Dengan bismillah, kusapa waktu,,,



(catatan kecil saat jalan-jalan)






Sesaat aku berhenti di satu titik. Berdiam. Merenung. Mencoba menimbang ikhwal keinginan untuk menggelar perjalanan malam. Karena tentu saja perjalanan malam hari akan menemu sepi, dingin, dan gugusan rasa ngantuk yang bertubi-tubi. Tapi ada gelombang rasa yang lain di sana. Di bagian terdalam ikhwal keinginan, yang jauh lebih kuat dibanding sepi, dingin, kantuk dan cemas.


Rasa itu bernama Rindu.


Tentu saja, itu menjadi alasan terhebat untuk menggelar perjalanan malam. Dari satu kota ke kota yang lain. Dari ruas jalan yang satu ke ruas jalan yang lainnya. Pasti akan ada sederet senyum yang bersisian saat merambat, melesat, meliuk diantara temaram lampu jalanan dan silau cahaya kendaraan lainnya saat salipan. Sebab sekali lagi, karena ini perjalanan tentang rindu.


Dengan bismillah, kusapa waktu bersama si “kupu-kupu rindu” (motor matic tersayang). Pukul 22.05 WIB. Perjalanan siap dimulai. Sarung tangan warna hitam, jaket tebal warna hitam, masker warna hitam, helm SNI warna hitam, celana jeans warna biru, Sepatu kain warna abu-abu, tas ransel penuh baju, serta sederet mimpi tentang rindu, sudah menggelayut di benakku. Siap menemani perjalanan malam yang bakalan syahdu.


Bismillahi tawakkaltu ‘alallah,,,
Melesat dengan kecepatan 90km/jam, diantara deretan pohon-pohon asam yang seolah berlari ke arah belakang dan diantara gelap dan remang jalanan. Senandung lembut Maher Zain dari MP3 HPku menemani setiap jengkal jarak yang kutinggalkan. Aku memang suka mendengarkan lagu-lagu melalui HP yang sudah kupasangi headset, apalagi dalam perjalanan. ini menjadi teman yang mengasyikkan. Tentu saja aku juga tetap bisa berkonsentrasi ke jalanan, karena ini menjadi hal utama yang harus diperhatikan. Salah-salah, nyawa bisa melayang.


Tepat di Kilo Meter ke 21 aku menepi. Menghentikan “kupu-kupu rindu”. Sejenak berdiri sambil menggerak-gerakkan badan yang sedikit penat. Padahal perjalanan baru saja dimulai. Sekilas kulihat HP. Tak ada pemberitahuan apapun. Hanya layar kecil dengan background perempuan berkebaya kuning yang memegang seikat bunga. Ahaa,,, tiba-tiba senyumku mengembang.
     “Sabar ya,, aku pasti akan datang dengan sedikit kejutan,,, seperti aku juga pernah datang di mimpimu, yang sempat kau kisahkan beberapa waktu yang lalu.” bisikku penuh rindu.


Kualihkan pandanganku ke jalan raya. Mencoba memastikan, apa sahabatku sudah kelihatan dari ujung jalan? Ternyata nihil. Kulirik jam di lengan kananku, Pukul 22.25 WIB. Padahal kami berjanji akan bertemu pukul 22.15 WIB. Mestinya, tepat di titik itu, kami sudah bertemu. Tapi, ya,,, begitulah, kebiasaan buruk yang kami punya masih belum bisa hilang. Aku telat 10 menit, sedangkan sahabatku? Ah,, tidak tahu pukul berapa dia bakalan datang. Sebelumnya, kami memang berjanji untuk menggelar perjalanan malam dengan bersama-sama. Tujuan kami sama. Ada beberapa agenda ke sebuah kota di seberang sana. Dia akan mencari “gadis misterius” yang diyakini sebagai potongan tulang rusuk sebelah kirinya. Selama ini, sahabatku memang hanya mengenalnya lewat facebook dan HP. Tapi dia begitu yakin bahwa orang itulah yang selama ini dicarinya untuk menemani kehidupannya. Sedangkan aku,,,? Hohoho,,,, tentu saja tak perlu kukatakan sekarang…


15 menit kemudian, sahabatku datang dengan senyum tanpa dosa. Garuk-garuk kepala sambil bilang “sorry kawan, tadi masih belanja bentar.” Kulirik, di tangannya menggantung tas kresek putih yang agak besar. Tak perlu kutanya apa isinya. Yang penting dia sudah datang. Oh iya,, karena aku orang baik (halah,,,) maka kumaafkan keterlambatannya… hehe…


Rapat singkat tentang mekanisme perjalanan di gelar. Tersepakati, sahabatku yang nyetir, aku yang bonceng. Ini konsekwensi atas keterlambatannya, (^_^). Lalu, mulailah perjalanan yang sesungguhnya kami gelar. Melewati tanjakan, tikungan, jalan bergelombang dan berlubang, kota-kota yang mulai bersolek menyambut Idul Fitri, hutan jati, dan beberapa jembatan yang mulai memprihatinkan.


Pukul 01.15WIB  kami sampai di rumah kontrakan sahabatku, di bangkalan. Kami memang sudah berjanji untuk kesana sekitar tengah malam. Jadi ia sudah menunggu dengan ramah di depan rumahnya meski ada rasa kantuk yang terlihat di matanya. Tapi aku menemukan senyum ketulusan di bibirnya. Senyum seorang sahabat yang selalu ikhlas “diganggu” oleh sahabatnya yang lain. Aku menemukan keindahan ukhuwah di sini.


Keesokan harinya, selepas ziarah ke Asta Syaikhona Mohammad Kholil di bangkalan, kami melanjutkan perjalanan. Menyapa matahari pagi dengan semangat dan senyum berbias rindu. Meniti jembatan suramadu dengan penuh haru. Bertilawah di masjid Sunan Ampel dengan balutan doa dan cinta yang tak terbahasakan. Menikmati pendar-pendar Ramadhan diantara ayat-ayat cintaNYA yang selalu sejuk menyapa hati.


“terimakasih untuk Ramadhan kali ini Rob,,,” bisikku diantara sujud panjang qobliyah al-dhuhri.
Bermanja denganNYA, dalam selimut kasih sayangNYA, tentu tak akan pernah tergantikan dengan apapun. Sebab segala ringkih hidup dan kehidupan hanya akan terselamatkan oleh bening kasihNYA yang senantiasa suci. Hal terbesar yang kurasakan di Ramadhan kali ini adalah nikmat kesehatan. Sungguh, masih tergambar jelas di ingatanku, betapa di Ramadhan tahun lalu, aku hanya bisa melewati Ramadhan dalam kungkungan rasa sakit dan ketersiksaan yang nyata. Batuk yang disertai bercak darah, juga sekujur tubuh yang terhimpit rasa sakit membuatku tak bisa berbuat banyak selain bersabar. Lalu bagaimana mungkin aku tidak menghamburkan rasa syukur dan luapan terimakasih untuk nikmat kali ini ya Allah,,,,,?


Kesempatan luar biasa, yang Allah berikan semakin membuatku ingin terus melebur dalam kedamaian cintaNYA. Dan perjalanan kali ini, adalah perjalanan rindu yang berbalut syukur. Syukur atas nikmat sehat. Syukur atas segala nikmat dan kesempatan beribadah di bulan ini. Syukur atas kemurahanNYA mengirimkan seseorang untuk menyembuhkan luka atas pengkhianatan yang orang lain lakukan padaku.


“terimakasih ya Allah,,, Engkau menuntunku untuk belajar tegar dari rasa sakit, belajar tersenyum dari segala luka, belajar memaafkan, belajar ikhlas dari segala kesemrawutan hidup. Terimakasih, Engkau telah memberikan semua kesempatan itu padaku. terimakasih Engkau telah membuatku sempat terluka”


Lalu kurampungkan sujud panjang ini. Kutiti doa sembari menitipkan sebongkah perasaan yang mulai tumbuh di hati. Sebab DIAlah pemilik segala rasa yang nyata.


*dipublikasikan di akun facebookku, 23 Agustus 2011 pukul 13:56

Tidak ada komentar:

Posting Komentar