanya aku terpasung dalam kegelisahan yang nyata. Berbagai kecemasan menderu dalam dada. Bagaimana kalau hujan tak reda? Bagaimana kalau senja tertutup mendung? Bagaimana kalau aku terlambat datang ke Parangtritis lantaran hujan yang tak kunjung menghilang? Apakah ini akan menjadi perjalanan yang sia-sia? Ah,,, semoga tidak. Semoga tidak. Perlahan aku menutup mata. Berdoa dengan segala ketulusan yang tersisa, agar hujan segera reda. Agar aku bisa menjemput senja.

Engkau Maha Medengar ya Allah,,,

Sungguh, seperti sebuah keajaiban. Perlahan guyuran hujan mulai mereda, menipis, lalu hilang tertiup angin. Tinggal jalanan yang basah oleh genangan air. Tak apa. Ini adalah anugerah. Maka, kembali aku membaur dengan para pengendara lain yang lebih dulu beranjak ke jalanan. Senyum simpul mengalirkan keceriaan dalam hati.

Tunggu aku senja,,,

Memasuki pintu gerbang Parangtritis, detak jantungku mulai berpacu lebih cepat. Duh,, aku sudah tidak sabar untuk menikmati senja di laut selatan ini (laut yang di dalamnya—konon—berdiri megah istana Ratu Pantai Selatan) Sekilas, matahari memang sudah mulai congdong ke arah barat. Sementara Jam di tangan kananku menunjukkan pukul 17.03 WIB.

Setelah melewati gundukan pasir hitam. Hamparan laut selatan membentang di depan mataku. Subhanallah,,, luar biasa. Laut selatan yang selama ini hanya bisa aku kenal lewat cerita dan tayangan televisi. Kini benar-benar nyata di depanku. Laut yang membentang, gulungan ombak yang tinggi, hempasan buih yang memutih di pantai, bentangan pasir yang memanjang ke arah barat, jejeran batu karang yang menjulang di sisi timur, sungguh, merupakan sulaman keindahan alam yang begitu mempesona. Apalagi semburat jingga yang membias dari ufuk barat semakin menambah indah suasana. Aku benar-benar takjub melihatnya.

Selamat sore senja,,, apa kabarmu? Aku datang dari tanah garam untuk menjemputmu. Bolehkan aku petik ronamu untuk perempuanku; perempuan berhati bening yang mulai jatuh cinta juga pada bias jinggamu.

Tak sanggup menunggu terlalu lama,,, secepatnya kupacu motor menuruni gundukan pasir hitam. Lebih mendekat ke pantai, memarkirnya, lalu berlari sambil menghirup udara laut yang selalu mengundang rindu. Jika saja aku menemukan kosa kata baru yang sanggup menggambarkan kebahagiaan ini, maka aku pasti menggunakannya sekarang. Pertemuanku dengan senja. Menjadi pijaran senyum dan airmata haru. Deburan ombak, rona merah saga, gulungan awan, pasir pantai yang lembut, amboii,,, tak akan bisa kulukiskan dengan kata. Tak akan mampu kugambarkan dengan kalimat biasa.

Aku mencintaimu senja,,, seperti aku mencintai gerimis di hatiku.
sesaat menatap senja,,,, sebelum berlari menjemputnya...


avan dan senja,,, dua kutub cinta yang bersua di laut selatan...

Zhain, Avan, Ilyas... Para penjemput senja... (hehe...)

Tarib, Ilyas, Avan... latian mejeng sebelum senja... ^_^


**Thanks to: Mohammad Tarib, Ach. Zaini, dan Moh. Ilyas—Tiga mahasiswa UIN SUKA yang luar biasa. (Karena kalianlah, aku bisa menjemput senja ke Parangtritis. Kalian juga sudah mewarnai Maret yang cantik ini dengan pelangi ketulusan. Aku belajar banyak dari kalian tentang ukhuwah, keikhlasan dan senyum keceriaan) 
eh,,, ada catatan khusus untuk kalian lho... ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar