Perempuan berhati Bismillah...

     “Kau menangis Nay,,,?” tanyaku terkejut saat melihat perempuan berkerudung coklat itu sebab air mata. Sejenak aku tertegun. Apa yang salah dari semua ini? jangan-jangan Nayla tersinggung? Tidak mungkin. Aku paham siapa Nayla. Perempuan sederhana serupa purnama itu, memiliki hati yang lebih lembut dari beludru.
     Tapi air mata itu? Begitu bening mengaliri pipinya yang langsat. Satu-satu jatuh diantara tangan dan pangkuannya. Air mata itu menjelma perih yang menjalar di ruang hatiku. Sakit.
     Aku tak punya bahasa lagi untuk bertanya. Hanya membiarkan isaknya menggores-gores ketidakpahamanku. Melahirkan rasa gamang yang bergelimang resah.
     Ah, Nayla. Ada apa? Bisikku tak terucap. Hanya tersembul dalam hati.
     “Maaf, saya tiba-tiba tak mampu menahan air mata” katanya sambil berusaha tersenyum.
     “Ah, tidak apa-apa Nay,,, tapi kau baik-baik saja kan?” tanyaku memastikan. Ada rasa cemas yang tak biasa. Melebihi kecemasan terhadap apapun yang menimpaku akhir-akhir ini.
     “Iya. Saya tidak apa-apa.”
     “Sungguh?” aku masih belum yakin.
     “Sungguh. Saya baik-baik saja.” Begitulah Nayla. Akan selalu berhasil dengan cepat menguasai perasaannya.
     “Tapi kenapa kau menangis?”
     “Saya tidak tahu juga kenapa menangis”
     “Kau pasti punya alasan Nay,,,”
     “Apa setiap tangisan harus punya alasan?”
     “Setahuku iya. Meski tidak semuanya mampu diungkapkan.”
     “Saya tersentuh mendengar lagu itu.”
     “Lagu apa Nay,,,?” tanyaku penasaran.
     “Hymne Guru…” katanya lirih. “Saya teringat dengan beliau” sambungnya di sela isaknya yang tertahan. Aku tertegun mendengar pengakuannya.
     Sejenak, aku hanya bisa terdiam. Hening. Aku kehilangan kata-kata. Entah kemana kalimat-kalimat itu bersembunyi. Apa yang harus aku katakan pada Nayla, sementara ia kembali berlinang air mata?
     Kubiarkan dulu Nayla menuntaskan tangisnya. Wajar jika ia menangis. Sebab beberapa saat sebelum aku menemuinya, lagu itu memang terlantun dari paduan suara yang mengiringi prosesi pelepasan siswa kelas akhir. Barangkali lagu itu telah mengantarkan Nayla pada kenangan, tentang seseorang yang begitu dicintainya. Begitu dihormatinya. Bagitu disayanginya. Kenangan tentang seorang Ayah yang sangat berarti baginya.


     Menangislah Nayla,,,
     Lepaskan semua bebanmu.
     Teruslah menangis sambil meniti kedamaian.


     Menangislah Nayla,,,
     Luapkan air mata itu untuk pencuci lukamu.
     Bersihkan segala perihmu hingga menjelma bunga.


     Menangislah Nayla,,,
     Menangislah dengan hatimu.
     Karena air mata adalah barisan doa yang paling bermakna.


     Perlahan, ingatanku juga kembali pada peristiwa setahun yang lalu. Ya. Peristiwa yang sama. Prosesi pelepasan siswa kelas akhir. Lagu hymne guru mengalun bersama denting piano yang aku mainkan. Ada seseorang di sana, Setahun yang lalu. Seseorang yang sangat berarti bagi Nayla, juga buatku. Yang mengajari banyak hal tentang hidup dan kehidupan. Yang menunjukkan jalan saat aku mulai kebingungan.
     Seseorang yang seharusnya saat ini juga berada di sini. Saat lagu hymne guru kembali dilantunkan. Tapi betapa memang, Allah lebih menyayanginya. Memanggilnya dengan cepat sebelum aku sempat belajar lebih banyak lagi tentang berbagai hal.
      Dan sekarang, bagaimana mungkin aku tidak akan memahami air mata yang tiba-tiba merebak di sepasang kelopak mata Nayla? Aku paham. Sangat paham tentang gejolak di hatinya. Tentu saja aku merasakan apa yang ia rasakan sekarang. Nayla pasti kehilangan. Pasti. Ia yang semestinya masih bermanja pada sosok seorang Ayah, kini harus menjalani hidup hanya dengan Ibu dan saudaranya yang masih kecil.
     Tapi aku percaya Nayla mampu. Ia adalah sosok yang tegar. Ia juga yang telah membuatku mampu bertahan dalam kepedihan setelah sebulan yang lalu dicabik-cabik seseorang. Saat itu kondisiku benar-benar mengenaskan. Begitu hancur. Aku seperti tak punya harapan lagi untuk bertahan hidup setelah hati dan kepercayaanku dikhianati oleh seseorang. Ditengah keterpurukanku saat itu, Nayla hadir serupa malaikat yang menyelamatkanku. Menyejukkan.
     “Barangkali, Allah punya rencana lain yang lebih baik. Jadi untuk apa diratapi dengan berlebihan?” katanya menguatkanku saat itu.
     “Tapi aku belum bisa menerima kenyataan ini Nay,,,” ucapku lirih.
     “Saya tahu… Sebab hati tidaklah sama seperti kertas bertuliskan pencil, yang dengan mudah dihapus dengan karet. Hati, tetaplah hati. Tempat segala kenangan tersimpan abadi. Entah, apakah kenangan itu manis, atau perih. Semua akan tersimpan rapi dalam hati. Tidak perlu kita hapus semua kenangan itu. Biarkan saja mengendap, menjadi semacam pelajaran agung yang tentu saja tak bisa ditukar dengan apapun.”
     “Sulit Nay,,,”
     “Bukan berarti tidak bisa kan? Hanya satu yang bisa kita lakukan agar berhasil.”
     “Apa?” tanyaku tak sabar.
     “Ikhlas.” Aku terdiam. Tampaknya, Nayla juga sengaja memberi jeda pada kalimatnya. “Jika kita ikhlas terhadap apapun yang menimpa kita, maka, insya allah segala luka dan perih akan menjelma kuntum melati yang indah. Aromanya akan menentramkan jiwa kita. Ikhlas berarti kita menerima dengan segenap penghayatan spiritual.” Ungkapnya dengan senyum. kalimat-kalimat penuh kesejukan itulah, yang kemudian menjadi salah satu sandaranku dalam mengobati segala luka, hingga akupun mampu tersenyum kembali. Sungguh, sejak saat itu aku menyebutnya perempuan berhati bismillah. Perempuan yang selalu menyandarkan segala hal hanya dalam kerangka bismirobbikalladzi kholaq.
     Dan kini, saat Nayla menyuguhkan orkestrasi isak di hadapanku, bagaimana mungkin aku tidak ikut merasakan kesedihannya, sedangkan itu juga kesedihanku? Aku juga tahu bahwa air matanya berasal dari kedalaman hatinya yang selalu wangi bismillah.
     “Nayla,,, aku bisa memahamimu jika saat ini kau menangis, karena aku juga merasakan pedihmu”. Hanya kalimat itu yang terucap dari mulutku. Selebihnya, mataku juga mulai menghangat dengan air mata.
     “Jika aku di posisimu, aku pasti akan melakukan hal yang sama. Menangis bukan sebuah kesalahan Nay,,, meneteskan air mata juga bukan berarti kita cengeng. Air mata merupakan luapan jiwa. Kanjeng Rasul juga meneteskan air mata saat beliau merasakan kesedihan. Apalagi kita? Aku bahkan lebih parah darimu kan? Tiga minggu yang lalu kau melihat sendiri betapa aku begitu rapuhnya. Tapi dengan ketelatenanmu menasehatiku, aku sekarang bisa tegar.” Aku berhenti sejenak sembari menghela nafas. Sementara Nayla pelan-pelan mulai bisa menguasai diri lagi.
     “Aku belajar banyak hal darimu Nay,,, tentang ketegaran dan keikhlasan itu. Aku tahu kau perempuaan hebat. Kau kuat Nay,,, jadi aku yakin kau akan sanggup melewati semua ini dengan baik. Jikapun saat ini kau menangis, aku percaya itu adalah doa untuk beliau. Dan aku yakin kau tidak akan mengecewakannya. Bangkaitlah sekarang, untuk menjalani hidup dengan penuh semangat dan keyakinan pada Allah. apapun yang kita alami merupakan hadiah terindah dariNYA untuk kita. Bukankah kita paham, bahwa Allah tidak akan memberikan sebuah ujian diluar batas kemampuan hambanya? Jadi tersenyumlah sekarang Nay,,, Tersenyum bukan berarti menyepelekan hidup. Tersenyum adalah wujud ketegaran dari sebongkah hati meski mengalami peristiwa hidup yang kurang mengenakkan..” Aku melihat ada bias senyum di birir Nayla.
     “Terimakasih atas semua hal hari ini” katanya.
     “Sama-sama Nay… tapi aku masih berhutang banyak hal padamu.”
     “Utang apa?”
     “Utang motivasi dan penyadaran hidup.”
     “Bukankah kita harus saling tolong menolong dalam kebaikan?” tanyanya sambil tersenyum. Indah. Aku hanya mengangguk sembari menjawab senyumnya.
     Terimakasih Allah,,,, binar ketegaran itu kembali menyala pada mata Nayla, Perempuan dengan hati yang selalu Wangi Bismillah.
*****   
*turut berduka Nayla,,, semoga beliau mendapatkan tempat yang indah di sisiNYA.
Amin…




**dipublikasikan di facebook, 19 Juni 2011 pukul 14:14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar