Lalu, tiba-tiba seseorang bertandang ke hadapanku. Berdiri dengan sepasang mata yang bening. Senyumnya begitu teduh menyapa hatiku yang masih ranum air mata. Tanpa bicara, ia menyodorkan kotak kecil berwarna putih. Sedikit tergeragap, aku tersurut. Aku menatapnya, sambil memastikan siapakah perempuan itu?
“ini untukmu” katanya dengan suara lembut.
“apa itu?” tanyaku bingung.
“ini milikmu”
“Iya, tapi apa?”
“Sesuatu yang selama ini hilang darimu”
“Aku tidak kehilangan apa-apa” kataku heran.
“Ah, kau ini,,, ambillah”
“Tapi aku tidak kehilangan apa-apa?”
“Percayalah padaku… ambillah, karena ini milikmu.”
“Aku percaya,,, tapi...”
“Kenapa?”
“Aku bingung”
“Bingung kenapa?”
“Bingung dengan semua ini. Kau tiba-tiba datang padaku dengan membawa kotak kecil warna putih. Lalu kau memintaku menerima kotak itu, sementara aku tidak tahu apa isinya.”
“Bukalah,,, maka kau akan paham” ujarnya tersenyum mempesona.
Dengan tetap menatapnya, aku mengambil kotak putih itu dari tangannya. Membukanya pelan-pelan. Tetapi reflek aku menutupnya kembali. Sungguh, betapa aku sangat terkejut melihat isinya. Tiba-tiba badanku bergetar hebat. mataku memanas. Air bening perlahan merebak di kelopak mata. Kemudian mengaliri sepasang pipiku. Deras. Ada rasa sesak di dada. Aku tertunduk sambil menahan isak.
Sakit ini.
Pedih ini.
Luka ini.
Membuncah.
Merinai gerimis jauh di dalam dada.
“Aku menemukannya terserak di jalanan beberapa minggu yang lalu” katanya dengan suara selembut salju. “Kemudian aku memungutnya. Membawanya pulang, Membersihkannya dari segala sakit dan perih. Aku mengobati beberapa sayatan luka yang menggoresnya. Aku merawatnya berhari-hari sampai benar-benar pulih. Lalu aku mencarimu. Dari senja ke senja. Kemudian aku mendapati kabar, kau terbiasa menghabiskan senja di sini. Jadi aku menyusulmu ke sini untuk menyerahkan kotak itu padamu.” Suaranya semakin menderaskan air mataku. Entah, apa yang harus aku katakan sebagai ungkapan terimakasih padanya.
“Siapakah engkau sebenarnya, wahai perempuan berhati malaikat?” tanyaku masih dalam isak.
“Ah, jangan paggil aku berhati malaikat, karena masihlah manusia biasa yang penuh kekurangan… Kau mungkin tidak mengingatku. Tapi kita pernah bertemu, di sebuah senja yang ranum. Dua bulan yang silam. Saat itu aku melihatmu begitu murung. Tidak ada rona keceriaan sama sekali di wajahmu. Bahkan, nyaris setiap hari kau meratapi nasib yang kau alami.” Aku semakin terperangah dengan penjelasannya. Bagaimana bisa ia mengetahuinya, sedangkan saat itu aku tengah membalut luka di tanah seberang.
“Kamu…?”
“Iya… aku orang yang pernah menyapamu saat itu, karena aku ikut prihatin dengan nasib yang kau alami. Bukankah kau seolah kehilangan masa depan?”
“Iya. Kau benar. lalu bagaimana kau sampai di sini dan menemukan hatiku ini?”
“Seperti yang aku katakan tadi. Setelah aku tahu, kau bersedih lantaran hatimu yang sudah tercerabut dan hilang, lalu secara diam-diam aku mencarinya. Aku tahu kau terluka karena seseorang telah mengambil hatimu, lalu mencampakkan begitu saja entah dimana. kau kehilangan hatimu sejak saat itu bukan? Sengaja aku tidak meminta ijin terhadapmu karena aku tahu kau tengah terluka dan aku tidak mau mengganggumu.” Hening sejenak.
“sekarang, tidak ada alasan lagi bagimu untuk terus bersedih. Aku sudah menemukan hatimu. Sudah menyembuhkan lukanya. Sudah membuang rasa perihnya. Hatimu masih utuh dalam kotak putih itu. Ambillah,,, taruh kembali di tempat semula. Lalu tersenyumlah. Mentari esok selalu menantimu.” Ada rasa damai di dada, mendengar suaranya. Begitu menyejukkan. Sungguh betapa perempuan dengan paras bidadari itu, memang berhati malaikat. Nyaris aku tidak bisa berkata apa-apa lagi mengingat perhatiannya yang tak bisa aku bahasakan. Sejenak, ditengah rasa haru, aku mencoba memejamkan mata sambil menghirup udara dalam-dalam. Damai.
“Maukah kau menolongku sekali lagi?” tanyaku setelah berhasil menguasai diri.
“Selama aku bisa, insya allah aku akan membantumu. Tentang apa?” tanyanya dengan wajah ceria. Sungguh, begitu tulus hatinya.
“Maukah kau menerima ini?” tanyaku menyodorkan kembali kotak putih berisi hatiku itu.
“Aku?”
“Iya. Kamu”
“Tapi ini hatimu”
“Justru karena ini hatiku, maka aku berikan padamu”
“Kenapa padaku?”
“Karena hanya kau yang mampu merawat hatiku. Menyembuhkan lukanya. Membersihkan segala perih dan pedihnya. Dan aku yakin,,, kau akan menjaga hatiku itu seperti kau menjaga dirimu sendiri.” Aku melihat mata perempuan di hadapanku itu merembes air mata.
“Kenapa menangis, kau tidak suka?”
“Bukan.”
“Apa aku salah bicara?” tanyaku cemas.
“Tidak, Mas…”
“Lalu kenapa menangis?”
“Aku terharu… sama sekali aku tidak menyangka, kau akan memberikan hatimu padaku. karena, jujur, aku memang sangat ingin memiliki hatimu. Entahlah,,, aku tidak tahu kapan perasaan ini muncul. Tanpa sadar, setelah beberapa minggu aku merawat hatimu, ada rasa lain di dadaku, aku tidak tahu apa namanya ini.” akhirnya perempuan di hadapanku itu bercerita semuanya. Tak ada sisa.
“Jika demikian, kau adalah orang yang tepat untuk merawat hatiku. Ambillah,,,” kataku seraya tersenyum. Sejenak perempuan itu termangu. Aku mencoba meyakinkannya dengan menganggukkan kepala padanya. Beberapa saat kemudian, barulah perempuan itupun mengambil kotak putih berisi hatiku itu. Pelan-pelan membukanya. Lalu meletakkan hati itu dengan penuh kelembutan.
“Terimakasih Mas… aku berjanji akan menjaganya seperti menjaga nyawaku sendiri. tapi,, Mas dari mana akan mendapatkan hati pengganti?” tanya perempuan itu cemas. Aku tersenyum melihat kecemasannya.
“Saat kau mengambil hatiku,,, sebenarnya aku sudah menggantinya dengan hatimu. Jadi sekarang kita sama. Kau memakai hatiku, dan aku memakai hatimu. Kita akan bersama-sama merawatnya. Kau mau?” lalu aku tidak mendengar suaranya sebagai jawaban. Melainkan rengkuhannya. Wajahnya tiba-tiba rebah di dadaku. Isaknya tertahan. Ada rasa haru di dadaku. Senja semakin merona.
Aku menemukan bias purnama di keningnya.
Pelan-pelan merambat, mengalir, menelusup dalam jiwa.
Menorehkan sebaris puisi tentang cinta.
***
“ini untukmu” katanya dengan suara lembut.
“apa itu?” tanyaku bingung.
“ini milikmu”
“Iya, tapi apa?”
“Sesuatu yang selama ini hilang darimu”
“Aku tidak kehilangan apa-apa” kataku heran.
“Ah, kau ini,,, ambillah”
“Tapi aku tidak kehilangan apa-apa?”
“Percayalah padaku… ambillah, karena ini milikmu.”
“Aku percaya,,, tapi...”
“Kenapa?”
“Aku bingung”
“Bingung kenapa?”
“Bingung dengan semua ini. Kau tiba-tiba datang padaku dengan membawa kotak kecil warna putih. Lalu kau memintaku menerima kotak itu, sementara aku tidak tahu apa isinya.”
“Bukalah,,, maka kau akan paham” ujarnya tersenyum mempesona.
Dengan tetap menatapnya, aku mengambil kotak putih itu dari tangannya. Membukanya pelan-pelan. Tetapi reflek aku menutupnya kembali. Sungguh, betapa aku sangat terkejut melihat isinya. Tiba-tiba badanku bergetar hebat. mataku memanas. Air bening perlahan merebak di kelopak mata. Kemudian mengaliri sepasang pipiku. Deras. Ada rasa sesak di dada. Aku tertunduk sambil menahan isak.
Sakit ini.
Pedih ini.
Luka ini.
Membuncah.
Merinai gerimis jauh di dalam dada.
“Aku menemukannya terserak di jalanan beberapa minggu yang lalu” katanya dengan suara selembut salju. “Kemudian aku memungutnya. Membawanya pulang, Membersihkannya dari segala sakit dan perih. Aku mengobati beberapa sayatan luka yang menggoresnya. Aku merawatnya berhari-hari sampai benar-benar pulih. Lalu aku mencarimu. Dari senja ke senja. Kemudian aku mendapati kabar, kau terbiasa menghabiskan senja di sini. Jadi aku menyusulmu ke sini untuk menyerahkan kotak itu padamu.” Suaranya semakin menderaskan air mataku. Entah, apa yang harus aku katakan sebagai ungkapan terimakasih padanya.
“Siapakah engkau sebenarnya, wahai perempuan berhati malaikat?” tanyaku masih dalam isak.
“Ah, jangan paggil aku berhati malaikat, karena masihlah manusia biasa yang penuh kekurangan… Kau mungkin tidak mengingatku. Tapi kita pernah bertemu, di sebuah senja yang ranum. Dua bulan yang silam. Saat itu aku melihatmu begitu murung. Tidak ada rona keceriaan sama sekali di wajahmu. Bahkan, nyaris setiap hari kau meratapi nasib yang kau alami.” Aku semakin terperangah dengan penjelasannya. Bagaimana bisa ia mengetahuinya, sedangkan saat itu aku tengah membalut luka di tanah seberang.
“Kamu…?”
“Iya… aku orang yang pernah menyapamu saat itu, karena aku ikut prihatin dengan nasib yang kau alami. Bukankah kau seolah kehilangan masa depan?”
“Iya. Kau benar. lalu bagaimana kau sampai di sini dan menemukan hatiku ini?”
“Seperti yang aku katakan tadi. Setelah aku tahu, kau bersedih lantaran hatimu yang sudah tercerabut dan hilang, lalu secara diam-diam aku mencarinya. Aku tahu kau terluka karena seseorang telah mengambil hatimu, lalu mencampakkan begitu saja entah dimana. kau kehilangan hatimu sejak saat itu bukan? Sengaja aku tidak meminta ijin terhadapmu karena aku tahu kau tengah terluka dan aku tidak mau mengganggumu.” Hening sejenak.
“sekarang, tidak ada alasan lagi bagimu untuk terus bersedih. Aku sudah menemukan hatimu. Sudah menyembuhkan lukanya. Sudah membuang rasa perihnya. Hatimu masih utuh dalam kotak putih itu. Ambillah,,, taruh kembali di tempat semula. Lalu tersenyumlah. Mentari esok selalu menantimu.” Ada rasa damai di dada, mendengar suaranya. Begitu menyejukkan. Sungguh betapa perempuan dengan paras bidadari itu, memang berhati malaikat. Nyaris aku tidak bisa berkata apa-apa lagi mengingat perhatiannya yang tak bisa aku bahasakan. Sejenak, ditengah rasa haru, aku mencoba memejamkan mata sambil menghirup udara dalam-dalam. Damai.
“Maukah kau menolongku sekali lagi?” tanyaku setelah berhasil menguasai diri.
“Selama aku bisa, insya allah aku akan membantumu. Tentang apa?” tanyanya dengan wajah ceria. Sungguh, begitu tulus hatinya.
“Maukah kau menerima ini?” tanyaku menyodorkan kembali kotak putih berisi hatiku itu.
“Aku?”
“Iya. Kamu”
“Tapi ini hatimu”
“Justru karena ini hatiku, maka aku berikan padamu”
“Kenapa padaku?”
“Karena hanya kau yang mampu merawat hatiku. Menyembuhkan lukanya. Membersihkan segala perih dan pedihnya. Dan aku yakin,,, kau akan menjaga hatiku itu seperti kau menjaga dirimu sendiri.” Aku melihat mata perempuan di hadapanku itu merembes air mata.
“Kenapa menangis, kau tidak suka?”
“Bukan.”
“Apa aku salah bicara?” tanyaku cemas.
“Tidak, Mas…”
“Lalu kenapa menangis?”
“Aku terharu… sama sekali aku tidak menyangka, kau akan memberikan hatimu padaku. karena, jujur, aku memang sangat ingin memiliki hatimu. Entahlah,,, aku tidak tahu kapan perasaan ini muncul. Tanpa sadar, setelah beberapa minggu aku merawat hatimu, ada rasa lain di dadaku, aku tidak tahu apa namanya ini.” akhirnya perempuan di hadapanku itu bercerita semuanya. Tak ada sisa.
“Jika demikian, kau adalah orang yang tepat untuk merawat hatiku. Ambillah,,,” kataku seraya tersenyum. Sejenak perempuan itu termangu. Aku mencoba meyakinkannya dengan menganggukkan kepala padanya. Beberapa saat kemudian, barulah perempuan itupun mengambil kotak putih berisi hatiku itu. Pelan-pelan membukanya. Lalu meletakkan hati itu dengan penuh kelembutan.
“Terimakasih Mas… aku berjanji akan menjaganya seperti menjaga nyawaku sendiri. tapi,, Mas dari mana akan mendapatkan hati pengganti?” tanya perempuan itu cemas. Aku tersenyum melihat kecemasannya.
“Saat kau mengambil hatiku,,, sebenarnya aku sudah menggantinya dengan hatimu. Jadi sekarang kita sama. Kau memakai hatiku, dan aku memakai hatimu. Kita akan bersama-sama merawatnya. Kau mau?” lalu aku tidak mendengar suaranya sebagai jawaban. Melainkan rengkuhannya. Wajahnya tiba-tiba rebah di dadaku. Isaknya tertahan. Ada rasa haru di dadaku. Senja semakin merona.
Aku menemukan bias purnama di keningnya.
Pelan-pelan merambat, mengalir, menelusup dalam jiwa.
Menorehkan sebaris puisi tentang cinta.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar