Senja kali ini,,,

(setengah fiksi)

PrologSeusai bimsus bersama anakanak di MAN, sore tadi, sengaja aku tidak langsung pulang ke pondok. Melainkan, menyempatkan diri menikmati senja. Seperti biasa, aku ditemani ”elang” (motor tersayang) yang selalu setia menemani. 
***
Dengan Elang aku punya kisah tersendiri yang sangat berarti. Dulu, aku pernah nekat menerobos hujan ketika seseorang menelepon dan bilang butuh pertolongan. Selesai menolongnya (waktu itu aku mengantarnya Les) Al-hasil, aku dan elang sama-sama mendapatkan ”hadiah” dari kenekatan itu. Badan mendadak demam + bersin-bersin. Sedangkan elang tibatiba ngadat, seolah enggan pulang. Aku menduga ia kedinginan. Tapi Setelah beberapa saat melihat kondisinya, aku yakin ada bagian ”tubuhnya” yang bermasalah. Maka, dengan sedikit sisa kecekatan, akhirnya bisa ketemu. Karburatornya kemasukan air. Dibuka, dibuang airnya, dipasang kembali, dan ”Bremmm...”. siap pulang.

Tapi saat helm terpasang dan siap untuk melaju, tibatiba seseorang berdiri tepat di depan 
elang. Orang yang sama yang telah berhasil membuatku nekat menembus hujan.
Ia Tersenyum. sedikit misteri.
”Terimakasih” katanya.. tentu saja kubalas senyumnya, kubalas ucapannya ”samasama,,”
”kalau ada waktu, datanglah besok sore ke pelabuhan kalianget,,,”
”ada apa?” tanyaku bingung.
”ada sesuatu yang ingin kusampaikan”
”apa?”
”Datang saja besok sore”
”tapi...”
”Itu bukan paksaan, kalau ada waktu saja... hati-hati di jalan. Sekali lagi terimaksih”
Dia berlalu. Aku terpaku. 
elang juga. Hening menyelimuti dingin. elang melaju, masih dengan bisu.
Sesampai di rumah, aku sakit. Semalaman demam.
Sakit itu semakin menjadi. Pusing itu, panas itu, pilek itu, menjadi alasan yang tak pernah kuinginkan untuk tidak datang. Tapi sekali lagi, aku tengah sakit. Sakit yang tidak kuinginkan.
Dengan kondisi sakit, maka Perjalanan ke pelabuhan tentu akan menjadi perjalanan yang berat. Dan aku memilih menyerah. Tidak sanggup.
aku tidak datang.
”Maafkan aku” sedikit berguman aku berharap, bahwa ada desau angin yang akan menyampaikan padanya. ”Sekali lagi karena aku sakit. Sepulang dari rumahmu.” Bisikku dalam hati.
Dan seterusnya.... dan seterusnya....
Menjelang malam. Badan semakin demam. Sesekali menggigil Seolah dingin. Tapi panas. Mual-mual mulai menyapa perutku. Lalu muntah. Mataku panas. Kepala semakin pening. Sakit. Setiap membuka kelopak mata, bumi seolah berputar. Pusing. Segala ketidakenakan menyergapku. Berhari-hari.
Dokter bilang, aku terkena virus typhus. Jadi, harus istirahat total. Lima hari pertama tidak boleh banyak bergerak. Dudukpun dilarang. Yang boleh kulakukan, hanya tidur terlentang dan sekali lagi, tidak boleh banyak bergerak.
Tentu ini adalah siksaan tersendiri bagiku. Belum lagi berbagai macam obat yang harus diminum teratur sebelum dan sesudah makan.
Dan waktu tak pernah peduli dengan apapun. Tugasnya hanya satu; berjalan.
Tanpa menoleh, apalagi berbalik.

Kesehatanku berangsur pulih. Setengah purnama berlalu. Meski demikian, aku belum bisa beraktifitas. Masih harus istirahat. Tapi pikiranku tidak pernah bisa melupakannya. Rasanya semakin tidak enak. Apalagi sudah setengah purnama aku tidak mendengar kabar darinya.
apa maksudnya dengan mengundangku ke pelabuhan pada sore hari? Aneh. Tapi aku belum bisa menemukan jawabnya.

”Akhirnya kau datang juga” suara itu menyambutku pada sebuah senja di pelabuhan. ketika kesehatanku sudah mulai membaik. Senyumnya masih menggetarkan.
”Maaf, karena aku baru bisa datang. Aku...”
”Tidak usah meminta maaf... karena aku juga merasakan sakitmu. Semua itu terjadi karena kesalahanku. Aku yang seharusnya minta maaf telah membuatmu sakit” suaranya berubah sendu..
”Tidak.. kau pun tidak perlu meminta maaf. Aku sakit karena memang aku harus sakit. Ini karunia”
”Tapi aku tetap merasa bersalah”
”Kau tidak salah”
”Aku ingin menebusnya”
”Menebus apa? Kau tidak salah...” aku berusaha meyakinkannya.
"Setiap hari, selalu kusempatkan datang ke sini. berharap kau sudah sembuh dan memenuhi undanganku untuk datang ke pelabuhan ini. tapi kau tak datang. aku tahu kau belum sembuh. maka, sebagai bentuk penebusan rasa bersalah, aku selalu datang ke sini, di setiap senja, hampir sebulan lebih."
"Kenapa kau tak menelponku?"
"Kau juga tak meneleponku"
"Maafkan aku" aku merasa bersalah sudah tidak mengiriminya kabar--meski sedikit--bahwa aku tidak bisa datang karena sakit.
"Sudahlah,, aku juga bersalah." lalu hening. aku diam. dia juga diam. hanya pikiran kami yang mungkin berjalan. entah kemana.
"Em... Maukah kau menolongku sekali lagi?” matanya tajam penuh harapan.
”Selama aku bisa, insya allah aku akan membantu.”
”Terima kasih sebelumnya”
”Ada apa? Maksudku, apa yang bisa aku bantu?”
”Aku titip hatiku dalam hatimu!”
DEG!!! ucapan yang telak. terkejut, bingung, salah tingkah, badan tiba-tiba panas lalu berangsur dingin. Itu gambaran sepintas tentang bagaimana reaksiku saat itu.
”Aku tidak paham dengan maksudmu?” sejujurnya aku semakin bingung.
”Kau laki-laki. Aku yakin kau lebih paham dari apa yang aku pahami. Dengan kalimat tadi, berarti hatiku sudah ada dalam hatimu. Jagalah baikbaik.” lantas ia berlalu. Meninggalkan senyum. Meninggalkan sesuatu yang entah apa namanya. Perlahan aku raba dadaku. Ada yang berdebar, Semakin cepat. Berdegub, semakin kencang.
Aku pejamkan mata. Tak kuasa menahan haru.
Lalu aku menatap senja. kali ini terasa Semakin indah.

Setelah itu aku mulai mengenal senja. Menyukainya dan jatuh cinta.
Jatuh cinta pada senja? Seperti cerpen saja.

Mungkin ada yang beranggapan demikian, tapi begitulah kenyataannya.
Namaku AVAN. Jatuh Cinta pada senja lantaran keberadaannya yang misteri.
Senja adalah tonggak perpisahan antara siang dan malam. Bergantinya terang dan gelap. Atau mungkin, senja justru merupakan lembar pertemuan antara siang dan malam.
Atau malah sebenarnya tidak ada siang dan malam? Karena matahari tidak bernah tenggelam. Ia hanya berjalan mengelilingi bumi. Karena manusia tidak ikut matahari, Maka ketika matahari berlalu, semua menerima saja doktrin orangorang yang hidup sebelumnya yang mengatakan bahwa matahari tenggelam. Dan malam mulai datang.
tapi senja adalah pertemuan. pertemuan dua hati.
Mana yang benar?

Terserah pilih yang mana. Tapi menurutku itulah harmoni. Itulah keindahan. Itulah cinta.

***
EpilogDi Senja kali ini, aku kembali mengingatmu sayang,,,
Kau tahu kan, sudah banyak senja yang terlewati tanpa kebersamaan kita...??
Tapi aku sangat memahamimu sayang,,,
Karena kini, kau tengah berjuang merampungkan studimu,,,
Sedang aku, tengah berjuang menahan rindu padamu,,,
Kita samasama berjuang untuk satu tujuan,,,
Kebersamaan...


**(pernah dipublikasikan di akun facebook, 10 Maret 2010 pukul 22:21)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar