Ucapan yang sederhana tapi penuh ketulusan dan pengabdian yang indah itu terucap dari bibir mungil Delisa. Seorang anak kecil yang masih berusia 6 tahun. Sontak, perempuan cantik yang dipanggil Ummi itu tersenyum penuh haru. Di sepasang matanya yang teduh, merebak buliran bening. Kemudian mengalir pelan-pelan di pipinya. Serupa liukan sungai rengas[1] yang elok.
“Ummi juga mencintai Delisa karena Allah,,,” balas perempuan itu sambil merengkuh kepala mungil Delisa yang berbalut jilbab. Anak itu dipeluknya dengan perasaan yang barangkali hanya seorang Ibu yang memahaminya.
Subhanallah,,,
Potongan kisah itu saya jumpai di salah satu adegan Film “Hafalan Shalat Delisa” yang kebetulan saya tonton di lembar pertama tahun 2012. Sebuah Film Religi dan Edukatif yang sanggup memporak porandakan benteng hati saya. Bagaimana tidak, lewat Film itu, Delisa (diperankan Chantiq Schagerl) sudah menyuguhkan berbagai pelajaran yang tidak kepalang tanggung pada saya. Mulai dari kesabaran dalam menjalani hidup, ketegaran atas segala penderitaan, bangkit dari luka, tersenyum di tengah petaka, berbagi untuk sesama, dan sebagainya,,, dan sebagainya...
Kurang lebih, dua pekan yang lalu, tepat di tanggal 22 Desember, saya juga melewati hari Ibu. Tapi sejujurnya, saya tidak punya kalimat seindah yang diucapkan Delisa. Entahlah, apakah saya termasuk salah satu orang yang tidak kreatif untuk mengatakan Cinta pada sosok paling berjasa yang telah melahirkan saya itu, ataukah saya teramat pengecut untuk sekedar mengucapkan hal-hal seperti itu? Maka diam-diam, saat menyaksikan adegan tersebut, hati saya juga bergumam, “Ummi,,, aku juga mencintaimu karena Allah. Seperti Delisa yang mencintai Umminya karena Allah”.
Delisa hanya tokoh dalam sebuah Film. Tapi terasa sangat hidup dalam hati saya. Dia seorang gadis kecil yang periang. Tinggal di Lhok Nga (desa kecil di pantai Aceh). Kehidupannya terasa sangat indah. Delisa merupakan anak bungsu dari keluarga Usman (diperankan Reza Rahadian). Karena Abinya bertugas di sebuah kapal tanker perusahaan minyak Internasional, maka Delisa lebih dekat dengan ibundanya yang dia panggil Ummi (Nirina Zubir), serta ketiga kakaknya yaitu Fatimah (Ghina Salsabila), dan si kembar Aisyah (Reska Tania Apriadi) dan Zahra (Riska Tania Apriadi)Mereka hidup di pesisir Lhok Nga. Keceriaan, kecentilan, keluguan sekaligus kelucuan Delisa seolah seperti bias purnama diantara orang-orang sekelilingnya. Ia akarab dengan siapapun. Menggemaskan dan tentu saja menyenangkan.
Suatu ketika, Delisa mendapatkan tugas dari gurunya, untuk menghafal bacaan Sholat. Untuk menyemangati Delisa, Umminya berjanji akan memberikan hadiah kalung jika ia bisa menghafal bacaan sholatnya dengan baik. Untuk membuktikan kesungguhannya, san Ummi mengajak Delisa ke toko Koh Acan (sahabat Abinya), seorang penjual perhiasan di pasar Lhok Nga. Saat itu—sesuai keinginan Delisa—Koh Acan mengambilkan kalung dengan huruf D sebagai liontinnya. D inisial dari Delisa. Delisa senang bukan kepalang dan tak sabar untuk mengenakan kalung itu. Tapi Umminya tetap menyimpannya. Delisa boleh memiliki kalung tersebut jika sudah berhasil mengahafal bacaan sholatnya.
Delisa menghafal diwarnai dengan sikap kakak-kakaknya yang pro dan kontra. Ustadz Rahman yang merupakan guru TPA Delisa, juga banyak mengisi hari-hari Delisa menjelang setoran hafalan shalatnya pada Ibu Guru Nur. Delisa juga sangat semangat. Ia ingin membuktikan pada orang-orang bahwa ia berhasil menghafal bacaan sholatnya untuk kemudian melaksanakan shalat sebagaimana yang lain sholat.
Tepat pada tanggal 26 Desember 2004, Delisa bersama Ummi menuju TPA dimana ujian praktek shalat akan dilaksanakan. Ketika Delisa mempraktikkan hafalan sholatnya di depan kelas, gempa yang disertai tsunami melanda bumi Aceh. Seketika keadaan berubah. Ketakutan dan kecemasan menerpa setiap jiwa saat itu. Sang Ummi berteriak-teriak dari luar. Namun, Delisa tetap melanjutkan hafalan sholatnya. Ia begitu khusuk. Begitu menyatu dengan bacaan sholatnya. Ia tidak menyadari bencana besar terjadi di sekitarnya. Saat Delisa akan melaksanakan sujud pertamanya, Air laut datang menghantamnya. Menggulung bangunan TPA dan orang-orang yang berada di sekitar tempat itu. Delisa terpelanting dan hanyut oleh terjangan air laut yang dahsyat.
Allahu Akbar.
Bencana Tsunami 7 tahun yang silam itu kembali menyentak kesadaran saya. Bagaimana mungkin hati saya tidak menangis, mengingat bencana kemanusiaan yang telah merenggut ribuan nyawa saudara-saudara saya di Aceh???
Bagaimana bisa saya tetap bertahan untuk tidak meneteskan airmata, lantas pura-pura tersenyum melihat adegan Film tersebut, sementara peristiwa itu benar-benar terjadi 7 tahun yang silam??
Tidak,,, tidak,,, rasa kemanusiaan itu menggedor-gedor hati saya. Menciptakan banjir di hati yang tidak sanggup saya bendung. Maka tumpahlah di mata saya. Menjadi aliran bening di kedua pipi.
Lalu bagaimana dengan Delisa?
Dia selamat. Delisa pingsan berhari-hari di atas bukit cadas. Dalam pingsannya Delisa melihat Ummi, kak Fatimah, kak Zahra dan kak Aisyah yang pergi. Saat ia bertanya, mereka bilang, Delisa tidak usah sedih, sebab Delisa akan mempunyai lebih banyak teman lagi.
Saat Delisa tergolek antara sadar dan tidak itulah, seorang prajurit bernama Smith menemukan dan menyelamatkannya. Sayangnya, luka parah yang ia alami membuat kaki kanan Delisa harus diamputasi. Mendapati kenyataan tersebut, Prajurit Smith bermaksud mengadopsi Delisa yang sebatang kara. Beruntung sang Abi datang. Satu-satunya harta Delisa yang tersisa.
Penderitaan Delisa membuat iba banyak orang. Tetapi ia begitu tabah menerimanya. Ia bangkit dengan kaki yang tinggal satu. Ia tersenyum meski kehilangan Ummi, dan tiga saudaranya.
Gadis kecil itu bangkit di tengah rasa sedih karena kehilangan, di tengah rasa putus asa yang menerpa Abinya serta orang-orang Aceh lainnya. Delisa hadir serupa “malaikat kecil” yang menjadi penyemangat bagi orang-orang disekitarnya. Delisa sudah memberi banyak pelajaran pada saya betapa kesedihan dapat menjadi kekuatan untuk tetap bertahan. Meskipun juga air matanya seolah tidak ingin berhenti mengalir, tetapi Delisa selalu gemilang mengubahnya jadi senyuman. akhirnya ia benar-benar memahami tentang keikhlasan. Ikhlas menerima semuanya dengan penuh senyum. Sebab di hatinya sudah tertanam asmaNYA yang agung.
“Sayang,,, suatu saat nanti, kita pasti akan bersama lagi” ucap sang Ummi dalam mimpi Delisa, sesaat sebelum kembali mengikuti ujian tes bacaan sholat setelah tsunami merenggut semuanya.
Itu kan Film?
Ya.
Tapi bukankah kita bisa belajar dari manapun. Dari siapapun. Dan dari peristiwa apapun? Setidaknya, bagi saya pribadi, Film itu—terlepas dari kelemahan dan kekurangannya—sudah banyak memberikan pelajaran tentang hidup saat menapak di awal tahun 2012.
Sungguh, saya sedikit merasa malu pada Delisa. Saya yang selama ini merasa sudah dewasa, nyatanya masih banyak mengeluh, meratapi nasib, nyaris putus asa, merasa paling tidak beruntung, dan terlalu banyak meminta pada Tuhan. Padahal saya bukan tidak tahu bahwa Allah itu pasti selalu memberikan hal yang terbaik bagi hambaNYA. Memberikan apa yang dibutuhkan, bukan apa yang diinginkan oleh hambaNYA. Allah juga tidak akan memberikan ujian diluar batas kemampuan seorang hambaNYA. Tapi dasar saya memang seorang yang barangkali kurang tabah,, ya,,, jadilah saya seorang Avan yang seringkali meratap-ratapi nasib karena tak seindah yang diinginkan. (Ah,,, semoga saudara-saudara yang sempat membaca catatan ini memiliki hati yang elok dan tidak seperti saya yang sangat lemah iman ini)
Sekarang, kisah Delisa seolah menampar kesadaran saya yang seringkali Alpa. Barangkali, selama ini saya kurang banyak bersyukur. Terlalu mengedepankan perasaan yang sentimentil dan mewek-mewek. Padahal saya juga sudah sering melafazkan “Fabi_ay ala irobbikuma tukadz_dziban”. Tapi,,, kok bisa-bisanya sering mengabaikan maknanya ya? Sekali lagi, karena saya terlalu lemah iman. Titik!
(Astaghfirullahal adzim,,, Astaghfirullahal adzim,,, Astaghfirullahal adzim,,,)
***
wallahu a'lam bish_shawab
Sumenep, 2 Januari 2012
[1] Nama salah satu sungai di kampung saya (Desa Batuputih)
*dipublikasikan di akun facebookku, 2 Januari 2012 pukul 6:01
“Ummi juga mencintai Delisa karena Allah,,,” balas perempuan itu sambil merengkuh kepala mungil Delisa yang berbalut jilbab. Anak itu dipeluknya dengan perasaan yang barangkali hanya seorang Ibu yang memahaminya.
Subhanallah,,,
Potongan kisah itu saya jumpai di salah satu adegan Film “Hafalan Shalat Delisa” yang kebetulan saya tonton di lembar pertama tahun 2012. Sebuah Film Religi dan Edukatif yang sanggup memporak porandakan benteng hati saya. Bagaimana tidak, lewat Film itu, Delisa (diperankan Chantiq Schagerl) sudah menyuguhkan berbagai pelajaran yang tidak kepalang tanggung pada saya. Mulai dari kesabaran dalam menjalani hidup, ketegaran atas segala penderitaan, bangkit dari luka, tersenyum di tengah petaka, berbagi untuk sesama, dan sebagainya,,, dan sebagainya...
Kurang lebih, dua pekan yang lalu, tepat di tanggal 22 Desember, saya juga melewati hari Ibu. Tapi sejujurnya, saya tidak punya kalimat seindah yang diucapkan Delisa. Entahlah, apakah saya termasuk salah satu orang yang tidak kreatif untuk mengatakan Cinta pada sosok paling berjasa yang telah melahirkan saya itu, ataukah saya teramat pengecut untuk sekedar mengucapkan hal-hal seperti itu? Maka diam-diam, saat menyaksikan adegan tersebut, hati saya juga bergumam, “Ummi,,, aku juga mencintaimu karena Allah. Seperti Delisa yang mencintai Umminya karena Allah”.
Delisa hanya tokoh dalam sebuah Film. Tapi terasa sangat hidup dalam hati saya. Dia seorang gadis kecil yang periang. Tinggal di Lhok Nga (desa kecil di pantai Aceh). Kehidupannya terasa sangat indah. Delisa merupakan anak bungsu dari keluarga Usman (diperankan Reza Rahadian). Karena Abinya bertugas di sebuah kapal tanker perusahaan minyak Internasional, maka Delisa lebih dekat dengan ibundanya yang dia panggil Ummi (Nirina Zubir), serta ketiga kakaknya yaitu Fatimah (Ghina Salsabila), dan si kembar Aisyah (Reska Tania Apriadi) dan Zahra (Riska Tania Apriadi)Mereka hidup di pesisir Lhok Nga. Keceriaan, kecentilan, keluguan sekaligus kelucuan Delisa seolah seperti bias purnama diantara orang-orang sekelilingnya. Ia akarab dengan siapapun. Menggemaskan dan tentu saja menyenangkan.
Suatu ketika, Delisa mendapatkan tugas dari gurunya, untuk menghafal bacaan Sholat. Untuk menyemangati Delisa, Umminya berjanji akan memberikan hadiah kalung jika ia bisa menghafal bacaan sholatnya dengan baik. Untuk membuktikan kesungguhannya, san Ummi mengajak Delisa ke toko Koh Acan (sahabat Abinya), seorang penjual perhiasan di pasar Lhok Nga. Saat itu—sesuai keinginan Delisa—Koh Acan mengambilkan kalung dengan huruf D sebagai liontinnya. D inisial dari Delisa. Delisa senang bukan kepalang dan tak sabar untuk mengenakan kalung itu. Tapi Umminya tetap menyimpannya. Delisa boleh memiliki kalung tersebut jika sudah berhasil mengahafal bacaan sholatnya.
Delisa menghafal diwarnai dengan sikap kakak-kakaknya yang pro dan kontra. Ustadz Rahman yang merupakan guru TPA Delisa, juga banyak mengisi hari-hari Delisa menjelang setoran hafalan shalatnya pada Ibu Guru Nur. Delisa juga sangat semangat. Ia ingin membuktikan pada orang-orang bahwa ia berhasil menghafal bacaan sholatnya untuk kemudian melaksanakan shalat sebagaimana yang lain sholat.
Tepat pada tanggal 26 Desember 2004, Delisa bersama Ummi menuju TPA dimana ujian praktek shalat akan dilaksanakan. Ketika Delisa mempraktikkan hafalan sholatnya di depan kelas, gempa yang disertai tsunami melanda bumi Aceh. Seketika keadaan berubah. Ketakutan dan kecemasan menerpa setiap jiwa saat itu. Sang Ummi berteriak-teriak dari luar. Namun, Delisa tetap melanjutkan hafalan sholatnya. Ia begitu khusuk. Begitu menyatu dengan bacaan sholatnya. Ia tidak menyadari bencana besar terjadi di sekitarnya. Saat Delisa akan melaksanakan sujud pertamanya, Air laut datang menghantamnya. Menggulung bangunan TPA dan orang-orang yang berada di sekitar tempat itu. Delisa terpelanting dan hanyut oleh terjangan air laut yang dahsyat.
Allahu Akbar.
Bencana Tsunami 7 tahun yang silam itu kembali menyentak kesadaran saya. Bagaimana mungkin hati saya tidak menangis, mengingat bencana kemanusiaan yang telah merenggut ribuan nyawa saudara-saudara saya di Aceh???
Bagaimana bisa saya tetap bertahan untuk tidak meneteskan airmata, lantas pura-pura tersenyum melihat adegan Film tersebut, sementara peristiwa itu benar-benar terjadi 7 tahun yang silam??
Tidak,,, tidak,,, rasa kemanusiaan itu menggedor-gedor hati saya. Menciptakan banjir di hati yang tidak sanggup saya bendung. Maka tumpahlah di mata saya. Menjadi aliran bening di kedua pipi.
Lalu bagaimana dengan Delisa?
Dia selamat. Delisa pingsan berhari-hari di atas bukit cadas. Dalam pingsannya Delisa melihat Ummi, kak Fatimah, kak Zahra dan kak Aisyah yang pergi. Saat ia bertanya, mereka bilang, Delisa tidak usah sedih, sebab Delisa akan mempunyai lebih banyak teman lagi.
Saat Delisa tergolek antara sadar dan tidak itulah, seorang prajurit bernama Smith menemukan dan menyelamatkannya. Sayangnya, luka parah yang ia alami membuat kaki kanan Delisa harus diamputasi. Mendapati kenyataan tersebut, Prajurit Smith bermaksud mengadopsi Delisa yang sebatang kara. Beruntung sang Abi datang. Satu-satunya harta Delisa yang tersisa.
Penderitaan Delisa membuat iba banyak orang. Tetapi ia begitu tabah menerimanya. Ia bangkit dengan kaki yang tinggal satu. Ia tersenyum meski kehilangan Ummi, dan tiga saudaranya.
Gadis kecil itu bangkit di tengah rasa sedih karena kehilangan, di tengah rasa putus asa yang menerpa Abinya serta orang-orang Aceh lainnya. Delisa hadir serupa “malaikat kecil” yang menjadi penyemangat bagi orang-orang disekitarnya. Delisa sudah memberi banyak pelajaran pada saya betapa kesedihan dapat menjadi kekuatan untuk tetap bertahan. Meskipun juga air matanya seolah tidak ingin berhenti mengalir, tetapi Delisa selalu gemilang mengubahnya jadi senyuman. akhirnya ia benar-benar memahami tentang keikhlasan. Ikhlas menerima semuanya dengan penuh senyum. Sebab di hatinya sudah tertanam asmaNYA yang agung.
“Sayang,,, suatu saat nanti, kita pasti akan bersama lagi” ucap sang Ummi dalam mimpi Delisa, sesaat sebelum kembali mengikuti ujian tes bacaan sholat setelah tsunami merenggut semuanya.
Itu kan Film?
Ya.
Tapi bukankah kita bisa belajar dari manapun. Dari siapapun. Dan dari peristiwa apapun? Setidaknya, bagi saya pribadi, Film itu—terlepas dari kelemahan dan kekurangannya—sudah banyak memberikan pelajaran tentang hidup saat menapak di awal tahun 2012.
Sungguh, saya sedikit merasa malu pada Delisa. Saya yang selama ini merasa sudah dewasa, nyatanya masih banyak mengeluh, meratapi nasib, nyaris putus asa, merasa paling tidak beruntung, dan terlalu banyak meminta pada Tuhan. Padahal saya bukan tidak tahu bahwa Allah itu pasti selalu memberikan hal yang terbaik bagi hambaNYA. Memberikan apa yang dibutuhkan, bukan apa yang diinginkan oleh hambaNYA. Allah juga tidak akan memberikan ujian diluar batas kemampuan seorang hambaNYA. Tapi dasar saya memang seorang yang barangkali kurang tabah,, ya,,, jadilah saya seorang Avan yang seringkali meratap-ratapi nasib karena tak seindah yang diinginkan. (Ah,,, semoga saudara-saudara yang sempat membaca catatan ini memiliki hati yang elok dan tidak seperti saya yang sangat lemah iman ini)
Sekarang, kisah Delisa seolah menampar kesadaran saya yang seringkali Alpa. Barangkali, selama ini saya kurang banyak bersyukur. Terlalu mengedepankan perasaan yang sentimentil dan mewek-mewek. Padahal saya juga sudah sering melafazkan “Fabi_ay ala irobbikuma tukadz_dziban”. Tapi,,, kok bisa-bisanya sering mengabaikan maknanya ya? Sekali lagi, karena saya terlalu lemah iman. Titik!
(Astaghfirullahal adzim,,, Astaghfirullahal adzim,,, Astaghfirullahal adzim,,,)
***
wallahu a'lam bish_shawab
Sumenep, 2 Januari 2012
[1] Nama salah satu sungai di kampung saya (Desa Batuputih)
*dipublikasikan di akun facebookku, 2 Januari 2012 pukul 6:01
Tidak ada komentar:
Posting Komentar